tag:blogger.com,1999:blog-39277491228905396932024-03-13T03:14:58.542-07:00JURNALISaguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.comBlogger11125tag:blogger.com,1999:blog-3927749122890539693.post-53004355360813133592010-06-06T06:55:00.000-07:002010-06-06T06:58:48.702-07:00Sengketa Batas Berujung KonflikAgus Wahyuni<br />Borneo Tribune, Sambas<br /><br />Ombak laut terlihat tenang. Cuaca cerah dan terang. Nelayan menyambutnya dengan mempersiapkan peralatan. Ada perahu, jaring, dan berbagai peralatan melaut dan persediaan bahan bakar. Begitu juga Ardi (46) dan anaknya, Endo (23). Sudah belasan tahun, keduanya mengantungkan hidup pada laut. Mereka menggunakan kapal motor sepanjang 15 meter dengan lebar dua meter. Alat tangkap itu diberi nama “Kapal Novella”. Mereka merupakan nelayan lamparan dasar, asal Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas. Lamparan dasar adalah jenis pukat harimau yang sudah dimodifikasi. <br /><br />Sebagai nelayan, mereka tak punya jadwal libur. Libur dilakukan bila cuaca tak bersahabat. Hari itu, Minggu, 10 Agustus 2008, seperti biasanya, mereka melaut. Sudah sedari pagi, keduanya mengelilingi laut Pemangkat. Namun, hasilnya belum maksimal. Keduanya terus berputar dan menjelajah. Tanpa sengaja, kapal motor meninggalkan perairan Pemangkat, menuju perairan di Kecamatan Jawai. Wilayah ini jaraknya tiga mil dari garis pantai Jawai. <br /><br />Waktu beranjak naik. Matahari terletak di sepengalah kepala. Jarum jam menunjuk pukul 08.00 Wib. Dari jarak yang terlihat mata, sebuah perahu motor mendekat. Di perahu itu, ada tiga orang. Postur badannya kekar. Setelah mendekat, ketiga awak perahu motor tersebut, merapatkan perahu motornya. Salah satu awak perahu motor bernama Dollah.<br /><br />Terjadi dialog. Ketiganya minta ikan hasil tangkapan Ardi dan Endo. Ardi memberikan beberapa ikan pada ketiga awak kapal tersebut. Namun, setelah diberi, ketiganya bukannya menerima, malah menyandera Ardi dan Endo. Akibatnya, terjadi perkelahian. Tiga lawan dua. Akibat kalah jumlah, akhirnya Ardi dan Endo tak berkutik. <br /><br />Peristiwa tak berhenti di situ. Ardi dan Endo dijeburkan ke laut. Kapal miliknya dibawa lari ketiga nelayan tadi. Keduanya menyelamatkan diri dengan berenang dan mengapung di laut. <br /><br />“Syukurlah, pada saat kami mengapung di laut, beberapa menit, ada sebuah kapal nelayan tradisional yang kebetulan melintas langsung menolong,” kata Ardi. <br /><br />Selepas itu, nelayan yang menolong ini, membawa keduanya darat. Tepatnya di Desa Bakau, Kecamatan Jawai. Sesampainya di darat, naas menimpa keduanya. Ternyata ketiga awak kapal yang memukul dan mengambil kapal, juga berada di sana. Tak hanya bertiga, mereka bersama puluhan warga desa. <br /><br />Belum sempat Ardi dan Endo menarik napas lega, karena kelelahan di laut, puluhan warga di desa tersebut, menggiring keduanya ke kantor Balai Desa Bakau. Di sana, warga desa mendesak keduanya menyerahkan uang tebusan sebesar Rp 6 juta. Alasannya, kapal motor mereka melewati batas teritorial jalur mengambil ikan, yang semestinya bagi nelayan tradisional.<br /><br />Warga juga mengancam, jika uang tebusan tidak dibayar, keduanya tidak diperkenankan pulang. Perundingan berlangsung alot. Kepala desa dan kepolisian menyaksikan dan menengahi pertemuan. Merasa tidak ada uang sebanyak itu, Ardi minta kelonggaran waktu hingga besok hari. Tak terasa, waktu sudah beranjak petang atau pukul 17.00 Wib. Keduanya diperkenankan pulang. <br /><br />Senin (11/8), Ardi mendatangi balai Desa Bakau. Puluhan warga sudah menunggu kehadirannya. Merasa tidak aman, ia minta pertemuan tidak berlangsung di balai desa, melainkan di Polsek Jawai. Sesampainya di sana, puluhan warga juga mengikuti.<br /> <br />“Lagi-lagi, saya mendapat desakan,” kata Ardi. <br /><br />Ardi mengatakan pada warga, ia belum sanggup memberikan uang tersebut. Jumlah Rp 6 juta, terlalu besar. Apalagi bagi dirinya yang hanya nelayan. Suasana makin panas. Warga terus mendesak dan mulai berteriak-teriak. Kemudian, salah seorang polisi tiba-tiba ikut memutuskan denda, yakni sebesar Rp 4,5 juta. Merasa terus didesak, Ardi menandatangani perjanjian itu. Kepala desa dan polisi sebagai saksi. <br /><br />Apa boleh buat. Ardi pun tanda tangan. Apalagi kapal motor miliknya masih disandera. “Tapi, itu hanya sebatas tanda tangan saja, mengingat pada waktu itu, saya tidak membawa uang,” kata Ardi. <br /><br />Kasat Reskrim Polres Sambas, AKP Puji Prayitno dalam suatu kesempatan menanggapi permasalahan tersebut. “Kasus penangkapan kapal Ardi oleh Dollah, bisa diselesaikan dengan hukum kelautan,” kata Puji. Yakni, Undang-Undang Kelautan Nomor 31 Tahun 2004, tentang Penggunaan Alat Tangkap. Namun, UU belum diterapkan secara maksimal. <br /><br />Baginya, perjanjian antara nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001, tidak berlaku karena isi dari UU Kelautan sudah jelas bagi pengaturan pengembangan kelautan. Termasuk larangan menggunakan alat tangkap pukat trawl.<br /><br />Kedua belah pihak melapor ke polisi. Ardi dan Endi melaporkan bahwa, ketika melaut, tiba-tiba kapal mereka didatangi Dollah beserta temannya, dan dilakukan penyanderaan. Dollah juga membuat laporan yang sama pada Polsek Jawai. Dollah merasa dianiaya oleh Ardi dan Endo. <br /><br />Polisi melakukan penyidikan dari dua laporan tersebut. Hasilnya, polisi menemukan barang bukti berupa sebuah kapal dan alat tangkap trawl mini milik Ardi. Alat ini dianggap telah melanggar UU Kelautan No 31 Tahun 2004. <br /><br />Polisi juga melakukan penyidikan terhadap Dollah. Hasilnya, Dollah terbukti melakukan penyanderaan kapal, dengan niat memiliki kapal tersebut. <br /><br />“Keduanya bisa dikenakan sanksi, yakni Pasal 351 KUHP, Ayat (1) dan (4),“ kata Puji, “dalam hal ini, polisi bertugas sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Upaya hukum adalah jalan terakhir,” kata Puji. <br /><br />Kejadian itu berbuntut panjang. Sekumpulan nelayan yang mengatasnamakan nelayan lamparan dasar (Lamdas), Kecamatan Pemangkat, mendatangi gedung DPRD Kabupaten Sambas. Ketua DPRD Kabupaten Sambas, Uray Barudin Idris, langsung menyambut rombongan ini. Selain itu, ada Ferry Solihin Imran, Ketua Komisi A, membidangi Hukum dan Pemerintahan. Rusli M. Yusuf, Ketua Komisi D, membidangi Kesejahteraan Rakyat, dan anggota Komisi Pembangunan, Suparto. Sementara perwakilan nelayan Lamdas, Heri dan Junjung, termasuk korban penyanderaan, Ardi dan Endo.<br /><br />Nelayan ingin ada jalan keluar, berkaitan dengan kapal motor milik Ardi. Mereka juga minta, pelaku penyanderaan diusut tuntas. <br /><br />Ketua Komisi D, DPRD Kabupaten Sambas, Rusli M Yusuf berkata, kasus nelayan Lamdas ini ibarat mendirikan pabrik rokok. “Disatu sisi merusak kesehatan, disisi lain banyak menyedot tenaga kerja,” kata Rusli.<br /><br />Begitu juga dengan nelayan Lamdas. Menangkap ikan dengan trawl dapat merusak ekosistem laut di sekitarnya. Sementara disisi lain, mereka juga butuh makan bagi anak dan keluarga, kata Rusli.<br /><br />Untuk itu, perlu suatu kebijakan ulang yang mengatur bagi kepentingan nelayan tradisional maupun Lamdas. Agar, keduanya sama-sama bisa mencari ikan dengan tenang, kata Rusli.<br /><br />Pemkab Sambas juga mesti melakukan pembinaan terhadap nelayan. Misalnya, menyediakan alat tangkap baru yang tidak merusak ekosistem laut. Juga memberikan pinjaman kredit bagi nelayan tradisional, dalam mengembangkan usaha tangkapannya. <br /><br />Junjung, Ketua Perwakilan Lamdas menyatakan, kejadian penyanderaan kapal motor Lamdas di Jawai, sudah terjadi tiga kali. Pelakunya orang yang sama. Namun, sampai hari ini, tidak diusut tuntas pihak kepolisian. “Jika ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan, kasus serupa kembali terjadi,” kata Junjung. <br /><br />Ia menyesalkan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DPK) Kabupaten Sambas, tidak memberi tanggapan terhadap kejadian yang sudah berlangsung lama ini. Junjung menganggap, DKP sampai saat ini, lebih pengacu pada perjanjian nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001. <br /><br />Dalam salah satu pasal dan isi perjanjian, membagi daerah penangkapan ikan yang dilakukan nelayan menggunakan trawl atau dikenal pukat harimau, dengan nelayan kecil yang beroperasi di laut Kabupaten Sambas sebelah utara. Atau, dengan Pulau Pontianak, Kecamatan Jawai, dengan garis vertikal ke arah laut lepas. Dan, sebelah selatan dengan batas wilayah Kabupaten Sambas dengan Kabupaten Bengkayang dan Singkawang Kota, dengan arah vertikal laut lepas.<br /><br />Menurutnya, jika mengacu pada perjanjian ini, tentu akan mengekang keberadaan nelayan mencari ikan. Artinya, ada pengkaplingan daerah di laut. Hal itu, tentu saja bertolakbelakang dengan Undang-Undang, bahwa laut milik masyarakat. Siapapun boleh mengangkap ikan di laut.<br /><br />Kepala Bidang Perlindungan dan Pengawasan, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Sambas, Slamet Raharjo menanggapi hal itu. Kesepakatan antara nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001, sebenarnya kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk membagi perairan dan penangkapan ikan. <br /><br />Nelayan Lamdas mengambil ikan dengan menggunakan trawl di perairan nelayan tradisional. Nah, disisi lain, nelayan tradisional menjaga ekosistem laut di teritorial tempat mereka menangkap ikan. <br /><br />Pada waktu itu, DKP memfasilitasi pertemuan. Sehingga terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Tujuannya, membagi daerah teritorial penangkapan. Agar, keberadaan nelayan tradisional, tidak terisolir dengan nelayan besar. Apalagi nelayan tradisional hanya bisa mencari ikan dengan jarak satu mil dari garis pantai. Lewat dari itu, sudah bagian dari nelayan Lamdas.<br /> <br />“Kejadian itu sudah cukup lama, dan sudah kita anggap selesai. Namun, siapa sangka peristiwa itu akhirnya terjadi lagi,” kata Slamet. <br /><br />Agar kasus tidak terulang, nelayan Lamdas maupun tradisional harus memiliki tenggang rasa, sesuai dengan isi kesepakatan yang ada. Apalagi, jalur tangkap nelayan tersebut, sudah diatur sesuai dengan Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, tentang Penggunaan Alat Tangkap. Ia yakin, jika peraturan tersebut disepakati dan dijalankan, kasus serupa tidak akan terulang.<br /><br />DKP tidak menutup mata bahwa, masih banyak nelayan Lamdas menggunakan alat tangkap yang dilarang. Yaitu, menggunakan trawl atau pukat harimau. DKP sering menemukan pemakaian alat tersebut, saat melakukan patroli di laut. Juga, seringkali nelayan Lamdas masuk wilayah Jawai. Apalagi perairan tersebut banyak terdapat ikan dan udang, karena adanya hutan bakau dan terumbu karang yang masih terjaga. Ini berbeda dengan perairan Pemangkat, ekosistem perairan sudah rusak, akibat pengambilan ikan menggunakan pukat harimau.<br /><br />Namun, patroli masih minim dilakukan, karena dana sangat minim. Hanya Rp 75 juta setahun. Karenanya, melakukan patroli bisa dilakukan sebanyak delapan kali saja. Berbeda dengan tahun sebelumnya, bisa melakukan patroli sebanyak 50 kali. Saat itu, anggaran sebesar Rp 250 juta. <br /><br />Kepala Camat Jawai, Suardi membantah bahwa warga Jawai melakukan tekanan pada Ardi. Baginya, kasus penyanderaan sudah dianggap selesai. Masyarakat Jawai dan Ardi sudah membuat surat pernyataan di hadapan kepolisian dan kepala desa. Isinya, menyetujui denda sebesar Rp 4,5 juta pada Ardi, karena dianggap telah mengambil ikan menggunakan alat tangkap trawl.<br /> <br />Lalu, bagaimana dengan para penyandera yang selalu melakukan aksinya? <br />Ia beranggapan, Dollah, salah satu penyandera, yang berani menahan kapal nelayan Lamdas, jika ditemukan menangkap ikan di perairan Jawai. Tujuannya, ingin melindungi laut mereka dari kerusakan. Nelayan Lamdas menangkap ikan menggunakan trawl atau pukat harimau. <br /><br />“Jika dibiarkan, ekosistem di laut Jawai akan punah. Sekali lagi, Dollah hanya menahan, tidak melakukan kekerasan,” kata Suardi.<br /><br />Wah, bagaimana kalau Ardi dan Endo tidak ditolong perahu nelayan? Tentu bakal tenggelam di laut. Toh, kekuatan orang berenang di laut, ada batasnya. <br /><br />Suardi berkata, jika kejadian itu dibiarkan, nelayan Jawai yang umumnya nelayan tradisional, akan mengalami kekurangan hasil tangkapan. <br /><br />Sebenarnya, nelayan Jawai bukannya tidak mampu membeli kapal besar, seperti milik nelayan Lamdas. Hanya saja, nelayan Jawai sudah sadar, betapa pentingnya menjaga kelestarian laut untuk anak cucu kedepannya. Laut Jawai masih kaya terumbu karang dan hutan manggrove, yang merupakan tempat berkumpulnya udang dan ikan. Jika itu sudah rusak, mata pencaharian nelayan Jawai akan hilang. <br /><br />Hal itu sangat kontras dengan laut di Pemangkat. Ekosistemnya sudah rusak, karena terkikis trawl. Karenanya, banyak nelayan Lamdas mencoba cari ikan di laut Jawai. <br /><br />Ia berharap, DKP Kabupaten Sambas, cepat dan tanggap dalam menyelesaikan permasalahan itu. Sehingga tidak terulang kembali. Misalnya, mengaktifkan patroli di laut. Patroli tidak mesti tiap hari. Hanya pada waktu musim tangkap ikan saja, misalnya musim laut tenang. Dengan demikian, tentu nelayan Lamdas akan menangkap ikan di luar laut Jawai. <br /><br />Konflik antarnelayan memang sudah berlangsung lama, sejak 2001. Dari data kepolisian tercatat, lama kelamaan konflik berkepanjangan ini, terus merambah hingga di kecamatan lain. Salah satunya Kecamatan Paloh. Yang perairannya berbatasan langsung dengan Kecamatan Jawai.<br /><br />Ketua Kelompok Nelayan, Desa Liku, Kecamatan Paloh, Ismail Ikram (51) bercerita, di perairan Paloh, tercatat sudah dua kapal nelayan Lamdas yang ditangkap nelayan Paloh. Kedua kapal tadi, ditangkap di lokasi perairan sama. Yakni, Laut Selimpai. Kejadian berlangsung pada 1994 dan 2003.<br /><br />Kedua kapal tersebut ditangkap, karena aktivitasnya menangkap ikan, menggunakan trawl atau pukat harimau. Demi menjaga ekosistem laut tempat nelayan setempat mencari ikan tetap terjaga, nelayan setempat terpaksa membakar kapal tadi. Sebelumnya, awak kapal dibebaskan. Ini terjadi pada 1994.<br /><br />Selang beberapa tahun, kejadian serupa kembali terulang. Yakni, pada 2003. Nelayan Paloh yang mengetahui ada nelayan Lamdas masuk perairannya, langsung mendatangi kapal tadi. Kemudian memaksa kapal masuk ke Pelabuhan Rakyat, Paloh. Kapal tidak lagi dibakar, tetapi pemilik kapal dipaksa ganti rugi, atas kerusakan laut yang diakibatkan penggunaan alat tangkap trawl. Pemilik kapal menyanggupi ganti rugi sebesar Rp 15 juta, untuk dibagikan pada nelayan.<br /><br />Uang sebesar itu, tentu tak cukup dibagikan pada nelayan setempat yang jumlahnya ratusan. Akhirnya, disaksikan Muspika setempat, warga menyepakati bahwa uang tersebut, bakal digunakan, untuk mendatangkan group band lokal, demi menghibur warga desa. Sebagian lagi, dibelikan pukat bawal dan udang, untuk kebutuhan nelayan yang membutuhkan. <br /><br />Untuk membedakan antara nelayan Lamdas, yang menggunakan trawl, tidak terlalu sulit. Ibaratnya, sepeda motor bermesin 4 tak. Pada saat dijalankan, knalpot mengeluarkan asap. Begitu juga dengan kapal motor. Saat dijalankan, ada asap tebal keluar dari cerobong asap kapal tebal. Tanda lainnya, kapal tersebut berjalan lambat. Di badan kapal juga terbentang dua sayap dari tiang penyangga, untuk menarik pukat. <br /><br />“Nah, dari tanda tadi, sudah bisa ketahuan, kapal tadi menggunakan pukat trawl,” kata Ismail. <br /><br />Sekretaris Camat Tangaran, Sunardi menanggapi hal sama. Banyak nelayan tradisional, Desa Arung Parak, Kecamatan Tangaran, mengeluhkan keberadaan nelayan yang menggunakan kapal besar dan beroperasi di perairan Kecamatan Tangaran. Pasalnya, kapal–kapal besar tadi, dalam penangkapan ikan, menggunakan pukat harimau. Ini, tentu saja berdampak pada hasil tangkapan nelayan tradisional.<br /><br />Kapal-kapal besar yang beroperasi di wilayahnya, sudah berlangsung lama. Namun, sampai saat ini, belum ada tindakan dari Pemkab, melalui Dinas Perikanan. “Apalagi dengan adanya kenaikan harga BBM, dan berkurangnya hasil tangkapan yang mencapai 60 persen, banyak nelayan memutuskan untuk tidak melaut,” kata Sunardi.<br /><br />Ia berkata, batas daerah teritorial nelayan kapal besar, biasanya 6 mil dari garis pantai. Tapi, kenyataannya kapal-kapal tadi beroperasi 2 mil dari garis pantai. Sehingga jika dibiarkan terus, kelangsungan hidup nelayan tradisional akan terancam.<br /><br />Kepala Resort atau Tenpat Pelelangan Ikan (TPI) Kecamatan Paloh dan Tangaran, Kamal, membenarkan adanya penangkapan kapal nelayan Lamdas yang menggunakan pukat trawl. “Di sini, nelayan sangat menjaga sekali ekosistem laut,” katanya. Tujuannya, agar keberlangsungan penangkapan ikan kedepan.<br /><br />Untuk patroli di laut, memang jarang dilakukan DKP. Nelayan yang melakukan patroli dan tergabung dalam Sistem Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Berbasis Masyarakat (Siswasmas). <br /><br />Kelompok ini dibentuk dari proyek DKP. Modelnya, merupakan sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat, dalam mengawasi dan mengendalikan pengolahan dan pemanfaatan sumber kelautan dan perikanan secara bertanggungjawab. <br /><br />Dalam kelompok ini, ada berbagai peralatan penunjuk arah atau Global Positioning System (GPS), dan radio komunikasi. Sehingga nelayan bisa selalu berkomunikasi dengan nelayan lainnya.<br /><br />Pengamat Hukum Universitas Tanjungura, Rousdy Said mengatakan, kasus nelayan Lamdas dan tradisional yang terjadi di Kabupaten Sambas, sebenarnya tidak perlu terjadi, jika aparat penegak hukum tegas dan menindak penyimpangan yang dilakukan nelayan. <br /><br />“Salah satunya menggunakan pukat trawl, karena sudah diatur dalam Undang-Undang Kelautan,” kata Rousdy. <br /><br />Ia mengatakan, masalah penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut, diperlukan perhatian yang besar dan serius. Sebab, peningkatan kemampuan penegakan hukum dan pengamanan, harus mencakup suatu kerjasama antara kegiatan di darat, laut dan udara. <br /><br />Disamping itu, harus ada berbagai usaha meningkatkan pengawasan, kontrol, penjagaan, serta kegiatan penyelidikan, penyidikan dan proses pengadilan yang ditata dengan baik. <br /><br />Hal yang tak kalah pentingnya adalah, setelah putusan pengadilan diberikan, ada kemampuan menampung para terhukum di penjara. Sehingga si terhukum tidak mudah menghindari hukuman. Karenanya, effektivitas dan kepastian hukum, harus dijadikan prioritas bagi penegakan dan pengamanan laut Indonesia. <br /><br />Peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pengamanan wilayah pesisir dan laut, memerlukan sinkronisasi aplikasi teknis bagi institusi penegak hukum dalam prosesnya, terhadap tindak pelanggaran yang berlaku secara internasional di sektor kelautan. <br /><br />Dalam hubungan kewenangan dan kewajiban yang mengikat pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan penataan wilayah perbatasan darat dan laut, perlu pemasangan simbol negara, pemanfaatan administrasi kependudukan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terutama pemahaman geopolitik pemerintah daerah, harus berkaitan dengan kualitas pemahaman tentang masing-masing titik kordinat patok tapal batas darat dan laut. Baik antarprovinsi, kabupaten/kota, maupun antarnegara. <br /><br />”Harus dimaksimalkan, demi integritas dan keutuhan bangsa,” kata Rousdy. <br /><br />Sementara itu, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, Hasjim Djalal, dalam suatu acara seminar kelautan di Pontianak, menyatakan, sosialisasi konsekuensi geopolotik Indonesia sebagai negara kepulauan. <br /><br />Saat berbagai negara di dunia berpikir dan bertindak untuk memperbesar persatuannya, seperti menyatunya Eropa menjadi satu kesatuan, Indonesia justru semakin menyempit. Ini akibat munculnya pemahaman semangat kedaerahan, kesukuan, keagamaan, kepartaian dan golongan.<br /> <br />”Kondisi itu muncul, akibat bangsa Indonesia tidak lagi memperhatikan tiga tiang utama republik Indonesia,” kata Hasjim. <br /><br />Menurutnya, tiga tiang utama yang tidak diperhatikan bangsa Indonesia yaitu, kesatuan kejiwaan sebagai bangsa Indonesia. Kesatuan kenegaraan Indonesia. Dan, kesatuan kewilayahan. Ketiga tiang utama ini, selalu mendapat cobaan dan tantangan, dari dunia luar maupun dari bangsa Indonesia sendiri. <br /><br />Tiang kesatuan kebangsaan mulai ditantang semangat kedaerahan dan kesukuan yang timbul. Tiang kesatuan kenegaraan juga ditantang unsur separatisme di beberapa daerah. Begitu juga kesatuan ke wilayahan, juga ditantang semangat otonomi daerah, yang semakin hari semakin ingin lebih memanfaatkan laut Indonesia, secara sendiri-sendiri. <br /><br />“Pemanfaatan laut secara sendiri-sendiri setiap daerah, semakin berpotensi membagi-bagi wilayah laut Indonesia. Yang seharus menjadi milik bangsa dan dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia, secara keseluruhan,” kata Hasjim. <br /><br />Padahal, bangsa Indonesia harus berpikiran maju ke depan. Yaitu, menambah hak-hak berdaulat dan kewenangan-kewenangan tertentu di luar laut wilayah Indonesia yang ada sekarang. Jika pada konvensi Jenewa 1958, yang dianggap sebagai landasan kontinen hanyalah daerah dasar laut sampai kedalaman air 200 meter, maka dalam Konvensi Hukum Laut 1982, hak-hak berdaulat Indonesia telah diakui sampai ke seluruh daerah dasar laut. <br /><br />Konvensi HUKLA 1982, memungkinkan Indonesia mengklaim landasan kontinen di luar batas 200 mil, melalui berbagai kriteria yaitu 60 mil dari kaki kontinen atau 100 mil dari kedalaman air 2500 m. Atau, juga sampai sedimen yang tebalnya 1 persen dari jarak ke foot of the slope dan minimal sampai batas 200 mil dari garis-garis pangkal.<br /><br />“Tapi kenapa Indonesia tidak melakukan hal ini. Justru Indonesia membagi pengelolaan lautnya ke daerah-daerah, sehingga sering terjadi perselisihan antar nelayan daerah,” katanya.<br /><br />Ia berharap, mulai sekarang seluruh bangsa Indonesia, harus berpikir luas ke depan terhadap wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara mencakup laut, darat dan udara. <br /><br />Dalam mengelola kekayaan laut Indonesia, Hasjim menegaskan pengelolaan laut harus memperhatikan pelestarian lingkungan laut. Selain itu, pengelolaan kekayaan laut harus juga diiringi oleh penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut. <br /><br />Tapi, sayangnya, untuk mengamankan laut Indonesia yang luasnya 6 juta kilometer persegi, pemerintah hanya menganggarkan Rp35 triliun untuk anggaran pertahanan. Dan, Rp3,4 triliun untuk anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan.<br /><br />Akibatnya, laut Indonesia yang mestinya dijaga minimal oleh 400 kapal perang TNI AL, sekarang hanya dijaga 120 kapal perang. ”Dampaknya, laut Indonesia sangat terbuka untuk dimasuki kapal-kapal asing yang mencuri ikan di laut kita,” katanya.<br /><br />Ia menyayangkan anggaran untuk TNI dan DKP yang jika ditotal hanya Rp38,4 triliun, sangat jauh dibandingkan dengan anggaran untuk Pemilu yang mencapai Rp76 triliun.<br /><br /><br />Nelayan, Potret Masyarakat Terpinggirkan<br /><br />Jumaini merupakan potret nelayan kebanyakan. Ia berasal dari Desa Jeruju, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Ia sudah menjalani profesi sebagai nelayan, puluhan tahun lamanya. Sejak masih bujang hingga punya dua anak yang masih kecil. Jumaini merupakan nelayan pesisir pantai. Alasannya? Karena dia hanya beroperasi mencari ikan sekitar 3-4 mil dari garis pantai. <br /><br />Ia menggunakan perahu motor. Perahu itu memiliki panjang tujuh meter dan lebar 1,5 meter. Perahu motor dibeli dengan modal sendiri. Harganya sekitar Rp 7 juta. <br /><br />Setiap hari, ia melaut di sepanjang garis pantai. Sedari pukul 02.00 Wib, dini hari, ia harus meninggalkan rumah dan berangkat melaut. Meski angin pantai dan dingin udara serasa menusuk tulang, ia mesti meneguhkan diri dan berangkar melaut. Bila tidak, dapur dan pendaringan keluarga tidak bakal mengepul. <br /><br />Bermodal perahu motor dan pukat, ia mengitari laut sepanjang 3-4 mil dari garis pantai. Ia menggunakan pukat udang dan bawal. Sekitar pukul 14.00 Wib, ia pulang ke rumah. Meski sudah seharian mengitari laut, namun rezeki yang dibayangkan, tak seluas laut yang luas membentang. <br /> <br />Hasil tangkapan berfariasi. Tidak tetap. Ada ikan bawal dan udang. Pada hari bagus, ia bisa mendapatkan uang sekitar Rp 300-500 ribu. Itu masih pendapatan kotor, belum dipotong ongkos bahan bakar dan es balok, untuk penyimpanan ikan. <br /><br />Biasanya, ikan dijual pada agen. Ikan bawal dijual pada agen Rp 10 ribu per kilo. Udang wangka Rp 50.000 per kilo. Udang sayur Rp 15.00 per kilo.<br /><br />Ada lima agen di Desa Jeruju. Sebelum dijual, hasil 30 persen hasil tangkapan, dibagi pada agen. Alasannya, pukat yang digunakan untuk menangkap ikan, berasal dari agen. Sebagian besar nelayan menggunakan pukat dari agen ikan. Sebab, harga pukat cukup mahal bagi nelayan.<br /><br />Misalnya saja harga pukat jenis bawal yang berkisar Rp 95 ribu, untuk panjang tiga meter. Masyarakat biasa menyebutnya per pis. Panjang pukat yang digunakan untuk melaut berkisar 100-300 meter. Kalikan saja, berapa yang harus dimiliki nelayan, untuk beli pukat tersebut. Katakanlah, nelayan butuh pukat sepanjang 300 meter. Berarti, dia harus ada uang sebesar Rp 28 juta. Uang sebesar itu, tentu sulit diusahakan para nelayan. <br /><br />Begitu juga harga pukat udang Rp 145.000 per tiga meter. Uang yang harus dikeluarkan untuk membeli, kalikan saja sendiri.<br /><br />Masyarakat menggunakan ukuran depa, untuk menandai sebuah ukuran. Ukuran itu diambil dari panjang dua tangan orang dewasa yang direntangkan. Satu depa sekitar 150-170 cm.<br /><br />Efektifitas bekerja nelayan dalam setahun, hanya enam bulan. Sisanya, tergantung cuaca. Biasanya pada Pebruari-Juli, merupakan cuaca bagus untuk melaut. Sisanya cuaca buruk dan musim ombak besar. Pada musim ini, dalam seminggu paling bisa melaut 2-3 hari saja. Meskipun cuaca tak bagus, nelayan tetap memberanikan diri ke laut. <br /><br />Sulitnya mendapatkan dana awal bagi membeli pukat, BBM atau peralatan melaut lainnya, membuat nelayan selalu tergantung pada agen atau tengkulak. Hasil yang mereka peroleh, harus dipotong buat agen, atau harus dijual pada tengkulak sang pemberi modal. Akhirnya, kehidupan nelayan hanya berputar dan tergantung pada para pemilik modal ini. <br /><br />Peran pemerintah dalam mengatasi hal ini? Tak ada. Sejak belasan tahun menjadi nelayan, pemerintah tak pernah berikan bantuan pada nelayan, seperti dirinya.<br /> <br />Hal yang sama dirasakan Suhermi, nelayan pesisisr di Desa Sibubus, Paloh. Ia juga belum merasakan bantuan dari pemerintah. “Jangankan perahu motor, untuk pukat saja, belum sama sekali mencicipinya,” katanya. <br /><br />Ia mendengar pembicaraan teman sesama nelayan, sebenarnya bantuan ada. Tapi, ia belum tahu kebenarannya. <br /><br />Pimpinan Resort, Kamal, berkata, bantuan untuk nelayan tiap tahunnya ada. Yakni berupa fiber, tempat penyimpanan ikan, dan jaring pukat. Hanya saja jumlahnya tidak besar. Bantuan langsung diserahkan melalui kelompok nelayan. Kemudian, kelompok nelayan tersebut yang menentukan, nelayan mana yang berhak mendapatkannya. <br /><br />Data yang diperoleh dari TPI Tangaran di Kecamatan Paloh terdapat sekitar 195 nelayan tradisional. Jumlah itu tersebar di tiga desa. Yakni, Desa Sebubus dengan jumlah 55 nelayan. Desa Jeruju, berjumlah 65 nelayan. Desa Liku, berjumlah 75 nelayan. <br /><br />“Itu jumah nelayan yang terdata. Sementara yang belum, diperkirakan kurang lebih sama,” kata Kamal.<br /><br />Berdasarkan data dari tempat yang sama, hasil tangkapan nelayan pada tahun 2008, juga bisa dilihat. Dari TPI Desa Liku, jumlah tangkapan mencapai 20.764 kilogram. TPI Desa Tanah Hitam, 17.808 kilogram. TPI Temajok, 15.405 kilogram. Dan, TPI Arung Parak, 13.320 kilogram. <br /><br />Dari data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas pada 2008, jumlah dan nilai produksi penangkapan ikan perairan laut se-Kabupaten Sambas, sebesar 20.986,5 ton. Bila dirupiahkan sekitar Rp 125.049.295. Jumlah itu terbagi di lima kecamatan. Diantaranya, Kecamatan Selakau, 4.735,3 ton atau sekitar Rp 12.453.133. Pemangkat, 7.206.7 ton, seharga Rp 38.904.931. Jawai sebanyak 2.109,9 ton atau Rp 22.051.882. Jawai Selatan, 904,2 ton atau Rp 9.450.807. Tangaran, 2.199,7 ton atau Rp 18.127.305. Paloh, 3.812,7 atau Rp 24.061.237.<br /><br />Berdasarkan data yang sama, jumlah kapal motor penangkapan ikan perairan laut, menurut jenis ukuran berjumlah 2.219 buah. Terbagi dalam beberapa ukuran. Yakni, perahu tanpa motor berjumlah 679 buah. Motor tempel 308 buah. Kapal motor GT berjumlah 1.232 buah, meliputi lima kecamatan. Yakni, Jawai, Jawai Selatan, Selakau, Paloh, Tangaran dan Pemangkat.<br /><br />Berdasarkan jenis alat tangkap, berjumlah 2741. Meliputi pukat udang, 420 unit. Pukat pantai, 141 unit. Pukat cicin, 53 unit. Jaring isang hanyut, 539 unit. Jaring insang tetap, 351 unit. Trammel net, 361 unit. Rawai tetap, 232 unit. Bagan tancap atau togok, 166 unit. Serok dan songko, 52 unit. Bubu, 242 unit. Alat penangkap kepiting, 29 unit. Jala tebar, 59 unit.<br /><br />Dari reportase dan penelusuran yang dilakukan, mayoritas kawasan desa pesisir di wilayah perbatasan antarnegara di Indonesia dan Malaysia, masih merupakan kawasan tertinggal. Kondisi tersebut tercermin dari sarana dan prasarana fisik, sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. <br /><br />Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri tahun 2007, lebih memberikan gambaran bahwa, sebagian besar kawasan perbatasan antarnegara belum tersentuh oleh proses dan hasil pembangunan. <br /><br />Ketidakterjangkauan pada sarana prasarana ekonomi dan sosial, mengkondisikan mayoritas masyarakat pesisir di wilayah perbatasan antarnegara, dalam kondisi kemiskinan. Padahal, masyarakat pesisir di perbatasan Sambas, memiliki nilai strategis. <br /><br />Wilayah ini, secara geografis terletak di perbatasan antara Indonesia-Malaysia. Masyarakat pesisir di wilayah perbatasan antarnegara, secara umum dicirikan dengan kompleksitas masalah yang dihadapi. Hal tersebut menyangkut, tidak saja adanya karakteristik yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, melainkan jenjang masalahnya pun berbeda-beda. <br /><br />Masalah tersebut dapat muncul dalam tingkatan individual, keluarga, komunitas, tingkat kabupaten, provinsi hingga nasional. Masalah dapat juga dilihat dan dikategorikan dari sudut kondisi geografis, ekonomi, politik, budaya, dan hubungan bilateral dengan negara tetangga maupun masalah yang terjadi di negera itu. Yang secara signifikan mempengaruhi dinamika pembangunan masyarakat pesisir di wilayah perbatasan.<br /><br />Faktanya, masyarakat pesisir di wilayah ini, hidup dalam kesenjangan ekonomi yang sangat tajam dengan Malaysia. Ironisnya, kondisi kesenjangan ekonomi masyarakat di wilayah pesisir di Kabupaten Sambas, ada dalam wilayah dengan basis sumberdaya alam, berupa potensi perikanan dan kelautan cukup melimpah.<br /><br />Wujud kesenjangan ekonomi dari masyarakat pesisir ini, terlihat dari tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat pada 2007-2008, memperlihatkan bahwa, jumlah penduduk miskin provinsi Kalbar, tertinggi dibandingkan provinsi di Kalimantan lainnya. <br /><br />Berdasarkan data tersebut, angka kemiskinan di Kalimantan, berturut-turut sebagai berikut: Kalbar dengan 584.300 penduduk miskin atau 12,91 persen. Kaltim dengan 324.800 jiwa atau 11,04 persen. Kalteng dengan 210.300 atau 9,38 persen. Kalsel dengan 233.500 jiwa atau 7,01 persen. <br /><br />Meskipun data statistik pada 2007-2008, menunjukkan terjadinya pengurangan pada angka kemiskinan di Kalbar, namun Kalbar masih tetap menjadi provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak di Kalimantan. Jika ditempatkan dalam konteks nasional, tingkat kemiskinan di Kalbar, menduduki peringkat ke 14 dari seluruh provinsi di Indonesia.<br /><br />Data dari peneliti dosen UI, bekerjasama dengan mitra lokal, temanya Meneliti Masyarakat Nelayan Pesisir Perbatasan, awal Desember 2008. Kondisi kemiskinan masyarakat pesisir di wilayah perbatasan, bertambah parah dengan penerapan beberapa kebijakan ekonomi di tingkat nasional. Misalnya, kebijakan kenaikan harga bahan bakar. Meskipun, pada perkembangannya, BBM diturunkan lagi. <br /><br />Dampak nyata dari kenaikan harga bahan bakar, mengakibatkan besaran pendapatan mereka menurun tajam. Sehingga nelayan harus mengurangi intensitas melautnya. Kemiskinan masyarakat pesisir semakin parah juga harus menanggung kenaikan harga kebutuhan barang-barang pokok. <br /><br />Secara politik, masyarakat di wilayah perbatasan, juga ditandai dengan potensi terjadinya kekerasan komunal. Yaitu, kekerasan sosial yang terjadi antara dua kelompok masyarakat atau komunal. Kekerasan itu bisa berupa penyerangan yang dilakukan satu kelompok, terhadap kelompok yang lain.<br /><br />Beberapa faktor yang diindentifikasi memicu kekerasan komunal, diantaranya karena faktor etnis, agama, kesenjangan sosial, dan afiliasi politik. Hal inilah yang ditengarai terjadi di wilayah Sambas. Dan, secara budaya, masyarakat pesisir pada umumnya, termasuk di wilayah perbatasan, dicirikan dengan persoalan dan rintangan budaya. Ciri itu berupa, sikap tradisional, pasrah pada nasib, dan ketergantungan secara individual maupun kolektif.<br /><br />Melihat permasalahan tersebut, Pemkab Sambas memberikan alternatif dan penyelesaian, untuk menyejahterakan masyarakat pesisir. Salah satunya, dengan mengembangkan Minapolitan Jawai Selatan. <br /><br />Pemkab Sambas menjadikan Jawai Selatan sebagai contoh proyek Minapolitan. Pemkab menyediakan luas lahan sekitar 448,3 hektar. Terdiri dari Desa Jawai Laut seluas 248,3 hektar, dan Desa Jelu Air seluas 200 hektar. <br /><br />Pemkab juga membuat kawasan Hinterland Minapolitan Jawai Selatan yang meliputi, kawasan tambak Sebangkau seluas 1.219 hektar di Kecamatan Pemangkat, dan kawasan tambak Sarang Burung Danau, seluas 1.300 hektar di Kecamatan Jawai.<br /><br />Bupati Kabupaten Samabas, Burhanuddin A Rasyid mengatakan, Kabupaten Sambas merupakan salah satu daerah pertanian Kalbar. Sambas memiliki potensi budidaya udang atau bandeng dalam tambak. Di Selakau, luas dan potensinya mencapai 352,8 hektar, dengan estimasi produksi 105,84 ton per tahunnya. Pemangkat sekitar 1.219,0 hektar, dan estimasinya mencapai 365,70 ton per tahun. Jawai, luas potensi sektar 1.300,3 hektar, dengan estimasi produksi mencapai 524,49 ton per tahun. Teluk Keramat luas 500,0 hektar, dengan estimasi produksi 150,00 ton per tahun. Paloh luas potensi mencapai 2.637,5 dengan esetimasi produksi tiap tahunnya mencapai 791,25 ton. <br /><br />Kawasan Minapolitan Desa Jawai Laut, awalnya merupakan kawasan TIR-Trans Jawai. Dari 310 petak tambak yang ada, sebanyak 58 petak masih beroperasi dengan kondisi sarana dan prasarana seadanya. <br /><br />Burhanuddin menjelaskan, sekarang ini, pengelolaan tambak terbatas pada pola tradisional, karena terajdi pendangkalan di saluran air dan petak tambak. Dari segi keterampilan, pengelolaan secara intensif petani tambak, sudah cukup berpengalaman. Pada awal operasi tambak TIR-Trans, pola budidaya yang diterapkan adalah pola intensif, sesuai dengan konstruksi petakan dengan luas 0,5 hektar per petaknya. <br /><br />Burhanuddin tidak menampik, kondisi infrastruktur kawasan Minapolitan di kawasan tambak sangat terbatas. Misalnya, mayoritas jalan masih berupa tanah. Sarana air bersih belum ada. Sebagian besar saluran tambak sudah dangkal. Sehingga pemasukan air hanya bisa dilakukan, pada saat pasang tinggi.<br /> <br />Namun, pemerintah daerah juga sudah berupa melakukan perbaikan pada pembangunan sektor ini. Diantaranya, pada 2006, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sambas, membangun Balai Benih Udang (BBU) di Desa Jawai Laut, Kecamatan Jawai Selatan. BBU ini sudah mulai produksi benur windu pada 2007. Pemkab juga membangun fasilitas pembenihan ikan bandeng di lokasi BBU tersebut, pada 2007. Untuk menangani pendangkalan tambak, Pemkab bekerjasama dengan bidang Cipta Karya. <br /><br />Keberadaan tambak merupakan potensi besar, guna memajukan Minapolitan Kabupaten Sambas. “Hanya saja, masih diperlukan optimalisasi kawasan Minapolitan yang ada,” kata Burhanuddin. Seperti, Jawai selatan dengan daerah Hinterland-nya, Kecamatan Pemangkat dan Jawai, sangat potensial dikembangkan. <br /><br />Optimalisasi bisa dilakukan dengan normalisasi saluran dan penyediaan fasilitas lainnya, guna mendukung kegiatan tambak dan budidaya perikanan. Salah satunya dengan menindaklanjuti dan membentuk tim seleksi ini, melalui Surat Keputusan (SK) Bupati, untuk pendangkalan sungai dapat bekerjasama dengan bidang pengairan atau Cipta Karya.<br /><br />Dalam menangani masalah konflik batas laut, pemerintah daerah memang sudah berusaha membuat terobosan dengan pengembangan perikanan darat. Namun, apakah “cara penyelesaian” itu, sudah menjadi substansi dari kasus-kasus yang sudah pernah terjadi, dan mencegah peristiwa yang sama kedepannya? Mengingat, wilayah Sambas merupakan “zona panas” yang pernah menjadi medan tempur, dan menimbulkan peristiwa kemanusiaan dan konflik sosial yang luar biasa besar.aguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3927749122890539693.post-81889169387602748172010-06-06T06:51:00.000-07:002010-06-06T06:55:17.502-07:00Banjir Sambas Bukan TakdirAgus Wahyuni<br />Borneo Tribune, Sambas<br /><br />SUNGAI Sambas kebanjiran, tujuh hari tujuh malam, nak bejalan kepayahan.<br />Geratak Sabuk bepatahan, dilanggar lanting, dari sembarang. Urang sabuk kebabangan, nak nyebarang kepayahan.<br />Oooo ngape tang gaye.. jikube..jikube …<br />Gimane lah udek.. jak udah takdir Tuhan.<br /><br />Kalimat di atas adalah sepenggal bait lagu "Sungai Sambas Kebanjiran" yang dirilis tahun 1960-an. Lagu itu menggambarkan kisah, dimana Geretak Sabuk, salah satu jembatan peninggalan jaman penjajahan Belanda putus diterjang banjir. Dan sekarang lagu ini sudah melekat di hati masyarakat Sambas. Bahkan sebelum Kabupaten Sambas memisahkan diri dari Kota Singkawang. Dan hingga kini lagu musibah itu masih melekat di Kabupaten Sambas. <br /><br />Banjir mengakibatkan aktivitas lumpuh. Para pegawai dan karyawan harus berpisah dari kantornya. Nelayan menjadi jauh dari kapalnya. Pelaku usaha kesulitan menjalankan usahanya. Begitu juga dengan nasib petani, harus rela berpisah dari lahannya. <br />Jika ditanya perasaan mereka karena banjir, yang ada tentu cemas, gundah, gelisah. Semua bercampur. Terutama bagi petani, berladang satu-satunya keterampilan yang dimiliki. Dengan berladang ia menghidupkan anak dan istrinya. Dengan kedatangan banjir pula, petani harus mengungsi. <br /><br />Itulah yang dialami Hanafi, korban banjir, warga Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau, selama dipengungsian, akhir Desember lalu.<br />Ia terpaksa mengungsi bersama kelurganya dan 78 kepala keluarga (KK) lainnya, di Balai Pelatihan Pertanian, Desa Sungai Daun, Kecamatan Selakau. Waktu itu ketinggian air mencapai satu meter dari lantai rumah. Puluhan anggota Tagana datang dengan perahu motor. Dan mengangkut ratusan warga. Seketika itu desanya menjadi sepi. <br />Harta benda ditinggalkan. Rumahnya tergenang. Sementara padi sawah baru saja ia semai seluas dua borong dibiarkan tenggelam. "Gagal panen sudah pasti," cerita Hanafi.<br /><br />Hanafi merupakan satu dari sekian petani padi asal Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau yang sudah belasan tahun menggarap lahan pertaniannya. Setiap mamasuki akhir tahun itu juga, ia selalu berada di pengungsian, jika air sudah naik ke permukaan rumahnya, ketinggian mencapai satu meter. <br /><br />Selama di pengungsian, setiap harinya harus menjalankan aktivitas gotong royong. Ada yang membelah kayu untuk memasak. Mencuci beras. Memotong sayuran. Menyiangi ikan. Bahkan beberapa ibu-ibu sedang menyapu halaman.<br /><br />Sementara anak-anak yang ikut orang tuanya mengungsi. Rata-rata masih duduk di bangku SD dan SMP. Mereka hanya bisa bermain bersama beberapa anak lain di seputar halaman. Beberapa dari mereka memperhatikan para ibu dan bapak mereka saling membagi tugas. <br /><br />"Kebiasaan itu sudah dimaklumi warga yang mengungsi," kata Hanafi. Sebagai warga korban banjir yang menumpang. <br />Memang, disana untuk luas penampungan sangat cukup. Ada tiga barak yang tersedia. Masing-masing barak bisa menampung tiga ratusan orang. Jika menjelang siang, suasana terlihat ramai. "Maklum saja, tidak sedikit anak-anak ikut mengungsi. Teriakan, tangisan dan candanya ikut menggema. Lengkaplah sudah suasana pengungsian, kata Ruslan, juga korban banjir yang ikut mengungsi.<br /><br />"Disini warga yang mengungsi rata-rata berwajah lama," kata Ruslan.<br />Tanpa disuruh pun, mereka sudah bisa menempatkan posisinya untuk membagi tugas. Karena dari pengalaman sebelumnya, paling cepat lima belas hari sampai sebulan.<br />Bagi Ruslan, banjir melanda Desa Dayung Bersambut berbeda dengan banjir di daerah lain, karena banjir ini, banjir kiriman. Sementara daerah lain karena disebabkan air pasang laut dan curah hujan tinggi. <br /><br />Di desa kami hanya ada satu aliran sungai, yang menghubungkan langsung dengan Kabupaten Bengkayang. Sementara desa kami berada ditengahnya. Sungai tadi memang sudah dibangun dua pintu air, setinggi lima meter, yang ditempatkan di perbatasan Bengkayang dan kecamatan Selakau.<br /><br />Nah, mengingat pintu airnya dekat dengan Kabupaten Bengkayang yang merupakan dataran tinggi, mungkin pintu air disana sengaja dibuka. Untuk mengurang debit air disana yang juga ikut terendam. Sehingga aliran air tadi sampai di desa kami yang berada ditengahnya. “Butuh waktu lama menantikan air kembali surut,” kata Ruslan.<br /><br />Setelah itu, air kembali surut , tepatnya (30/12), baik Hanafi maupun Ruslan beserta warga lainnya pulang dari tempat pengungsian. Kembali ke rumah. Seperti biasa, sesampainya di rumah, mereka membersihkan seisinya dari lumpur yang menempel, di dinding dan lantai, sisa banjir. Lemari kayunya lapuk dan mengelupas. Yang tersisa hanya barang-barang rusak yang terendam air lumpur berhari-hari, kata Hanafi. <br /><br />Syukurlah, pulang dari pengungsian, Hanafi dibekali 5 kilo beras dan satu dus mie instan hasil pembagian dari Pemerintah Sambas. Jadi pulang ke rumah masih bisa makan bersama keluarga.<br /><br />”Sudah dua minggu saya tidak berladang, pastinya pendapatan tidak ada.” Memang penghasilan berladang tidaklah cukup untuk kebutuhan sehari- hari. Istrinya bernama Nurmala hanyalah ibu rumah tangga saja. Sementara kedua anaknya baru duduk <br />Di bangkus SMP dan SD.<br /><br />Sebagai penghasilan sampingan, saya mencari kayu cerucuk di hutan. Memakan perjalanan tiga hingga empat kilo. Satu hari ia bisa dapat lima hingga sepuluh batang. Untuk satu batangnya ia jual di penampungan seharga Rp 2.500 per batang. <br />“Pekerjaan sampingan itu juga diikuti petani disini.” Untuk mencukupi kebutuhan dapur dan ketiga anaknya yang masih sekolah.<br /><br />Jika banjir sudah datang, aktvitas pun lumpuh total. Tidak bisa mencari kayu di hutan dan tidak bisa berangkat keladang. Sambil menunggu air naik, yang bisa dilakukan hanya memancing ikan di sungai terdekat. Itu juga diikuti warga lain. “ Lumayan satu dua kilo bisa ia dapat. Ikan betok dan ikan gabus.<br /><br />Setelah itu, ia dipertemukan lagi dengan sawahnya seminggu lebih ia tinggalkan. Lalu menyemai kembali padi yang mati. Untuk bibit, ia dan 78 KK lainnya mendapat bantuan dari kecamatan untuk menanam kembali padi yang rusak akibat banjir. Baru saja disemai, memasuki, Senin (5/1), hujan kembali mengguyur, hampir merata di 19 kecamatan, kabupaten Sambas. Itu berlangsung tiga tanpa berhenti. Hampir semua warga menduga. “ Banjir datang lagi.” Dan itu terbukti adanya, sawahnya kembali tergenang, padi puso tak dapat dihindari.<br /><br />“Jika sudah begini, sumber penghasilan kembali akan lenyap,” tuturnya.<br /><br /><br />Puncaknya, Jumat (16/1), Tiga ratus tujuh puluh satu jiwa korban banjir, Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau dievakuasi. Dan aktivitas pertanian kembali lumpuh total. 998 rumah di kecamatan Selakau terendam. dengan ketinggian air rata-rata 10 sampai dengan 30 centimeter dari lantai rumah. Ini melanda di beberapa titik titik desa, diantaranya, Semelagi Besar, Sui Daun, Twi Mentibar dan Bentunai.<br />Banjir juga melaus di kecamatan lainnya dengan tinggi air mencapai 200 centimeter dari lantai rumah.<br /><br />Dari data Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Kabupaten Sambas per (15/1), Banjir paling parah melanda Kecamatan Teluk Keramat. Di kecamatan itu, 1.522 KK rumahnya terendam banjir hingga satu meter di 14 desa Desa yang tergenang meliputi Desa Kp Keramat, Mekar Sekuntum, Samustida, Teluk Kembang, Pipiteja, Lela, Tanjung Keracut, Sungai Kumpai, Tambatan, Sungai Baru, Teluk Kaseh, Berlimang, Sengawang, dan Puringan. <br /><br />Di kecamatan Sebawi, sebanyak 911 jiwa dari 217 KK diungsikan diantaranya di SDN 05 Sebawi, SDN 04 Spuk Tanjung dan SDN3 Sungai Sebedang.<br />Sementara di kecamatan Salatiga, 354 KK dari lima desa terendam banjir, dan semuanya diungsikan di rumah keluarga dan di posko desa. Lima desa tadi diantaranya, Desa Salatiga, Sungai Toman, Serunai, Serumpun dan Parti Baru. Untuk kecamatan Pemangkat, desa Harapan sebanyak 95 orang dievakuasi di SMAN 1 Pemangkat. <br /><br />Dan kecamatan yang mengalami banjir, diantaranya, Kecamatan Selakau, Semparuk, Sajad, Teluk Keramat, Sejangkung, Tebas, Salatiga, Jawai Selatan, Pemangkat, Galing, Sajingan Besar, Selakau Timur, Sambas, dan Jawai.<br /><br />Segalanya terjadi dengan mendadak. Bibit padi baru saja disemai. Tenaga dan keringat dipertaruhkan. Untuk menggarap ratusan meter persegi petak sawah. Tiba- tiba hujan deras mengguyur. Perlahan, air mulai naik. Dari satu centimeter hingga satu meter. Lalu menenggelamkan semuanya. Padi dan rezeki petani.<br /><br />Memang, jauh sebelumnya, tepatnya, Selasa (7/10) lalu. Sekretaris Daerah Kabupaten Sambas, Tufitriandi memprediksi bahwa Sambas memasuki akhir tahun akan mengalami bencana yang banjir yang cukup besar secara merata. <br /><br />Kemudian ia membuat surat edaran isinya berupa himbauan dan menyiagakan kembali Satlak BP. Namun himbauan tadi memang realistis sekaligus menunjukan ketidakmampuan dan rasa frustasi pejabat daerah dalam menanggulangi banjir.<br /><br /><br />Bencana banjir yang terjadi di sejumlah kecamatan tersebut, telah menyebabkan para petani mengalami kerugian yang cukup besar.<br />“Rata- rata kerugian tiap petani akibat banjir bisa mencapai Rp 5-7 jutaan,” kata Armawi, Kepala Desa, Gayung Bersambut.<br /><br />Ia mencontohkan, rata- rata petani di desanya memiliki sawah seluas 200 meter persegi. Dan bisa menghasilkan setengah ton padi. Jika dihitung satu kilo Rp 2400-2500, berkisar 5 jutaan bisa petani dapatkan. Hasil panen itu bisa dilakukan setahun dua kali. Mengingat setiap akhir tahun selalu banjir, jadi petani hanya bisa menikmati setahun sekali. <br /><br />Sementara data dari Kasi Tanaman Pangan dan Holtikultura, Dinas Pertanian Sambas, Nazimi, tahun 2008 dilaporkan, akibat banjir yang melanda sebanyak 3069 hektar padi gagal panen karena puso. Kerugian petani terutama pada biaya tanam, pupuk dan benih yang telah dikeluarkan. <br /><br />Jika dihitung satu hektare saja, untuk biaya sarana produksi pertanian sekali musim tanam termasuk keuntungan yang didapat sebesar Rp10 juta lebih, maka total kerugian petani kita akibat banjir mencapai Rp 30 miliar.” Dengan asumsi, 1 hektar bisa menghasilkan 3,5 ton dikalikan satu kilo padi seharga Rp 2.400-2.500. “ Itu belum termasuk biaya produksi, seperti pupuk dan bibit padi, kata Nazaimi.<br /><br />Untuk tanaman lainnya, yakni jeruk, per petani juga mengalami kerugian hingga Rp 6 juta akibat banjir, karena buah yang siap panen mengalami keguguran akibat terlalu lama terendam air. Dengan asumsi hasil panen jeruk 50 keranjang, satu keranjang 40 kilogram atau 2.000 kilogram dikali Rp 3.000 perkilonya, kata Fahmi, kepala Desa Sempalai, Kecamatan Tebas.<br /><br />Sementara untuk perkebunan, dari data Satlak PB, per (15/1), di Kecamatan Teluk Kramat, seluas 4.073 hektar kebun karet milik rakyat, sementara ini tidak bisa ditoreh, karena terendam banjir. <br /><br />Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas, Ateng Hartono mengatakan, tahun 2006 saja, luas panen padi sebesar 75.109 Ha, pada tahun 2007 meningkat sebesar 4,53 persen, dimana luasnya menjadi 78.515 Ha.<br /><br />Sementara untuk produktivitas tanaman padi, tahun 2006 sebesar 31 ku/ha, sedangkan tahun 2007 meningkat menjadi 32,43 ku/ha.<br /><br />Dan untuk tanaman padi sawah memberi kontribusi terbesar terhadap produksi padi di Kabupaten Sambas. Berdasarkan data 2007, dari total produksi padi yang mencapai 254.610 ton, sekitar 96,98 persen berasal dari padi sawah dan hanya 3,02 persen dari padi ladang.<br /><br />Dan untuk luas areal jeruk Siam Sambas, saat ini mencapai 6.928,07 hektar. Areal tanaman yang sudah berproduksi mencapai 3.389, 39 Ha dengan produksi mencapai 13.595, 17 ton. Pada tanaman yang telah berumur antara 3-4 tahun, rata- rata produktivitas tanaman berkisar 10 kg-15 kg per pohon. <br /><br /><br />Semakin terpuruknya petani padi di kabupaten Sambas yang sering dilanda banjir, Ketua Ikatan Sarjana Pertanian, Misni Safari berkata, pemerintah Kabupaten Sambas perlu menciptakan sistem pertanian modern, karena sistem bercocok tanam yang ada sekarang dinilai kurang dalam peningkatan produktivitas hasil pertanian, khususnya padi.<br /><br />Sistem pertanian modern yang dimaksud, dengan menerapkan jenis pertanian yang disesuaikan dengan iklim. Karena pertanian yang ada masih tergantung dengan iklim.<br /><br />Ia mencontohkan, banyak petani saat menyemai padi, memasuki akhir tahun selalu kandas karena padinya terendam air. Itu disebabkan petani kita tidak tahu kapan banjir datang. Karena banjir tidak bisa diprediksi. Dan diperparah lagi, baik Dinas Pertanian maupun penyuluh pertanian seakan berdiam diri tanpa ada suatu langkah yang nyata untuk petani. “Kapan waktu harus menyemai dan kapan waktu panen.”<br /><br />Ia mencontohkan seperti negara Jepang, dimana petaninya menanam jenis tanaman yang disesuaikan dengan iklim, seperti daerah yang beriklim salju, maupun tropis. Dan pemerintah Jepang sendiri sudah memetakan daerah pertanian yang dimaksud. <br /><br />Untuk Pemerintah Kabupaten Sambas perlu meniru seperti pertanian Jepang. Selalu memetakan daerah, mana yang cocok lahan pertanian dan mana yang cocok untuk lahan perkebunan.<br /><br />Itu artinya, jika banjir sudah menjadi agenda tahunan, pemerintah daerah harus cepat tanggap dengan cara mengalihkan masih memungkinkan untuk pertanian atau tidak.<br /> <br />Akibat Banjir, beberapa aktivitas produksi dunia usaha kecil menjadi terganggu mengakibatkan tidak bisa produksi dalam beberapa hari, salah satunya, Anen, pemilik kengrajin keranjang bambu, desa Sempalai, kecamatan Tebas.<br /><br />Sejak (5/1), hujan mengguyur daerahnya, mengakibatkan tempat produksinya mengalami genangan air, sehingga empat hari usahanya tidak berproduksi. Sehingga ia alami kerugian berkisar Rp 5 jutaan. Asumsinya, dalam sehari ia memproduksi 150 keranjang dan ia jual dengan harga Rp 15.000. Hasil tadi jika dikalikan tiga hari saja alami banjir. Kerugian tadi belum ditambah dengan pengrajin keranjang bambu lainnya. Untuk desa Sempalai sendiri , kurang lebih ada 20 usaha serupa seperti Anen.<br /><br />Belum lagi kerugian kendaraan bermotor alami mogok akibat beberapa ruas jalan terendam hingga ketingian air mencapai 50 centimeter.<br />Toto, pria yang bekerja di bengkel “Murni Motor “Jalan Gusti Hamzah, Sambas, mengatakan, dalam sehari, setidaknya 40 motor singgah di bengkelnya. Penyakit sepeda motor tersebut sama, mogok gara-gara banjir. <br />“Kalau hari biasa, hanya 10 sampai 15 motor saja yang datang ke sini, tapi sekarang jauh lebih banyak,” ungkap Toto.<br /><br />Kebanyakan motor yang mogok itu, gara-gara nekat menembus banjir. Dan rata-rata sepeda motor yang mogok karena busi, karburator, dan saringan udara yang terendam air. Untuk tarif rata- rata dikenakan pada pemiik kendaraan berkisar Rp 10 ribu sampai 30 ribu. Itu belum termasuk jumlah bengkel lainnya yang mengalami ketiban rezeki, lagi- lagi akibat banjir.<br /><br />Itu belum ditambah dengan berapa kerugian bagi pelaku usaha budidaya udang dan bandeng dalam tambak, kemungkinan tambaknya jebol akibat banjir, meskipun belum ada data resmi dari Dinas Perikanan Sambas. <br /><br />Di kecamatan Selakau misalnya, jumlah areal budidaya tambak mencapai 352,8 hektar dengan estimasi produksi 105,84 ton per tahunnya. Pemangkat sekitar 1.219,0 hektar dan estimasinya mencapai 365,70 ton pertahun, di Jawai, luas potensi 1.300,3 hektar, estimasi produksi mencapai 524,49 ton pertahun, Teluk Keramat luas 500,0 hektar, estimasi produksi 150,00 ton pertahun, dan Paloh luas potensi mencapai 2.637,5 dengan esetimasi produksi tiap tahunnya mencapai 791,25 ton pertahun.<br /><br />Banjir juga mengakibatkan kerugian non fisik, salah satunya terjadi penambahan jumlah pengangguran di Kabupaten Sambas. Kepala BPS Sambas, Ateng menyebutkan, sebagian besar, yakni 71,43 persen atau 255.241 orang penduduk usia 15 tahun ke atas di kabupaten Sambas bekerja di sektor pertanian. Jika banjir kali ini melanda hampir merata di sejumlah kecamatan kabupaten Sambas, kurang lebih 255.141 sudah bisa dipastikan menganggur. <br /><br />Bagi Ateng, sektor pertanian, selain memberi pangsa pasar tertinggi terhadap prekonomian kabupaten Sambas, juga memberi kontribusi terbanyak penyerapan tenaga kerja.<br /><br />Hasil Sakernas, kondisi Agustus 2007, menunjukkan sebagian besar pekerja yaitu 32,37 persen status pekerjaannya adalah sebagai pekerja tak dibayar. Sekitar 29,85 persen merupakan pekerja dengan status berusaha dibantu buruh tidak tetap. Sekitar 16,98 persen status berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan sekitar 15,31 persen status pekerjaannya sebagai buruh, karyawan dan pegawai.<br /><br />Itu artinya Tingkat Produktif Relatif (TPR) yakni perbandingan antara kontribusi sektor pertaian terhadapap prekonomian dengan kontribusi tenaga kerja terhadap total tenaga kerja sebesar 43,10 persen. “ Angka yang cukup besar,” kata Ateng.<br /><br />Jika ditanya berapa keseluruhan total kerugian akibat banjir, ternyata Pemerintah Daerah tidak ada yang bisa menjawab, meskipun banjir yang melanda bukan yang pertama kali.<br /> <br />Buktinya, pada saat saya bertanya pada wakil Bupati Kabupaten Sambas, Juliarti yang juga Ketua Satlak PB Sambas tak bisa menjawab, berapa sebenarnya total kerugian akibat banjir. <br /><br />Hal senada juga dilontarkan Kepala Badan Perencanaan Daerah Sambas, Sanusi, ia hanya berkata, “Bapeda tidak punya data total kerugian banjir tahun 2009 dan tahun sebelumnya. “ Coba tanyakan pada Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi.<br /><br />Lalu saya tanyakan pada kepala Dinas Nakertransos, Abdul Gafar, dan ia mengatakan, “Coba tanyakan pada kasi sosial, Muhaimin.” Jawabannya juga sama dengan Bapeda. Pihaknya tidak pernah mendata kerugian banjir sebelumnya. Yang dilakukan hanya berkoordinasi penanggulangan dan memberikan bantuan.<br /><br />Begitu juga saat saya konfirmasi kepada Dinas Pekerjaan Umum, Kasi Sumber Daya Air dan laut, Abdul Latif, lagi- lagi jawabannya sama, tidak penah melakukan pendataan kerusakan infrastruktur akibat banjir.<br /><br />Belum sampai disitu, saya kemudian bertanya kembali pada Dinas Pertanian, dari pengakuan Kasi Tanaman Pangan dan Holtikultura, Nazimi, dia hanya punya data luas areal lahan pertanian yang terendam tahun 2008, yakni 3069 hektar padi alami puso.”<br />Sementara tahun- tahun sebelumnya tidak pernah didata.<br /> <br /><br />Hal senada juga dikatakan kepala Badan Pusat Statistik Sambas, Ateng Hartono, instansinya belum pernah mendata berapa kerugian sebenarnya, setiap banjir melanda kabupaten Sambas.<br /><br />Namun ia berkilah, sebenarnya kerugian banjir bisa ditafsir dengan menggunakan tabel Input Output. Lama penghitungannya bisa dilihat dalam seminggu. <br /><br />Namun untuk di Sambas sendiri, mutu SDM BPS masih rendah. “ Kita belum mampu untuk kesana, “ kata Ateng. <br /><br />Dan terakhir, jawaban yang sama juga terlontar dari pengurus Satuan Penangulangan Bencana (Satlak PB) Kabupaten Sambas, Erwin, katanya data sebagian kerugian banjir sudah terbakar pada waktu sekretariat masih di kantor bupati yang terbakar beberapa tahun silam.<br /><br />Senin (12/1) lalu, Bupati Sambas, Burhanuddin A Rasyid memantau lokasi terendam banjir. Ia tidak sendirian, beberapa instansi terkait juga ikut mendampingi. Sebut saja, Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan. Dengan menggunakan 3 kapal motor. Rombongan bertolak dari rumah Bupati Sambas menuju Desa Jambu dan beberapa desa di Kecamatan Sajad, Sejangkung, dan Kecamatan Tebas yang merupakan titik banjir.<br /><br />Sebuah pemandangan biasa, seorang pejabat mengunjungi warganya yang tertimpa musibah. Dan pemandangan itu bukanlah yang pertama kali. “Setiap ada banjir, selalu ada kujungan dari pejabat.”<br /><br />Namun yang mengherankan, saat ditanya berapa total kerugian banjir untuk Kabupaten Sambas. “ Tidak ada yang bisa menjawabnya.” <br /><br />Jadi, jelaslah sudah, kunjungan yang dilakukan pejabat hanya bersifat seremonial saja. buku dan balpoin memang dibawa, tapi tak pernah untuk dicatat. <br />“Berapa kerugian banjir.” Pertanyaan yang gampang- gampang susah, Bukan?<br /><br />Aktivis lingkungan, juga sebagai Direktur Lembaga Pengkajian Arus Informasi Regional, Deman Huri menyimpulkan, sebab banjir yang melanda Kabupaten Sambas dan daerah lain karena kerusakan hutan.<br /><br />Apabila kita melihat lebih seksama, banjir bukan semata-mata proses alamiah karena meningkatnya intensitas hujan, tetapi bencana banjir karena semakin meningkatnya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan tidak terkendali. Banjir yang terjadi merupakan dampak atas kebijakan pembangunan yang belum memberikan sentuhan positif terhadap tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam.<br /><br />Sekjen Serikat Tani Serumpun Damai, Syahrial berkata, Pemda tidah pernah mau belajar, karena banjir ini telah terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun, maraknya penerbitan izin tambang dan konversi hutan menjadi perkebunan sawit skala besar menjadi penyebab utama bencana banjir ini.<br /><br />Selain itu, rendahnya tingkat kemampuan hutan sebagai kawasan penyerap air, penyimpan air, dan mendistribusikannya secara alamiah menyebabkan banjir tersebut. Kondisi hutan yang semakin rusak akibat adanya penghancuran sumber daya alam yang menjadi penyebab semua ini. <br /><br />Jadi, jelaslah bahwa kesalahan dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kemampuan daya dukung atas lingkungan merupakan penyebab utama dari bencana banjir tersebut. Juga jelas terlihat bahwa eksploitasi sumber daya alam tidak pernah memperhatikan aspek ekologis serta sosial.<br /><br />Kembai ke Deman, kita melihat hutan selalu dipadang dari kacamata draiven market (dorongan pasar), sehingga masyarakat dan pemerintah berlomba-lomba mengekplotasi hutan secara besar-besaran tanpa memerhatikan kelestarian dan nasib generasi akan datang.<br /><br />“Sesuai dengan teori ekonomi, mengeluarkan modal sekecil-sekecilnya dan mengambil untung sebesar-besarnya.” Begitu juga dalam pengelolaan di sektor kehutanan. “Para pengekplotasi hutan enggan mengembalikan hutan ke bentuk semula, karena akan mengeluarkan modal yang besar,” katanya.<br /><br />Ketika melihat sektor kehutanan hanya dari sisi draiven market, maka menyebabkan konversi lahan berlebihan, misalnya mengubah lahan hutan menjadi perkebunan dan pertambangan seperti yang dilakukan oleh perusahaan di sektor perkebunan di Kalbar.<br /><br />Salah satu indikasi, Deman menyebutkan, karena saat ini selalu adanya benturan kepentingan, antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Benturan kepentingan ini menyebabkan terjadinya mismanajemen dalam penggelolaan sumber daya hutan. Ia mencontohkan, pemerintah pusat memplot kawasan hutan A menjadi kawasan konservasi, sementara pemerintah provinsi dan kabupaten memplot kawasan hutan tersebut dijadikan kawasan perkebunan, sehingga konflik berkepanjang antara pemerintah pusat dan daerah ini juga ambil andil dalam perusakan hutan.<br /><br /> Yang jelas kesemua faktor tersebut telah menyebabkan kerusakan di sektor kehutanan, sehingga terjadi prahara di sektor tersebut. Yang lebih dikenal dengan prahara ”mahkota hijau”, sektor kehutanan yang dahulu kala menjadi salah satu sektor dominan dalam memenuhi kebutuhan rakyat di sekitar hutan dan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan devisa negara. Namun sekarang, sebaliknya setelah terjadi prahara di sektor kehutanan, bencana akan selalu menghantui republik dan daerah ini. Pemerintah harus menanggung biaya sosial dan ekologis yang tidak terhitung nilainya.<br /><br /> Jika ini tidak ditanggapi dengan serius, bencana akan selalu menghantui daerah ini. Seperti, banjir, kemiskinan, musnahnya ribuan keanekaragaman hayati, kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan berbagai bencana lainya. <br /><br />“Bencana yang terjadi saat ini tidak akan hanya dirasakan oleh generasi saat ini saja, tetapi bencana ini akan berlanjut dan dirasakan oleh anak cucu kita. Apabila prahara Mahkota Hijau terjadi terus menerus dan tidak diatasi secara serius, ungkap Deman.<br /><br />Kasi Pemantauan dan Pengawasan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sambas, Jimmi membenarkan, hutan memberikan pengaruh pada sumber alam lain melalui tiga faktor yang berhubungan, yakni iklim, tanah dan pengadaan air di berbagai wilyah. Apabila hutan ditebang atau rusak maka pengaruh hutan dan belukar terhadap iklim sangat terasa, misalnya, pohon- pohon semakin tidak mampu mengurangi kecepatan angin sehingga akan mengurangi penguapan air dari tumbuhan. Hutan juga berpengaruh terhadap struktur tanah, erosi, dan pengadaan air di lereng- lerang. Secara umum, adanya hutan dapat mengurangi banjir, karena hutan mampu menyimpan dan menahan air dalam tanah, mempertahankannya serta memperbaiki permeabilitas tanah dan ruang pori-pori dalam tanah. Akibat pengundulan hutan oleh penebangan kayu bertanggung jawab atas kira- kira 30 persen banjir yang terjadi.<br /><br />Ini bisa dilihat daerah perbatasan Kabupaten Sambas, dimana kondisi penutupan lahan di wilayah itu menunjukkan trend penurunan dari tahun ke tahun. Akselerasi penurunan kualitas ini semakin meningkat sejak diberlakukannya otonomi daerah yang memberikan kesempatan luas pada masyarakat untuk mengelola lahan secara langsung, terutama pada kawasan hutan. Penurunan kualitas penutupan lahan pada umumnya berubah menjadi vegetasi kerapatan sedang- rendah (hutan sekunder), semak belukar, hingga lahan terbuka yang menjadi indikasi terbentuknya lahan kritis.<br /><br />Ia menambahkan, faktor lain penyebab banjir, berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sambas tahun 2007. Berdasarkan kualifikasi iklim, wilayah kabupaten Sambas dikenal sebagai daerah penghujan dengan intensitas hujan di atas 2.000 mm pertahun. Pada tahun 2003 saja, rata- rata jumlah hari hujan bulanan adalah 16 hari dengan rata-rata curah hujan mencapai 358,17 mm perbulan. Intensitas hujan yang cukup tinggi ini, terutama dipengaruhi oleh daerahnya yang berhutan tropis dan disertai dengan kelembaban udara yang cukup tinggi, yakni berkisar antara 86-88 persen.<br /> <br />Kemudian, berasarkan topologi, Kabupaten Sambas pada umumnya landai hingga datar. Dilihat dari ketinggian tanah dan permukaan laut. Misalnya saja ketinggian antara 0-7 meter, terdapat di kecamatan Sejangkung, Sambas, Tebas, Selakau, Pemangkat , Jawai, Teluk Keramat, dan Paloh.<br /><br />Dan tak kalah pentingnya penyebab banjir di Kabupaten Sambas adalah akibat pendangkalan muara sungai bagian hilir dari sebuah sungai, ini disebabkan kerusakan bibir pantai yang berhubungan dengan laut sehingga jika terjadi pasang surut air, sirkulasi aliran air menjadi terhambat. <br /><br />Semestinya Pemda Sambas harus berkaca dari pengalaman. Banjir bukanlah musibah yang tidak ada obat penangkalnya. Menerjunkan ratusan tenaga relawan setiap tahunnya memasuki musim banjir tidaklah cukup mengobati penderitaan masyarakat yang menjadi korban. Meskipun ratusan bantuan logistik, baik itu sembako maupun obat- obatan didatangkan. Harus ada sebuah kebijakan untuk memerangi banjir dimulai dari sekarang, meskipun dana itu tidak sebanding dengan kerugian akibat banjir, kerugian tiap tahunnya mencapai ratusan miliyar lebih. <br /><br />Menanggapi hal itu, Kepala Bidang Pengairan Sungai, Laut dan Air Baku, Dinas Kimraswil Kabupaten Sambas, Abdul Latif mengtakan, Pemda bukanlah tanpa usaha untuk memerangi banjir, salah satunya dengan menganggarkan dana untuk normalisai sungai. Tahun 2008 saja, alokasi dana yang digunakan sebesar sebesar Rp 21.828.027.000, dengan panjang sungai mencapai 470.910 meter di sembilan belas kecamatan. Normalisasi sungai ini berdasaarkan permintaan dari masyarakat melalui Musrembang di tiap desa. <br /><br />Sementara Asbeni, Ketua Komisi B, DPRD Sambas, menilai, nomalisasi sungai tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi banjir yang terjadi, karena normalisasi hanya bersifat formalitas, artinya tidak melakukan kajian secara mendalam, titik-titik mana saja sungai yang mengalami pendangkalan. <br /><br />Ia menyarankan agar pemerintah sudah saatnya membuat program kanalisasi yakni dengan membuat aliran air yang baru, dimana berfungsi untuk mengeluarkan air ke laut bagi daerah yang terendam banjir, seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta. “Ini lebih efektif, meskipun harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit,” katanya lagi.aguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3927749122890539693.post-32569251038154207342010-06-01T20:31:00.000-07:002010-06-01T20:33:40.112-07:00Berburu Ubur- Ubur di Pantai Terpanjang di IndoneisaAgus Wahyuni<br />Borneo Tribune, Sambas<br /><br />Jika kita ditanya, sungai apa yang terpanjang d Indonesia. Kita sepakat, jawabanya adalah sungai Kapuas, ada di Pontianak.<br />Lain pertanyaan, pantai apa yang terpanjang di Indonesia? Jawabannya bukan pasir panjang, di Singkawang, tapi pantai Temajuk, di desa Temajuk, kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas.<br /><br />Merupakan sebuah kawasan perbatasan, antara Temajuk dan Telum Melano Malaysia, memiliki pantai berpasir putih memanjang menebar panorama pantai bagi yang pernah berkunjung ke sana. Kawasan itu merupakan kawasan yang berpotensi dikembangkan menjadi daerah wisata bahari, karena suanasanya masih alami,ditemani dengan deretan pohon cemara berbaris rapi di tempi pantai dengan deburan ombak besar menjilat pantai.<br /><br />Belum lagi habitat penyu hijau yang bertelur pada musin tertentu, merupakan penyu langka yang ada di dunia. Sunguh menakjubkan. <br />Tapi sayang, di Temajuk, telur penyu sangat bebas diperdagangkan. Di sana banyak warga memburu telur penyu pada malam hari pada saat penyu bertelur. Hal itu disebabkan disana tidak ada pengawasan ketat, bagaimana sebenarnya telur penyu dilarang untuk diperdagangkan.<br /><br />Terlepas dari itu semua. Pengunjung yang sudah menginjakkan kaki ke sana, mereka berdecak kagum, ternyata ada pantai yang lebih indah di banding pantai Kuta, Bali, yakni pantai Temajuk.Percaya atau tidak, silahkan saja berkunjung ke sana.<br /> Eiit…tunggu dulu.. pengunjung harus bersiap – siap menerima resiko dan tantangan. Karena daerah tersebut masih terisolir, hanya bisa mengunakan kendaraan roda, itupun harus menempuh jalan di bibir pantai menempuh perjalanan sepanjang 90 kilometer atau selama dua jam perjalanan. Itupun tergantung air laut surut, pada pukul 05.00 -11.00 atau 17.00-19.00. Tinggal memilih waktu yang tepat bagi pengunjung yang ingin menikmati keindahan panorama pantai Temajuk .<br /><br />Meskipun medan perjalanan yang panjang dan melelahkan, akan terasa ringan menikmati perjalanan sampai ke desa Temajuk. Apalagi jika anda sudah bertemu dengan masyarakat perbatasan desa Temajuk yang terkenal dengan ramahnya setiap ada tamu yang datang.<br />Di desa Temajuk memang tidak disediakan hotel atau tempat penginapan umum. Bagi pengunjung yang bertandang ke desa itu, biasanya nginap di rumah warga sekitar atau di rumah kepala desa Temajuk.<br /><br />Selama di penginapan rumah warga merupakan kesempatan bagi pengunjung untuk bertanya panjang lebar tentang kehidupan masyarakat perbatasan.<br />Masyarakat perbatasan Temajuk sangat menggantungkan hidup bertani dan nelayan. Dua bidang itu adalah sumber mata pencaharian selama ini, karena desa Temajuk memiliki hamparan lahan dan laut yang luas.<br /><br />Ada yang menarik lagi di desa Temajuk. Ini karunia sang pencipta memberikan masyarakat Temajuk berbagai kelimpahan sumber dayanya, sebagai jasa kepada masyarakat Temajuk yang sudah berjasa menjaga sumber daya alam yang ada.<br />Salah satunya adalah kemunculan binatang laut yakni ubur – ubur di laut Temajuk. Biota laut itu muncul setahun sekali, yakni pada Maret sampai April.<br />Kejadian ini mirip dengan di kawasan pantai Selatan pulau Lombok. Dimana setiap tahunnya, masyarakat turun ke pantai untuk berburu cacing “ nyale” atau cacing laut yang bisa dikomsumsi, dengan berbagai khasiatnya. <br /><br />Bagi masyarakat lombok, kehadiran cacing nyale adalah motos tubuh putri Mandalika di sepanjang pantai Selatan Lombok. Ia seorang wanita cantik penuh kebijaksanaan yang dipercaya jiwanya masih berdiam di kawasan pantai Selatan pulau Lombok. Kehadiran sang putri disambut setiap tahun dalam bentuk tradisi “Bau Nyale” (Bahasa sasak berarti dapat menyala).<br /><br />Nah, di desa Temajuk sendiri, pada bulan itu Maret- April, juga mirip dengan kebiasaan masyarakat Lombok. Hampir setengah warga Temajuk memutuskan berburu ubur- ubur di tepian laut mengunakan perahu motor. Ubur-ubur termasuk salah satu hewan lunak yang tidak bertulang belakang hewan ini sering di jumpai di di laut. Cara mengambilnya pun cukup mudah. Pagi hingga sore hari ubur- ubur menampakkan diri di dasar laut, terlihat mengapung.<br /><br />Jadi si pemburu cukup menyisir laut, jika ubur ubur sudah terlihat , cukup mengambilnya dengan cara menyauk dengan mengunakan tanggukan terbuat dari rajutan jaring tali senar. Satu hari, satu perhau motor bisa mendapatkan ubur- ubur sedikitnya 150-500 ekor. Satu ekor ubur- ubur beratnya sekitar 1,5 kilogram, di jual ke penampung per ekor seharga Rp 2.500.<br />Setelah hasil tangkapan ubur- ubur tadi langsung di jual kepada pemilik kilang ubur- ubur. Kilang ini berfungsi sebagai tempat pembersihan dan pengawetan ubur – ubur, sebelum dilempar ke pasaran.<br /><br />Di desa Temajuk terdapat depalan belas kilang ubur- ubur. Pengusahanya dari penduduk lokal. Salah satunya adalah kepala desa Temajuk, Mulyadi, juga memiliki kilang ubur- ubur.<br /><br />Mulyadi berkata, keberadaan kilang ubur- ubur baru sudah ada sejak delapan tahun lalu. Awalnya ada alah satu pengusaha dari Pontianak menawarkan kerjasama kepada masyarakat Temajuk untuk menampung ubur- ubur dalam jumlah bersar, kemudian dijual kepada pengusaha tersebut.<br /><br />Pengusaha itu melihat bisni ubur-ubur sangat menjanjikan dan banyak permintaan di negara luar, seperti Jepang, Cina, Korea, Malaysia dan lainnya. <br /><br />Dana pembangunan kilang ubur- ubur dibiayai oleh pengusaha, begitu juga dengan perahu motor sebagai kendaraan untuk menangkap ubur- ubur di laut.<br />Padahal dulu sebelum prospek bisnis ini menjanjikan, ubur- ubur hanya binatang laut yang tidak memiliki harga.<br /><br />“Jadi banyak nelayan sekitar membiarkan ubur- ubur tetap mengapung di laut, “ kata Mulyadi. <br />Satu kilang biasanya memperkerjakan sekitar 15 karyawan, mulai dari pengangkutan ubur-ubur dari perahu motor, membersihkan ubur- ubur, hingga pengawetan.<br />Untuk pengangkutan ubur- ubur bisanya dilakukan oleh warga laki- laki, dengan mengangkut keranjang ubur-ubur hasil tangkapan di laut. Sementara kaum perempuannya juga kebagian peran, bertugas mencuci ubur- ubur dengan air bersih sebelum dilakukan proses pengawetan.<br /><br />Upah yang didapat pekerja di kilang pun bervariasi. Pekerja yang membawa keranjang berisikan ubur – ubur dari perahu motor ke kilang mendapat upah Rp 300, karena jarak pikul tidak terlalu jauh dari kilang. Begitu juga dengan ibu - ibu yang bertugas sebagai pembersih ubur- ubur, mendapat upah Rp 500 per ekor.<br />Sementara untuk pengawetan, kata Mulyadi, ubur – ubur di tampung di dalam bak beralas terpal, kemudian direndam dengan air garam. Itu dilakukan secara berulang kal, agar ubur- ubur tetap awet dan tidak busuk, sebelum pembeli dari Pontianak datang mengambil ubur- ubur dari kilang.<br /><br />Satu kilang ubur- ubur pada musim panen bisa mencapai 2-4 ton ubur- ubur. Satu ton ubur-ubur di jual ke agen di Pontianak Rp 15 juta. Dari Pontianak ubur- ubur langsung di ekspor ke luar negeri, seperti Cina, Japan, Korea, Malaysia, dan negara tujuan lainnya.<br /><br />Setelah diolah secara khusus, ubur-ubur dapat dijadikan menu utama bernilai tinggi. Di restoran besar, khususnya yang menyajikan masakan China, menu berbahan baku ubur-ubur kerap dicari pelanggan.<br /><br />Ubur-ubur yang telah dikeringkan juga bisa dijadikan camilan lezat. Ini biasa dijumpai di mal-mal di Jepang, tergantung ukuran kemasan. Camilan ini sangat digemari para remaja di Jepang. <br /><br />Rasanya enak, sama sekali tak berbau anyir, mengandung protein hewani yang tinggi.<br />Menurut cerita dari agen, ubur- ubur yang di ekspor ke luar negeri untuk diolah menjadi alat kosmetik kecantikan. Selain itu, ubur- ubur juga dijadikan hidangan makanan karena kaya kandungan kalsium, yudium,dan protein, baik untuk kesehatan, dibanding jenis ikan laut.<br /><br />Bagi masyarakat Temajuk, ubur- ubur juga biasa disantap untuk hidangan makan. “Paling nikmat dijadikan pecal atau rujak, “ kata Mulyadi.<br />Caranya, ubur- ubur terlebih dahulu direbus, lalu dipotong kecil- kecil, kemudian langsung dicamur aduk dengan bumbu pecal atau rujak. <br />“Jika disantap ramai- ramai, rasanya, maknyusss,” kata Mulyadi menirukan iklan di televisi.<br /><br />Itulah salah satu daya tarik dari pantai Temajuk, pantai perbatasan beranda negara, menyimpan kekayaan alam yang tak ternilai. Salah satunya adalah perkembanganbiakan ubur- ubur dalam jumlah banyak, tidak didapat oleh pantai manapun.<br />Tapi sayang, ubur- ubur Temajuk tidak masuk dalam incam pendapatan asli daerah Sambas, karena pemerintah kabupaten Sambas belum melirik peluang usaha ini<br />Terlepas dari itu semua, masyarakat perbatasan Temajuk sangat menikmati hidup di sana,meskipun terisolir. Dan selalu tetap menjaga agar lingkungan laut Temajuk tidak tercemar dari orang- orang bertangan jahil yang ingin merusak lingkungan Temajuk hanya untuk keuntungan sesaat.aguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3927749122890539693.post-74242664343434059362010-06-01T20:27:00.000-07:002010-06-01T20:30:06.099-07:00Melihat Sekolah Serba Gratis di Teluk MelanoAgus Wahyuni<br />Borneo Tribune, Sambas<br /><br /> “Pendidikan Gratis” biasa kita dengar lewat iklan di televisi. Padahal kita tidak tahu, yang disebut gratis itu yang mana. Siswa masih dipungut biaya uang banguanan, buku dan tetek bengeknya.<br /><br />“Perjuangkan Pendidikan Gratis” juga seringkali kita dengar setiap menjelang pemilihan kepala daerah, salah satu visinya itu. Padahal belum tentu bisa terlaksana.<br />Tapi “ Pendidikan Gratis” tanpa disuarakan dengan nyaring sekalipun, Malaysia sudah berbuat itu. Dan itu merata di seluruh daerah, termasuk daerah perbatasannya.<br />Seperti di daerah Teluk Melano, Malaysia, merupakan daerah berbatasan langsung dengan desa Temajuk, kecamatan Paloh, Sambas. Disana ada satu sekolah dasar. Bangunannya megah, berlantai empat, lengkap dengan asrama siswa dengan memiliki empat lantai juga. Bangunan itu berdiri berdampingan.<br />Saya berkesempatan menunjungi sekolah itu, dalam laporan perjalanan saya ke daerah perbatasan. Masyarakat Malaysia menyebutnya sempadan.<br /><br />Dua bangunan megah berlantai empat berdiri gagah di daerah sempadan, Teluk Melano Malaysia. Itu adalah bangunan sekolah dasar yang didirikan kerajaan Malaysia, lima tahun lalu. Tujuannya agar anak - anak perbatasan Malaysia bisa menikmati pendidikan seperti daerah lainnya, menikmati pendidikan gratis lengkap dengan pelayanan fasilitas pendidikan.<br /><br />Pada suatu kesempatan, Sabtu pekan lalu, saya berkunjung ke sekolah itu. Kebetulan saya mendapat undangan liputan dari mahasiswa perikanan Universitas Muhammadiyah Pontianak, di desa Temajuk, kecamatan Paloh. Lokasinya bersampingan dengan Teluk Melano, Malaysia. Daerah itu merupakan daerah perbatasan dua negara, hanya berjarak satu kilometer saja dari desa Temajuk.<br /><br />Di sana saya diajak salat satu staf pengurus desa untuk jalan- jalan menikmati pemandangan daerah Teluk Melano. Mendadak saya terkesan dan terperangah. Ada dua bangunan berlantai empat dibangun berdampingan di lokasi itu. Ternyata bangunan itu adalah bangunan sekolah dasar untuk anak – anak perbatasan Malaysia.<br />“Sungguh mengesankan” gumanku. Bagaimana tidak, bangunan semegah itu, jangankan di desa Temajuk, ibukota Sambas sekalipun belum ada yang mampu mendirikan bangunan sekolah semegah itu.<br /><br />Untuk mengobati rasa penasaran saya, di sana saja diketemukan dengan Jauhari. Ia salah satu guru agama Islam di sekolah itu, sejak sekolah itu difungsikan. Ia banyak bercerita tentang sekolahnya.<br /><br />Dari ceritanya, sekolah ini sengaja dibangun oleh kerajaan Malaysia, untuk mencerdaskan anak- anak perbatasannya. Karena pendidikan bagi kerajaan Malaysia adalah yang utama.<br /><br />Di sekolah ini , tidak saja bangunan yang megah, juga tersedia sarana dan prarsarana penunjang belajar. Seperti laboratorium komputer, internet, bahasa dan balai pelatihan wirausaha untuk siswa.<br /><br />Khusus untuk lab pelatihan wirausaha, materi yang diajarkan, berupa service sepeda motor, service televisi, dan menggali potensi kekayaan alam yang ada untuk dijadikan barang jadi bernilai seni, seperti kerajinan tangan pengolahan kulit kerang menjadi pengias dinding dan meja. Jika dihitung sekolah itu ada 50 ruang kelas, terdiri ruang belajar, laboratorium, unit kegiatan sekolah, dan ruang guru.<br />Selain mengajarkan siswanya tentang ilmu pengetahuan, pihak sekolah tidak lupa menanamkan nilai-nilai keagamaan.<br /><br />Setiap harinya, memasuki waktu sholat, siswa istirahat. Bahasa Malaysianya, rehat.<br />“ Bisa dibayangkan, materi belajar setingkat SD saja sudah diajarkan materi wirausaha, sementara di Indonesia, menikmati pendidikan wirausaha harus menempuh sekolah kejuruan, “ gumanku.<br />Tidak itu saja, kerajaan Malaysia memberlakukan bagi warganya wajib menyekolahkan anaknya. Jika tidak, orang tua bersangkutan akan dikenakan denda sekitar RM 1400 atau sekitar Rp 4 juta. Jadi tidak heran jika ada anak yang tidak ingin sekolah, orang tua selalu memaksa anaknya untuk bersekolah.<br /><br />Adalah wajar jika kerajaan memberlakukan peraturan itu, mengingat sekolah yang disediakan semuanya tidak dipungtut biaa alias gratis.<br />Bahkan, setiap tahun, siswa disana diberi seragam sekolah, sepatu, buku, dan tas dengan cuma- cuma. Termasuk juga siswa disana ditanggung makan satu hari tiga kali. Juga disediakan tempat penginapan.<br /><br />Tempat penginapan siswa selama menempuh belajar juga dibangun megah, dengan empat lantai juga, lengkap dengan tempat tidur tingkat dua. Disaana juga tersedia wc umum. Jika saya membandingkan, wc umum di sana sekelas dengan wc yang ada di mall kota Pontianak. Disana tersedia ruang makan dan ruang pertemuan yang luas, cukup menampung ratusan siswa. Di ruang itu terdapat dapur umum, ada enam pekerja yang membantu menyiapkan menu makan setiap harinya. Waktu makan, dimulai pagi hari , pukul 06.00. Siang pukul 12.00, dan malam pukul, 19.00.<br /><br />“ Siswa disini semuanya terlayani, hanya buang air saja yang tidak dilayani,” celoteh Jauhari.<br /><br />Kecuali hari Sabtu dan Minggu, siswa dizinkan pulang ke rumah masing –masing, untuk beristirahat bertemu keluarga di rumah. Senin, siswa masuk sekolah lagi, dan menginap lagi di asrama sekolah.<br /><br />Belum sampai disitu, ada lagi yang membuat saya kaget. Ternyata siswa disana selain menjalankan pendidikan di sekolah, mereka setiap tahunnya diberi uang pembinaan dari pihak sekolah sebesar Rm 700 atau sekitar Rp 2 juta.<br />Jika bangunan sekolah megah nan lengkap segala fasilitas belajarnya, kira- kira berapa siswa yang bersekolah disini?<br /><br />Jauhari berkata, “Tidak banyak, hanya 50 siswa saja, “ katanya. Disebabkan warga di sempadan Teluk Melano hanya berjumah sekitar 40 kepala keluarga. Dan tidak banyak warganya yang memiliki anak banyak.<br />“ Ini permasalahan yang dihadapinya saat ini, “ karena setiap tahunnya, jumlah siswa yang mendaftar terus berkurang,” katanya. <br /><br />Berbeda dengan di desa Temajuk, sedikitnya berjumlah 467 kepala keluarga, di sana ada tiga bangunan sekolah dasar, satu sekolah menengah pertama (SMP) dan satu sekolah menengah atas (SMA) yang sedang dibangun. Tapi banyaknya sekolah di Temajuk, fisik bangunan sekolah tidak semegah di sekolah Teluk Melano.<br /><br />Menariknya lagi pendidikan di Malaysia, ternyata tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional (UN). Jauhari berkata, kerajaan Malaysia tidak menggunakan sistem UN. Siswa hanya cukup mengikuti pelajaran oleh guru. Jika sudah masanya selesai sekolah, siswa dinyatakan lulus. Kebijakan kerajaan tidak adanya UN diberlakkan seluruh tingkat sekolah, mulai sekolah dasarsampai sekolah menengah atas. <br />Kenapa bisa demikian?<br /><br />Jauhari punya alasan. Ia membandingkan sistem pendidikan yang di Indonesia, ia mengetahuinya melalui media televisi, bahwa setiap siswa harus mengikuti UN untuk menyelesaikan sekolahnya. Nah, di Malaysia tidak.<br /><br />Untuk menentukan keberhasilan mutu pendidikan tidak mesti harus melalui UN. Dari setiap materi pelajaran yang diberikan kepada siswa setiap harinya, sudah cukup membantu mengukur keberhasilan mutu pendidikan. Tentunya harus ditunjang dengan sarana dan prasarana sekolah yang baik.<br /><br />Karena kerajaan menilai, tidak ada siswa yang tidak cerdas dan pintar jika bersekolah, kecuali anak yang tidak sekolah.<br />Baginya, UN bukan tolak ukur bagi siswa itu berhasil dalam menjalani proses belajar di sekolah. Bisa saja, ada siswa yang pintar selama di kelas, ketika mengikuti UN ia tidak lulus. Bukan karena ia kurang belajar, tetapi karena konsentrasinya sedang drop. Karena tidak selamanya siswa bisa konsentrasi menerima menyerap mata pelajaran yang diberikan.mungkin bisa saja siswa sedang sakit atau ada masalah lain di pribadi siswa, sehingga tidak bisa maksimal mengikuti UN.<br /><br />Ia mencontohkan, seperti atlet sepak bola kelas dunia sekalipun, belum tentu bisa bermain bola di lapangan dengan baik setiap pertandingan. Pasti ada penampilannya yang buruk.<br /><br />Pertanyaan terakhir saya sampaikan kepada Jauhari, berapa gaji bapak sebagau guru di sekolah ini. Ia menjabab, “ tak banyak, sekitar delapan juta sebulan, jika dirupiahkan, “ katanya. <br />“Waoww” saya tersentak kaget.<br />Kemudian saya berguman dalam hati,” kapan Indonesia seperti Malaysia. Kapan mewujudkan sekolah gratis sampai ke perbatasan. Kapan ya, kapan?,”aguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3927749122890539693.post-82824199654786650672010-06-01T04:58:00.000-07:002010-06-01T05:02:42.712-07:00Cerita tentang Pengojek Gula: Menikmati Manisnya Gula Illegal dari MalaysiaAgus Wahyuni<br />Borneo Tribune, Sambas <br /><br />Perbatasan Aruk siang itu terlihat ramai. Serombongan orang mengendarai motor melintasi perbatasan. Syahrudin (30) ada dalam rombongan itu. Di jok belakang ada enam karung gula diikat tali beladar, yakni tali yang terbuat dari ban bekas, dipotong memanjang. Di sebuah pos, lelaki itu berhenti dan menyerahkan dua lembar uang pecahan sepuluhribu rupiah kepada seorang petugas berseragam loreng. Ia lantas memacu motor memasuki wilayah Indonesia. <br />Syahrudin adalah warga desa Sepuk Tanjung, Kecamatan Sebawi, Kabupaten Sambas. Selama tiga tahun terakhir, lelaki ini bekerja sebagai ‘pengojek gula’. Pengojek gula adalah sebutan bagi mereka yang membeli gula di Malaysia dengan menggunakan sepeda motor, lantas menjualnya di sekitar Kabupaten Sambas, Indonesia. Meski lintas negara, tapi tentu saja ini bukan perdagangan resmi atau semacam kegiatan ekspor impor. <br />Para pengojek gula sudah punya akses pada para agen gula illegal di Malaysia. Di Biawak dan Lundu ada beberapa nama pemilik agen gula yang cukup dikenal, sebut saja, Bambang, Juang, Mak Boy dan Konsel. Mereka lah yang selama ini memainkan peran dalam perdagangan gula subsidi. Tanpa akses pada agen ini, mustahil bisa mendapatkan gula dalam jumlah besar.<br /> “Subsidi gula itu khan sebenarnya hanya untuk warga Malaysia. Kita ini kan orang luar, sebenarnya ndak bisa beli gula di sana. Tapi karena ada permintaan, tetap saja ada orang yang mau jual,” cerita Syahrudin.<br />Harga gula di Malaysia relatif lebih murah dibanding di Sambas. Satu karung gula 50 kg dibeli dengan harga 153 ringgit atau setara Rp 419.220. Artinya per kilogram seharga Rp 8.384. Di Indonesia gula ini dijual Rp 9.000-10.000 per kilo. Jadi keuntungan satu karung gula sekitar Rp 60-80 ribu. <br />Bekerja sebagai pengojek gula bukanlah tanpa resiko. Mereka bisa sewaktu-waktu ditangkap Polisi Diraja Malaysia. Syahrudin punya pengalaman soal ini. <br />Suatu siang, di bulan Januari, Syahrudin bersama enam pengojek lain seperti biasa merangsek masuk ke Malaysia. Mereka melintasi pos lintas batas, melalui pintu masuk Border Aruk Sajingan. Tujuannya adalah daerah Lundu, sekitar 3 kilometer dari pintu perbatasan. Di sana seorang agen gula bernama Usman sudah menunggu. Seusai transaksi, Syahrudin dan kawan-kawannya hendak kembali ke Indonesia. <br />“Tapi tiba-tiba empat mobil patroli mendatangi kami dan langsung menangkap kami. Saat itu saya panik. Motor dan gula disita polisi sebagai barang bukti,” cerita Syahrudin yang tidak menyangka pada hari itu ada patroli polisi. Mereka lantas diadili di Malaysia. Syahrudin sendiri dihukum enam bulan penjara. <br />Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Imigrasi Kabupaten Sambas Agustinur mengatakan kebanyakan para pengojek gula tidak memiliki dokumen resmi dari imigrasi. “Banyak pengojek gula yang tidak punya paspor. Kalau kebetulan ada razia, mereka kena pasal berlapis. Membawa gula illegal dan tidak punya dokumen. Hukumannya jadi lebih berat,” ujar Agustinur.<br />Biasanya imigrasi berkordinasi dengan pemerintah Malaysia untuk memulangkan para pengojek gula yang tertangkap. Tapi upaya itu sering gagal.<br /> “Saat ini ada puluhan pengojek gula yang masih ditahan di Malaysia. Kami masih berusaha melobi imigrasi Malaysia.”<br />Tokoh Masyarakat Perbatasan Petrus Atus menyatakan protes atas penangkapan para pengojek gula oleh polisi Malaysia. Menurut Petrus, para WNI yang ditangkap sudah biasa membeli gula, minyak goreng, bawang putih, bawang merah, dan garam di Malaysia. Sebaliknya, warga Malaysia bisa bebas membeli karet, lada, beras, daging binatang buruan, dan hasil bumi lainnya di Sajingan, Indonesia. Bahkan, warga Malaysia yang membeli barang di wilayah perbatasan Indonesia, mereka tidak perlu pakai pos lintas batas dan tidak ditangkap. <br />“Seharusnya warga kita juga jangan ditangkap jika belanja di sana,” kata Atus.<br />Kabupaten Sambas adalah daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di sana ada dua daerah perbatasan, yakni Desa Temajuk, Kecamatan Paloh yang berbatasan dengan Teluk Melano, Malaysia; dan Desa Aruk, Kecamatan Sajingan Besar yang berbatasan dengan Biawak, Malaysia. <br />Namun, akses jalan yang mudah untuk menjangkau daerah Malaysia adalah perbatasan Aruk Sajingan, karena daerah itu bisa dilalui kendaraan. Sementara daerah perbatasan desa Temajuk, akses jalan masih sulit dijangkau, karena harus menempuh jalur sungai dan bibir pantai untuk bisa menuju ke Teluk Melano, Malaysia.<br />Mengingat letak geografis ke dua negara, Indonesia dan Malaysia berdekatan, ada celah bagi pencari gula asal Sambas untuk mengambil gula di Malaysia. Meski beresiko, manisnya rasa gula Malaysia tetap menarik bagi para pengojek gula itu. Ini lantaran ada selisih harga gula Malaysia lebih murah dibanding dengan harga gula pasaran di kabupaten Sambas. <br />“Pemerintah kita masih belum bisa menyediakan sembako murah. Makanya kami di perbatasan masih mengandalkan barang dari Malaysia,” ujar Petrus Atus. <br />Kondisi itu sangat kontras dengan negara tetangga, Malaysia. Kerajaan memberikan harga sembako murah untuk warganya. Ketika kuota sembako untuk warganya berlebih, inilah yang dimanfaatkan warga Indonesia dengan membeli sembako subsidi tersebut, lantas menjualnya di tanah air. <br />Adi Kurniawan (35) pencari gula asal kecamatan Paloh, sudah menjalani aktivitas sebagai pengojek gula selama dua tahun. Sebelumnya ia bekerja sebagai buruh bangunan di Kuching, Malaysia. Lantaran kotrak kerja habis, ia memutuskan pulang kampung. Karena menganggur, seorang rekannya mengajaknya menjadi pencari gula di Malaysia. Adi menerima tawaran ini. <br />“Daripada nggak ada pekerjaan bang. Di sini (perbatasan) susah cari kerja,” katanya. <br />Jalur distribusi pengojek gula cukup rumit dan penuh resiko. Jarak tempuh untuk menembus daerah perbatasan antar dua negara medannya sangat menantang. Mereka harus melewati jalan yang terjal dan menanjak, dengan kondisi jalan masih tanah dan berbatuan sepanjang 90 kilometer dari pusat kota Sambas.<br />Kondisi jalan yang rusak membuat pekerjaan ini tambah berat. Adi pernah beberapa kali mengalami kecelakaan. Biasanya karena masuk lubang atau menabrak batu di jalan. <br />“Kaki dan tangan saya pernah patah waktu jatuh dari motor. Waktu itu saya bawa beberapa karung gula,” ingatnya. <br />Adi bercerita, seorang temannya pernah tewas karena kecelakaan saat membawa gula. Korban terjatuh ke jurang saat melintasi jalan rusak. Ia tak bisa menjaga keseimbangan karena beban yang dibawa sangat berat. <br />Dalam sehari para pengojek gula bisa membawa 5-6 karung gula atau setara 400 kilogram. Satu karung sekitar 50 kilogram. Untuk itu, sepeda motor sengaja dirancang khusus. Ada bagian fisik kendaraan yang sengaja dimodifikasi, seperti ban dan sokbeker belakang.<br /> “Supaya motor kuat bawa beban berat,” kata Adi. <br />Situasi di sepanjang jalan menuju perbatasan sepi. Jumlah penduduk yang bermukim hanya beberapa kepala keluarga saja. Bengkel motor hanya satu dua tempat. Itupun jarak lokasinya cukup jauh. Jika rusak di jalan, tidak mungkin menyeret kendaraan sampai ke bengkel, karena muatan di kendaraan sangat banyak dan berat. Jika itu terjadi, mereka harus memperbaiki sendiri. Dalam situasi seperti itu, peran teman sangat penting. <br />“Makanya kami selalu pergi serombongan. Biasanya lima sampai sepuluh motor. Kalau satu rusak, yang lain masih bisa bantu.” <br />Jalan rusak bukan satu-satunya problem yang dihadapi para pengojek gula. Pungutan liar saat melintasi pos lintas batas menjadi masalah tersendiri. Iman, salah seorang pengojek gula mengatakan, setiap pos dirinya selalu dimintai uang Rp 20 ribu. Dalam sehari, kata Iman, ia mengeluarkan uang Rp.60.000. <br />“Katanya untuk uang pengamanan,” ungkap Iman. <br />Di perbatasan ada tiga pos penjagaan, yakni pos Malindo merupakan gabungan tentara Indonesia dan Malaysia; Pos Perintis yakni Polisi Sektor Sajingan Besar; dan Pos Libas yakni personil TNI di bawah bataliyon 642. <br />Sistem penyaluran upeti dilakukan cukup mudah. Di tiap pos penjagaan sudah ada petugas yang menunggu para pengojek gula. Setiap pengojek harus menyetor uang pada petugas. Dalam sehari sekitar 100-200 jumlah pasukan semut yang melintas. Artinya, dalam sehari sedikitnya Rp 4 juta masuk kas pos penjagaan. <br />“Kami ndak bisa apa-apa. Kalau melawan takutnya ndak dibolehkan bawa gula.”<br />Setelah dipotong uang pengamanan, jika dihitung para pengojek ini hanya membawa pulang 100 ribu rupiah.<br /> “Itu pun harus dipotong dengan pengeluaran bensin dan makan. Belum lagi kerusakan yang diluar dugaan,” keluh Iman.<br />Biasanya mereka berangkat dari rumah sekitar pukul 06.00 pagi dan pulang ke rumah pada pukul 10.00 malam. <br />“Meskipun hujan kami tetap harus pulang. Kalau menginap, bisa-bisa kena razia polis,” ujarnya. Polis adalah sebutan warga perbatasan untuk Polisi Malaysia.<br />Aktivitas pengojek gula ini mampu mencukupi kebutuhan gula di Kabupaten Sambas. Dalam sehari sekitar 60 ton gula dibawa masuk ke Indonesia. Gula tersebut dipasarkan sendiri ke warung-warung atau toko sembako. <br /> “Jika stok gula sudah habis, kami kembali lagi mencari gula ke agen, lalu dijual lagi ke daerah Sambas,” kata Iman.<br />Danrem 121 Alam Bana Wanawai waktu itu, Nukman Kosadi belum sepenuhnya tahu tentang kabar bahwa personilnya melakukan pungutan liar kepada pasukan semut. Kosadi hanya tahu bahwa gula itu berasal dari gula subsidi bagi masyarakat Malaysia. <br />Seingatnya ia memang pernah mendapat informasi itu dari jajarannya. Namun ia belum punya informasi akurat. Kosadi berjanji menurunkan tim investigasi untuk memastikan kejadian itu. <br />“Jika memang benar terjadi demikian kita akan tindak tegas oknum petugas yang bersangkutan,” janji Kosadi.<br />Kapolda Kalbar Erwin TPL Tobing mengatakan akan melakukan proses tindakan sesuai dengan aturan disiplin Polri kepada jajarannya yang menyalahi tugas di perbatasan. <br />“Selama bertugas di perbatasan tidak dibenarkan bagi anggota polisi melakukan pungutan liar, apalagi kepada para pengojek gula,” kata Erwin.<br />Tokoh masyarakat di perbatasan Petrus Atus menggugat peran pemerintah untuk menjamin kesejahteraan warga perbatasan. Menurutnya, warga perbatasan selama ini berjuang sendiri agar bisa makan. Salah satunya mengandalkan perdagangan sembako dari Malaysia. <br />Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Cristiandy Sanjaya menyatakan ia sama sekali belum mengetahui bahwa ada penangkapan warganya di Malaysia. Karena selama ini tidak ada laporan dari Pemkab Sambas perihal kejadian itu. <br />Beberapa waktu lalu, ia sempat melakukan diskusi kepada Konsulat Malaysia di Pontianak tentang permasalahan pengojek gulu di perbatasan. Dari penjelasan konsulat Malaysia, gula dari Malaysia sebenarnya boleh diperdagangkan di Indonesia asalkan tidak dalam jumlah besar.<br /> “Kalau sekarung dua karung masih dibolehkan,” kata Cristiandy.<br />Bupati Sambas Burhanuddin A Rasyid berencana akan membangun pabrik gula di daerah perbatasan. Lokasinya sudah ditentukan, yakni di Desa Condong, Kecamatan Teluk Keramat. Ia sudah menyiapkan lahan seluas 17 hektare untuk petani tebu, sebagai penunjang bahan baku. Dengan adanya pabrik gula di Sambas tentu akan berdampak pada persaingan harga gula di Malaysia, sehingga pengojek gula asal Sambas juga berangsur akan hilang, karena tidak lagi membeli gula murah di Malaysia. <br />Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Pontianak, Andreas Acui mengatakan, keberadaan pengojek gula akan tetap ada selama pemerintah indonesia belum bisa memberi kesejahteraan bagi warga perbatasan. <br />“Jika tak ada gula masih banyak barang lain yang bisa diojekin misalnya bawang putih, lelong, kayu, dan lainnya. Selama harga barang luar negeri lebih murah dibanding dalam negeri, para pengojek ini masih akan tetap ada,” papar Andreas Acui.<br />Penyebab harga gula dalam negeri lebih mahal, diduga karena ada kartel atau kelompok yang memonopoli peredaran gula dalam negeri. <br />“Sistem distribusinya begitu buruk, mulai dari petani sampai distribusi. Ditambah lagi sistem jalur distribusi yang tidak terbuka,” kata Andreas.<br />Menurut Andreas keberadaan pengojek gula mengindikasikan kegagalan pemerintah menyediakan bahan pangan murah untuk rakyatnya.<br /> “Pemerintah harus bisa mengendalikan harga gula dalam negeri minimal sama dengan produksi negara lain dan itu dimulai dari tingkat petani sebagai produsen. Jika pemerintah masih saja tidak mampu melakukan itu, maka harus dibuka kran seluas-luasnya dari luar, biar masyarakat dapat menikmati kebutuhan pangan pokok ini dengan harga yang wajar,” katanya, tegas.aguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3927749122890539693.post-64048719807881690092010-04-30T05:43:00.002-07:002010-05-30T22:22:07.288-07:00Buah Pisang, Berbuah Harapanoleh: Agus Wahyuni <br /><br />Borneo Tribune, Sambas<br />Buah pisang, selain rasanya yang manis, ternyata bisa menghasilkan api biru. Ini karena buah pisang banyak mengandung glukosa. Jika diolah dengan baik, buah pisang akan menghasilkan gas etanol, atau menghasilkan api biru itu. Gas ini bisa digunakan untuk keperluan memasak, sebagai pengganti gas elpiji.<br />Bagaimana bisa?<br />Temuan ini berawal dari ketekunan DR. Eng. M. Ismail Yusuf, MT, dosen fakultas Teknik Universitas Tanjungpura Pomtianak. Ia berhasil mengembangkan pisang menjadi bahan baku biofuel. Biofuel sendiri sejenis gas etanol, kegunaannya adalah bisa dijadikan sumber energi untuk memasak, mirip dengan gas elpiji. <br />Ia memulainya, dari membaca dari beberapa buku itu, menyebutkan, buah pisang banyak mengandung glukosa. Dari situ, ia kemudian melanjutkan dengan ujicoba. <br />Nah, pada awal 2006, adalah awal permulaannya melakukan eksperimen. Mula- mula ia gunakan dua sisir pisang atau sekitar dua kilogram pisang. Dia memilih jenis pisang Pinang, karena buahnya yang besar, juga memiliki ukuran yang panjang, dibanding jenis pisang lain.<br />Tahap pertama, ia menyiapkan beberapa peralatan. Peralatan itu ia pinjam dari Laboratorium Fakultas Teknik, diantaranya tiga buah tabung volume, dari bahan kaca ukuran tiga liter dan beberapa pipa diameter kecil. Kebetulan juga ia seorang dosen teknik, yang menjabat sebagai kepala Laboratorium Konversi Energi Listrik. Sehingga lebih mudah mendapatkan peralatan yang diperlukan. <br />Langkah pertama, ia menyiapkan tiga buah tabung tadi, fungsinya sebagai tempat menampung gas etanol, hasil filterisasi yang mengalir dari pipa yang sudah terpasang ketiga tabung.<br />Untuk menghasilkan gas etanol, dua sisir pisang tadi dimasukkan ke dalam blander, berfungsi sebagai alat pelumat pisang. Setelah halus, menyerupai minuman jus. Jus pisang langsung diendapkan menggunakan ragi secukupnya, tujuannya agar bisa mengalami fregmentasi. <br />Jika proses itu sudah selesai dilakukan, dilanjutkan dengan memasukkan endapan itu ke dalam tabung, dan dipanaskan dengan perlakuan khusus. Secara berlahan pisang tersebut mengurai menjadi molekul yang sederhana, yakni glukosa. <br />Hasil glukosa yang didapat tadi, dialiri di tabung penampung. Hasilnya, didapatlah satu liter etanol, dengan kadar alkohol sekitar 90 persen. Dan siap digunakan untuk bahan bakar keperluan memasak. Begitu penjelasan Ismail.<br /><br /><br />Pada Juni 2009, Ismail kemudian mencoba untuk mendemontrasikan buah penemuannya dihadapan sejumah peneliti Kalbar, dan perwakilan pemerintah daerah, di gedung Rektorat Universitas Tanjungpura, Pontianak. Hasilnya, gas etanol dari dua sisir pisang, jenis pinang, saat disulut api, dapat menyala pada wadah kecil. Wadah ini berjenis kompor mini, mirip tungku. Ini biasa digunakan sebagai pemanas sajian masakan, pada acara resepsi pernikahan. “ Bedanya, tungku jenis itu, tergantung pada alkohol, tapi ini dari kandungan buah pisang, kata Ismail, saat saya mewawancarainya pada 28 Juni 2009, di ruang kerjanya, Fakultas Teknik Untan.<br />***<br />Ismail Yusuf, dosen merangkap sebagai kepala Lab Konversi energi di Fakultas Teknik Untan. Dikalangan mahasiswa, ia cukup dikenal. Apalagi mahasiswa yang ikut terlibat dalam proyeknya. <br /><br />Jenjang karirnya, pada tahun 1990, ia menyelesaikan studi Strata 1(S1) di Fakultas Teknik Untan. Setelah itu, ia diangkat menjadi dosen di tempat yang sama. Lalu, pada 1993-1995, ia kemudian melanjutkan gelar magister (S2) di Institut Teknologi Bandung, program keahlian konversi energi. Hanya berselang setahun, ia pun mendapat kesempatan untuk mengambil gelar doktor, pada tahun 2003, bidang energi terbarukan, di Toyohashi University Of Technology, di Toyohashi, Japan. Dan pada tahun 2005-2007, ia pun mengambil cos doctoral program, di tempat yang sama, proram ini salah satu syarat untuk menjadi dosen. Hingga sekarang, ia masih aktif menjadi dosen di Fakultas Teknik Untan.<br /><br />Selain menciptakan gas etanol dari pisang, sebenarnya, Ismail juga sudah mampu menciptakan energi terbarukan lainnya, yakni energi listrik mengunakan tenaga matahari dan angin, sekitar 20 Kwh, atau rata- rata 500 watt untuk 40 buah rumah, di desa Sengkubang, Kabupaten Pontianak. Dan kini masyarakat di sana sudah menikmati energi listrik tadi.<br /><br />Dikalangan mahasiswa, ia cukup dikenal. Apalagi mahasiswa yang mengambil tugas akhir berkaitan tentang energi terbarukan. Biasanya, selain dosen pembimbing, ia juga sering menyertakan mahasiswanya ikut terlibat langsung dalam proyeknya, seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga angin dan matahari.<br /><br />Lelaki yang tidak bisa lepas dengan kopiahnya ini dikenal disiplin waktu, baik saat mengajar bahan kuliah, juga disiplin dalam waktu ibadah. Sehingga tidak heran, jika ada tamu ada keperluan dengannya, jika sudah memasuki waktu sholat, tamu tersebut harus rela ia tinggalkan, meskipun itu tamu penting.<br /><br />Nah, kaitannya tentang percobaanya, bagaimana buah pisang bisa menghasilkan gas etanol ?<br /><br />Ismail mengatakan, dalam percobaannya, ia menggunakan terori dupleks. Dimana, menurut teori ini, minyak bumi terbentuk dari jasad renik (senyawa hidrokarbon) yang berasal dari hewan atau tumbuhan yang telah mati. Jasad renik tersebut, lalu terbawa air sungai bersama lumpur dan mengendap di dasar laut. Akibat pengaruh waktu yang mencapai ribuan bahkan jutaan tahun, temperatur tinggi dan tekanan oleh lapisan di atasnya, maka jasad renik tersebut berubah menjadi bintik-bintik dan gelembung minyak atau gas. <br /><br />Bagi Ismail, minyak bumi terbentuk melalui proses yang sangat lama dan persediaanya terbatas, sehingga digolongkan sebagai sumber energi yang tidak dapat diperbaruhi. <br /><br />Salah satu senyawa hidrokarbon sebagai alternatif bahan bakar yang dapat diperbaharui yaitu Etanol (C2H5OH), yang merupakan senyawa hidrokarbon yang lebih sederhana dan mempunyai tingkat emisi buang yang lebih rendah dibandingkan minyak bumi.<br /><br />Lalu, untuk proses pembuatan etanol sendiri, ia adopsi sama seperti dalam pembuatan tape melalui fermentasi. Bahan baku dalam proses ini adalah ubi kayu, beras dan ketan. Hal ini dikarenakan bahwa bahan-bahan tersebut mengandung karbohidrat / pati (C6H10O5) .<br /><br />Pati diubah oleh enzim menjadi molekul karbohidrat yang lebih kecil, yaitu Glukosa. Selanjutnya Glukosa diubah menjadi Etanol.<br /><br />Ditinjau dari rangkaian prosesnya, penggunaan pati kurang effisien, karena tidak seluruhnya dapat dirombak oleh bakteri. Disamping itu pada saat kosentrasi alkohol mencapai sekitar 18% bakteri akan mati. Oleh karena itu, pembuatan etanol dengan substrat Glukosa menjadikan proses lebih singkat. <br /><br />Glukosa atau gula anggur terdapat pada buah-buahan, madu, biji, akar dan daun. Salah satu jenis buah-buahan yang mengandung kadar Glukosa relatif lebih tinggi adalah pisang. Oleh karena itu pada pilot projek ini akan dilakukan pembuatan etanol berbasis bahan baku pisang. Kandungan selulosa pada pisang merupakan polisakarida yang apabila dipanaskan dengan perlakuan khusus maka selulosanya akan mengurai menjadi molekul yang lebih sederhana yaitu glukosa. Hal inilah yang menyebabkan jumlah kandungan glukosa pada pisang lebih tinggi. Oleh karena itu pembuatan etanol dengan bahan baku pisang relative sangat menguntungkan.<br /><br />Proses perubahan glukosa menjadi etanol oleh mikroorganisme tidak dapat berlangsung pada kondisi kadar air yang ada pada Pisang (sekitar 60%), sebab apabila dilakukan fermentasi pada keadaan tersebut maka proses perubahan glukosa dominan akan membentuk asam cuka (CH3COOH).<br /><br />Mengenai penelitiannya tentang energi gas ethanol dari buah pisang, ia mengakui, pemanfaatannya masih perlu diteliti lebih mendalam supaya hasil yang diperoleh maksimal. "Terutama untuk memperoleh tingkat ekonomis misalnya berat pisang serta proses pengolahannya," kata Ismail.<br />Tanaman Pisang (Musa Paradisiaca, Linn) adalah tanaman iklim tropis basah yang mudah didapatkan di Indonesia, tahan hidup di musim kemarau serta mampu tumbuh dan berproduksi dengan baik.<br /><br />Umumnya, pisang yang akan menjadi bahan baku utama, sebenarnya jenis yang tidak dimanfaatkan masyarakat, itu artinya, secara tidak langsung, tidak berbenturan dengan kebutuhan pangan. <br />Produksi pisang di Indonesia setiap tahun sekitar 2,1 juta ton per tahun. Dan untuk di Kalimantan Barat, persebaran tanaman pisang berdasarkan data produksi pisang, dari dinas pertanian Kalbar, tahun 2007, berjumlah 144.895 ton, yang tersebar di Kabupaten Pontianak, yakni 116.854 ton pertahun. Ketapang, 9.541 ton. Sambas, 5.009 ton. Bengkayang, 3.039 ton. Landak, 557 ton. Sanggau, 1.689 ton. Sintang, 863 ton. Kapuas hulu 1.181 ton. Sekadau, 159 ton. Melawi, 380. Kota Pontianak, 3.097. dan Singkawang, 2.526 ton.<br />Selama ini buah pisang dikenal sebagai buah pelengkap hidangan pencuci mulut selepas menyantap makanan. atau didalam kehidupan sosial masyarakat, buah pisang sebaga alternatif lahan usaha lapangan kerja, Biasa terlihat, hampir di sepanjang jalan, banyak ditemukan pelaku usaha menjual hasil olahan pisang, seperti gorengan, kolak pisang, sampai keripik pisang. Selain itu, ternyata keberadaan pisang sebagai alternatif sumber energi untuk memasak, pengganti minyak tanah dan gas elpiji.<br /><br />Apalagi kebutuhan pisang di kalbar, per tahun mencapai 144.895 ton. Jumlah tersebut akan membantu mencukupi kebutuhan bahan bakar jenis gas di Kalbar. Asumsinya jika 1 ton gas membutuhkan 1.000 liter gas etanol. Jadi 144.895 ton dibagi 1.000 liter, hasilnya sekitar 144 ton. Itu artinya, Kalbar mampu menghasilkan gas ethanol sekitar 144 ton, per tahun.<br /><br />Sales Area Manager PT Pertamina kalbar, Ibnu Chouldum, mengatakan, Pertamina sekarang sedang melakukan persiapan konversi gas. Saat ini sudah dibangun Pengisian elpiji di Kalbar dilakukan di Stasiun Pengisian dan Penyaluran Elpiji Khusus (SPPEK) milik PT Gemilang Asia Sejahtera (GAS) yang ada di Desa Wajok Hilir, Kabupaten Pontianak. SPPEK sendiri memiliki tangki timbun berkapasitas total 750 ton, untuk 15 hari, sedangkan kebutuhan elpiji di Kalbar dalam satu hari berkisar 40 ton.<br />Namun, jika kita melihat kebelakang, data jumlah rumah tangga miskin, dari data statistik Kalbar, 2007, jumlahnya mencapai 550 ribu. Itu artinya, gas ethanol dari produksi pisang, pertahunnya mencapai 144 ton, artinya, kebutuhan gas untuk warga miskin masih bisa terpenuhi.<br />Itu hanya asumsi. Dan Ismail mengakui, pemanfaatan pisang menjadi etanol masih perlu diteliti lebih mendalam supaya hasil yang diperoleh maksimal. Jika itu sudah tercapai, ia yakin, harga gas ehanol jauh lebih murah dibanding gas elpiji. Karena biaya produksi yang murah. Satu sisir pisang, seharga kurang lebih Rp 2.000, untuk satu liter gas. <br />“Jika saat ini satu tabung gas elpiji di pasaran Kalbar mencapai Rp 90.000, gas ethanol bisa setengah harga gas elpiji,” kata Ismail.<br />Namun, untuk mewujudkan itu semua, Ismail terkendala oleh dana yang terbatas. Ia pernah mengajukan tawaran penelitian lanjutan pemanfaatan pisang sebagai bahan baku biofuel ke Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, tetapi belum mendapat kepastian. Selama melakukan kajian dan penelitian awal, dia menggunakan dana pribadi.<br />“ Padahal, jika ada bantuan dana, ia juga berencana akan menciptakan tabung gas mini, ukuran tiga liter gas ethanol, sangat pas dipergunakan kebutuan dapur keluarga, dan juga tepat digunakan untuk warga yang kurang mampu, disaat harga gas elpiji yang kian melambung” kata Ismail. <br />Ya, itulah Indonesia. Negara ini belum bisa menghargai pengorbanan dan jerih panyah anak bangsa, mencari solusi agar kebutuhan energi masyarakat terpenuhi.<br />Ismail hanyalah satu diantara akademisi lain yang menjalankan kewajibannya.Dia mengaplikasikan ilmunya agar bisa dirasakan masyarakat banyak. Sementara kewajiban pemerintah ?aguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3927749122890539693.post-70892047219201024722010-04-30T05:43:00.001-07:002010-04-30T05:43:50.910-07:00Nasib Guru Paud PerbatasanNasib Guru Paud Perbatasan<br />Agus Wahyuni<br />Borneo Tribune, Sambas<br />Ada yang bilang, kemajuan suatu bangsa, berada di tangan generasinya, dengan menciptakan generasi yang berkualitas dengan sumber dayanya. Dan bagaimana cara memulainya? Jawabannya, dengan meningkatkan Pendidikan Anak Usia Dini, (Paud), salah satunya. <br />Dua buah bangunan bekas rumah dinas guru yang ditinggalkan dengan kondisi tak terawat di Desa Lumbang Penyengat, Kecamatan Sambas, disulap menjadi arena bermain anak- anak di desa itu, tiga tahun lalu. Rumah, yang semula berukuran 3 x 5 meter persegi, direnovasi, menjadi satu bangunan. Cukup luas, untuk ukuran tempat bermain anak yang mengenyam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Tempat bermain itu oleh warga diberi nama, “ Paud Perintis.” <br />Di tempat itu, sekitar 25 anak, dari usia 2- 6 tahun diberikan bimbingan oleh pendidik PAUD. Di sana juga, setiap anak menghabiskan waktu sehariannya menjadikan tempat bermain – di luar jam ‘bimbingan’. Ada aneka alat peraga permainan yang tersedia. Ada permainan bongkar pasang bergambar. Aneka ragam poster jenis binatang dan tumbuhan, kertas lipat, dengan beragam corak warna. Bukan hanya itu, di luar juga, sudah tersedia, dua buah ayunan, lengkap dengan permainan perosotan anak.<br />Mereka terlihat asyik bermain dan belajar, sementara ayah dan ibu mereka, masih disibukan dengan berladang. Dan, sebagai pengganti peran orang tua mereka, adalah Nurul Hidayati (23). Sudah tiga tahun ia sebagai tanaga pengajar di sana, selain memberikan materi bernyanyi, ia juga yang mengajarkan tiap anak bagaimana mengenal lingkungan dan alam lebih dekat. Mengasah pikiran anak, dengan cara bermain dan belajar, dengan harapan, kelak, jika besar nanti, si anak tumbuh kembang dengan baik. Pekerjaan itu, ia jalani, seminggu lima kali. Dan setiap pertemuan memakan waktu 2- 3 jam. Sementara honor yang ia dapat sebesar Rp 225 ribu. <br />“Cukupkah?” <br />Nurul menjawab sambil tersipu. “Tidak cukup. Namun terasa cukup, jika anak- anak bisa senang berada di sini,“ kata Nurul.<br />Sebenarnya, ketertarikan Nurul pada dunia anak-anak sudah lama, sejak ia di bangku kuliah, Pendidikan Guru Taman Kanak-kanan (PGTK), Singkawang. Dan pada kesempatannya ia selesai kuliah, ada lowongan mengajar di PAUD Perintis, dan ia pun menyanggupi dengan senang hati. <br />Di PAUD Perintis, ia mengajarkan metode motorik setiap anak. Misalnya, mengubah prilaku anak, yang semula takut dan pemalu, kini menjadi berani bercengkrama sesamanya. Mengajarkan, bagaimana cara berbahasa yang baik, hingga prilaku bagaimana cara makan, cara mencuci tangan, dan cara masuk kamar kecil.<br />Dan tidak kalah menariknya, adalah menceritakan atau mendongeng di depan anak, kemudian si anak disuruh menceritakan kembali apa yang diceritakannya. <br />“Tujuannya agar mengetahui, seberapa kuat daya tangkap dan daya ingat setiap anak,” kata Nurul.<br />Menjadi seorang guru PAUD, ternyata harus siap menanggung resiko dan cobaan, apalagi honor yang didapat dari keringat mengajar tak sebanding dengan pengeluaran sehari- hari. Sehingga wajarlah, jika kebanyakan menjadi guru PAUD karena terdorong panggilan batin, bagaimana anak usia dini dari keluarga yang kurang mampu bisa menikmati pendidikan dengan anak lainnya.<br />***<br />Guru PAUD Ade Irma Suryani di Desa Sempalai, kecamatan Tebas, Awang Isman (41) punya cerita yang hampir sama. Lelaki ini sudah mengabdikan dir menjadi guru bagi anak-anak selama lima belas tahun. Selama itu pula ia belum pernah mencicipi manisnya honor dari pemerintah daerah. Sementara untuk kebutuhan sehari- hari, ia hanya mengandalkan iuran bulanan siswa. Cukupkah? Bayangkan saja sendiri.<br />TK Ade Irma Suryani sendiri berdiri sejak tahun 1984. Pendirinya Hj Kartinah, merupakan Ketua Yayasan TK Ade Irma Suryani. Nah, memasuki tahun 1994 hingga sekarang, Awang Isman dipercaya untuk memimpin TK tersebut. Ini berawal kecintaannya ia pada anak- anak, mengingat pada waktu itu di desanya, tidak banyak anak yang bisa mengenyam pendidikan dasar, seperti TK.<br />“Banyak anak pada waktu itu menghabiskan waktu untuk bermain, sementara orang tua pada sibuk berladang, akibatnya pendidikan usia dini anak terlantar,” kata Awang.<br />Dan saat ini, murid Paud Ade Irma berjumlah 25 anak. Jika hanya mengandalkan pendapatan dari iuran siswa tidaklah cukup. Dihitung jumlahnya mencapai 25 murid, dikalikan dengan Rp20.000, per bulan hanya sekitar Rp500 ribu. Itu belum dipotong pembelian kapur tulis, dan kertas untuk menggambar anak. <br />Tapi bukan itu yang ingin didapat Awang. Si anak bisa bermain sambil belajar, itu sudah cukup buatnya.<br />Awang memiliki motivasi mengajar yang tetap tinggi. Pada awal tahun 2000, ia sudah mulai mengajarkan anak- anak bahasa Inggris dasar. “Itu… Saya belajar, dari sisa- sisa ilmu saya waktu di bangku SMP dulu,” ungkapnya. <br />Program ini yang membuat PAUD Ade Irma Suryani berbeda dibandingkan PAUD yang lain.<br />***<br />Meskipun berbeda PAUD, Awang dengan Nurul, mempunyai kesamaan, yakni sama-sama berjuang mencerdaskan anak usia dini.<br />Keduanya mengingatkan kita pada sebuah film layar lebar, berjudul “Laskar Pelangi”, hasil karya sutradara Riri Riza yang diangkat dari novel laris karya Andrea Hirata. Dimana menceritakan kegigihan seorang guru, yang diperankan Cut Mini, tanpa digaji, rela mengajarkan ilmu pengetahuan pada anak- anak. Tujuannya hanya satu, menjadi anak yang berguna di kemudian hari. <br />Cerita “Laskar Pelangi” ternyata masih banyak ditemukan di pelosok daerah Kabupaten Sambas, khususnya. <br />***<br />Siapa tak kenal Sambas. Daerah yang memiliki luas wilayah 6.395,70 km atau 639.570 ha atau 4,36 per sen dari luas wilayah kalbar. Di sebelah utara, Sambas berbatasan dengan Malaysia Timur (Sarawak), sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Laut Natuna dan sebelah selatan berbatasan dengan Kota Singkawang. <br />Sebagai daerah perbatasan, Sambas dikenal sebagai lumbung padi, urutan kedua setelah Kabupaten Pontianak. Dan Sambas merupakan salah satu sentra penghasil beras di Kalimantan Barat, dimana mampu memproduksi 217.319 ton padi dari luas panen 74.277 hektar. Sambas juga berbatasan langsung dengan wilayah Sarawak, Malaysia, berpotensi mengekspor beras ke Malaysia. Selain padi, jagung juga merupakan salah satu komoditi unggulan di Kabupaten Sambas. <br />Saat ini, Sambas masih menunggu selesainya pembangunan fisik Border, di Dusun Aruk, Kecamatan Sajingan, berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia. Dan bangunan fisik border telah berdiri megah. Sementara border milik Malaysia masih dalam tahap pembangunan dan diperkirakan akan tuntas menjelang peresmian. Pembangunan border memberikan harapan kepada masyarakat perbatasan. Walaupun, mereka masih harus menunggu lama lagi, hingga sepuluh tahun ke depan.<br />Ada yang menarik di perbatasan. Ardine, anggota Kelompok Informasi Masyarakat Perbatasan (Kimtas) di Paloh, Sambas, diambil dari muchlisuhaeri.blogspot.com, mengatakan, masyarakat di sekitar perbatasan, sebagian besar hidup dari bertani, nelayan dan perkebunan. Sebagian besar hasil produksi pertanian dan nelayan dipasarkan ke dalam negeri atau untuk kebutuhan sendiri. Banyak kesulitan dialami masyarakat di daerah itu.<br />Penduduk sulit melakukan perluasan lahan, karena terbentur dengan masalah kawasan hutan, sehingga tak bisa digarap. Di sana ada wilayah hutan produksi dan taman wisata alam. Padahal, kawasan itu tanahnya baik untuk tanaman karet.<br />Dalam hal pertanian, juga terbentur dengan masalah pupuk, karena susah didapat. Kalaupun ada, harganya mahal sekali.<br />Nelayan susah melaut karena sulitnya memperoleh bahan bakar solar. Selain itu, solar juga mahal harganya, Rp 6.000. Selain itu, masyarakat masih menggunakan peralatan jaring tradisional, sehingga hasilnya tak seberapa.<br />Lebih parah lagi, kalau terjadi angin utara, sekitar Oktober - Januari. Masyarakat nelayan –salah satunya di pulau Temajo, mengalami kesulitan pangan. Sehingga sebelum datang angin utara, mereka harus menabung sembako dan berbagai kebutuhan pangan, untuk jangka waktu empat bulan. Barang kebutuhan tidak bisa dibawa dari Sambas, karena angin besar dan gelombang tinggi.<br />Informasi di sepanjang perbatasan kurang sekali. Kalaupun ada informasi diperoleh tentang sesuatu hal, itulah informasi yang dianggap benar. Tak ada informasi pembanding. “Siaran-siaran dari Indonesia sulit tertangkap, sehingga informasi tentang Republik ini, kurang jelas,” kata Ardine.<br />Meski demikian, sikap masyarakat masih kuat dari segi NKRI. Namun, harus ada perhatian khusus. Daerah perbatasan, di satu sisi sebagai garda terdepan dari Indonesia. Di sisi lain, masyarakat serba kesulitan mendapatkan berbagai kebutuhan, transportasi dan ekonomi.<br />Dan jika dilihat dari segi penyerapan lapangan kerja, di Kabupaten Sambas sangat sedikit. Bahkan untuk tingkat penganguran, Kabupaten Sambas berada di posisi urutan keempat Kalbar dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yakni sebesar 6,27 persen. Sementara menurut daerahnya, TPT Perkotaan jauh di atas TPT pedesaan, masing- masing besarnya 14,33 per sen dan 5,06 per sen, kata Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas, Ateng Hartono. <br />Tingkat TPT disebabkan latar belakang pendidikan. Hasil Sakernas Agustus 2007, sebagian besar pengangguran di Kabupaten Sambas berpendidikan rendah atau SD ke bawah yakni sekitar 58,32 per sen, diantaranya, 0,83 per sen belum sekolah, 28,13 per sen tidak tamat SD, dan 29,36 per sen tamat SD.<br />Saat ini TPT Kabupaten Sambas masih didominasi oleh perempuan sebesar 6,54 per sen. Sedangkan TPT laki-laki sedikit di bawah yakni sebesar 6,07 per sen.<br />Sementara berdasarkan tingkat pendidikan, dari total penduduk usia 15 tahun ke atas yang termasuk TPT yakni sebanyak 17.065 orang, sekitar 29,36 per sen berpendidikan SD. Sekitar 28,13 per sen tidak tamat SD, sekitar 26,14 per sen tamat SLTP, sekitar 15, 54 per sen tamat SMA ke atas, dan hanya 0,93 per sen tidak pernah sekolah.<br />Sedangkan menurut katagorinya, sebagian besar pengangguran terbuka yakni 46,48 per sen merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan, sekitar 34 12 per sen menyatakan bahwa mereka sedang mencari pekerjaan dan 19,40 per sen memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, kata Ateng. <br />Nah, melihat kondisi di atas , kabupaten Sambas mendapat bantuan dana dari Bank dunia dan pemerintah pusat,dan hibah dari kerajaan Belanda dengan total anggaran sebesar U$ 127,74 juta, terdiri dari dukungan pemerintah Pusat dan Daerah (U$ 34,94 juta), dana hibah Kerajaan Belanda (U$ 25,30 juta), serta pinjaman lunak dari Bank Dunia (U$ 67,50 juta). Bantuan tersebut untuk pengembangan Program PAUD, saat ini sudah berlangsung dua tahun, dimulai pada tahun 2007. <br />Di sini, ada 50 kabupaten di Indonesia yang berhak mendapatkan kucuran dana tadi, termasuk Kalbar, mewakili Kabupaten Ketapang dan Sambas. Tujuannya untuk memberikan dukungan terhadap tumbuh-kembang anak dari keluarga kurang mampu, melalui program layanan PAUD holistik dan terintegrasi dengan cara, meningkatkan pemerataan kesempatan pelayanan, memperkuat kemampuan kelembagaan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya PAUD.<br />Failitator Program Pendidikan anak Usia Dini (PPAUD) Kabupaten Sambas, Bima mengatakan, khusus keberadaan PAUD di Kabupaten Sambas, diprioritaskan dengan menunjuk 60 desa, dari 183 desa, untuk 19 kecamatan. Dan untuk tiap desa, terdiri dari dua PAUD, artinya keseluruhan PAUD di Kabupaten Sambas yang terdaftar, baru 120 PAUD yang baru berjalan. Dan tiap PAUD yang sudah terbentuk, mendapatkan bantuan dana sebesar Rp 90 juta, untuk tiga tahun.<br />Meski demikian, kata Bima, proses untuk mendirikan PAUD di desa yang telah ditunjuk tidaklah mudah. “Sebagai langkah awal, kita harus melakukan observasi di lapangan, dengan melihat dari karakteritik desa tersebut, apakah penduduk desa tersebut tergolong miskin, tidak ada taman kanak- kanak, kesiapan warga setempat, dan memiliki 10 orang anak berumr,0 sampai 4 tahun. Jika sudah memenuhi aspek tadi, baru fasilitator PAUD menunjuk desa tersebut menjadi target membentuk PAUD,” kata Bima.<br />Kemudian, jika syarat di atas sudah terpenuhi, lalu fasilitator membentuk Tim Pengelola Kegiatan(TPK) terdiri dari masyarakat setempat, sekaligus bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan, yang terdiri dari, ketua, sekretaris, dan bendahara.<br />Selain itu, mereka juga membentuk Pemantau Pogram (TPP), dimana tugasnya memantau perkembangan pelakanaan pengelolaan dana, setiap kegiatan. Ditambah lagi, dengan membentuk tenaga pendidik sebanyak dua orang untuk satu Paud.<br />Mengenai bantuan dana Rp 90 juta, semua tim harus merumuskan alokasi dana untuk tiga tahun, termasuk fisik PAUD, pembelian alat peraga, honor tenaga didik, biaya rapat dan alat tulis, dan biaya pemenuhan gizi anak.<br />Bantuan dana sebesar itu, tentu tidak akan cukup, namun, bagaimana yang harus kita lihat, bagaimana kesiapan kita semua, agar keberadaan PAUD, dapat meningkatkan layanan PAUD bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Mengingat, anak usia dini merupakan peletak dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Walaupun setiap bayi yang lahir telah diberikan Tuhan dengan potensi genetik yang demikiaan sempurna, tetapi lingkungan juga mempunyai peran besar dalam pembentukan sikap, kepribadian dan pengembangan kemampuan anak.<br />Lantas bagaimana dengan kesiapan tenaga pendidik, dengan honor terbatas, untuk dapat terus memberikan ilmu yang terbaik pada setiap anak yang mengikuti pendidikan PAUD, seperti yang terjadi pada Awang dan Nurul?<br />Pada kesempatan, beberapa waktu lalu, Bupati Kabupaten Sambas, Burhanuddin A Rasyid pernah melontarkan komitmennya, akan memberikan perhatian besar pada PAUD. Bahkan ia sempat memerintahkan, seluruh dinas, badan, maupun kantor di lingkungan Pemda Sambas maupun guru PAUD se-Kabupaten Sambas, bagaimana menyiapkan generasi berkualitas sejak dini.<br />Baginya, PAUD ke dalam istilah pertanian adalah kegiatan menyemai padi. Dalam proses kandungan sudah harus diperhatikan asupan gizi si janin, berarti persiapan benih bibit yang baik benar-benar dimatangkan. Sedangkan PAUD bagian dari kelanjutan penyiapan benih yang baik itu. Untuk itu, ia mengajak membentuk pemahaman dan pemikiran, bahwa pendidikan pada PAUD sangat penting bagi kemajuan mereka. Pada depan generasi depan. Itu sama saja menyiapkan benih unggul sedari dini.<br />Dia berkata, APK Pemkab Sambas jenjang PAUD masih rendah dibanding nasional. APK PAUD di Indonesia untuk kategori negara se-Asia Tenggara terbilang paling kecil, yakni hanya 20 persen. Sedangkan Kabupaten Sambas hanya kurang lebih 17 persen. "Inilah kita perlukan komitmen bersama mengatasinya. Dinas Pendidikan akan segera mencanangkan, agar terlahir gerakan wajib sekolah PAUD atau apa namanya nanti," katanya.<br />Sementara itu, Wakil Bupati Sambas, Juliarti juga mengatakan hal yang senada. Baginya, pendidikan tidak hanya tanggung jawab Dinas Pendidikan saja, semua berperan menyukseskan setiap perencanaan pendidikan komponen masyarakat punya peran strategis menyukseskanya. <br />Bahkan, Juliarti berjanji memberi perhatian besar kepada PAUD, termasuk menaikkan tunjangan tenaga pendidik melalui bantuan dana pemerintah daerah. <br />Namun, tampaknya komitmen kedua pasangan kepala daerah hanyalah janji yang belum dinikmati tenaga pengajar PAUD. Padahal keberhasilan dunia pendidikan menjadi simbol dan tolak ukur keberhasilan suatu daerah, meskipun harus mengabaikan keringat mengajar para guru, termasuk PAUD. <br />Namun, Ketua Umum PB PGRI, Dr Sulistiyo punya pandangan lain. Pada kesempatan menghadiri seminar pendidikan di Kabupaten Sambas tahun 2008 mengatakan, mengabaikan tunjangan guru sama artinya dengan mutu pendidikan kita masih rendah. Dari manajemen atau birokrasi pendidikan, masalah guru, hingga sarana prasarana menjadi item permasalahan masalah mutu pendidikan.<br />Misalnya saja, masih ada guru PAUD atau TK yang gajinya di bawah seratus ribu rupiah, padahal guru tersebut juga memberikan sumbangsih besar bagi pembentukan SDM berkualitas.<br />Faktor lain, adalah pendekatan pendidikan lebih menekankan pada input dan out put sehingga kurang memperhatikan aspek proses pendidikan. Bahkan Sulistiyo berani menegaskan, praktek pendidikan diceraikan dari pemikiran politik, menyebabkan pendidikan tidak hanya buta politik tapi alergi bahkan takut politik. Sedangkan political will dan implementasi kebijakan yang ada tidak banyak yang berpihak pada pendidikan. Sulistiyo berkata, “Wajah pendidikan sama dengan wajah guru. Jika guru diperlakukan baik, mutu pendidikan akan baik.”<br />“Ada pernyataan yang berbunyi jika seorang kepala daerah concern dengan pendidikan, balasan surga baginya surga kelas A. Sedangkan para ulama lebih baik lagi yakni surga kelas B. Tapi yang lebih baik lagi dari keduanya tersebut adalah guru, yakni fasilitas surga kelas C,” Kata Sulistiyo.<br />“ Sudah saatnya pemerintah untuk bergerak, memberikan tunjuangan yang layak bagi seorang pengajar, meskipun guru PAUD sekalipun, “ kata Sulistiyo. <br />Meskipun Sulistiyo tidak menampik, manajemen dan birokrasi pendidikan, pengelolaannya cenderung masih kaku, dan terlalu birokratis. Baginya, pengelolaan pendidikan saat ini masih belum efisien dan efektif. Sementara birokrasi pendidikan masih banyak yang tidak mempunyai kemampuan memadai, misalnya merancang program dan mengaplikasikan berbasis kualitas.<br />Dan sangat disayangkan lagi, rendahnya mutu dan keprofesionalan tenaga guru, karena penguasaan materi pembelajaran, penguasaan metode mengajar, kreatifitas, kemampuan mengevaluasi sampai membimbing siswa masih banyak yang rendah. <br />“Salah satu faktornya, kurangnya pembinaan dan kurangnya kesejahteraan yang meliputi penghasilan dan perlindungan,” kata Sulistiyo.aguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3927749122890539693.post-59682591689937923252010-04-30T05:42:00.000-07:002010-04-30T05:43:17.728-07:00Dana Kampanye Jauh Dari PanggangDana Kampanye Jauh Dari Panggang<br />Agus Wahyuni<br />Borneo Tribune, Sambas<br /><br />Keberuntungan belum berpihak pada Habib Bahrun (47). Ia calon legislatif partai Demokrat pada pemilu 2009 dengan nomor urut satu dari daerah pemilihan Landak satu, kabupaten Landak. Ia kalah dalam perolehan jumlah suara. Habib hanya dapat 814 suara. Dan selisih 14 suara dari calon nomor urut satu, Syahdan Anggoi. Sementara partai Demokrat dari dapilnya, hanya memperoleh satu kursi. Sejak ditetapkan suara terbanyak dari Mahkamah Konstitusi, Habib harus rela gagal duduk di kuris DPR Kabupaten Landak. Dan sebelumnya juga pernah gagal, yakni pada pemilu 2004.<br /><br />Rasa penyesalan menghampiri dirinya. Selain kalah dalam perebutan kursi DPRD, ia juga sudah mengeluarkan biaya cukup besar. Kurang lebih Rp 100 juta. Dari pengakuaan Habib, sumber dananya berasal dari pinjaman bank, dengan cara jaminan rumah dan tanah. Jumlahnya kurang lebih sekitar Rp 80 juta. Sisanya ia pinjaman dari keluarga dan pinjaman dari perusahaan tempat ia bekerja, jumlahnya ada Rp 20 jutaan, kata Habib.<br /><br />Yang menarik disini adalah, Habib mendapat pinjaman PT Kebunaria, kabupaten Landak, salah satu perusahan kelapa sawit. Investornya berasal dari Malaysia. Dan ia sendiri menjabat sebagai manajer di PT Kebunaria. Sejak awal perusahaan berdiri tahun 1990. Dan Habib mengabdikan disana, lima belas tahun lamanya.<br /><br />Bukan hanya Habib, di kabupaten Sambas, daerah pantai utara, Kalbar, juga ada caleg yang berprofesi sebagai pekerja perusahaan sawit, juga milik investor Malaysia. Namanya Gustami Asban. Ia bekerja sebagai karyawan PT ANI.. Ia caleg Partai Bintang Reformasi, dari daerah pemilihan Sambas satu. Gustami juga mendapat pinjaman dari perusahaan tempat ia bekerja. Uang itu ia gunakan untuk modal kampanye. Ia mendapat pinjaman kurang lebih 10 juta. Namun dalam perjalanannya Gustami mengalami nasib sama dengan Habib. Ia hanya memperoleh 435 kursi saja. Dan partainya tidak meloloskan satu pun calegnya duduk di DPRD Kabupaten Sambas. <br /><br />Dari cerita diatas, Habib dan Gustami, adalah satu diantara caleg yang bekerja di perusahah asing, asal Malaysia yang menanamkan investasinya di kalbar. Dengan kedekatan tadi, ia mendapatkan bantuan dana, meskipun dalam bentuk pinjaman dari perusahaan. Namun sayang, merasa sudah kalah bertarung pada pemilu 2009, Habib dan Gustami enggan melaporkan dana kampanye. Itu, berdasarkan pengakuan dari keduanya. Padahal aturan pelaporan dana kampanye sudah diatur dalam peraturan KPU No 1 Tahun 2009.<br /><br />***<br /><br />Kalimantan Barat, adalah sebuah daerah yang membentang lurus dari utara ke selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar 850 km dari barat ke timur. Dan menjadi propinsi terluas keempat setelah Irian, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Kalimantan Barat termasuk salah satu propinsi di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara asing, yaitu dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Bahkan dengan posisi ini, maka daerah Kalimantan Barat kini merupakan satu-satunya propinsi di Indonesia yang secara resmi telah mempunyai akses jalan darat untuk masuk dan keluar dari negara asing. Hal ini dapat terjadi karena antara Kalimantan dan Sarawak telah terbuka jalan darat antar negara Pontianak Entikong Kuching (Serawak-Malaysia).<br /><br />Ada yang menarik di kalbar, yakni perkembangan wilayah potensi pengembangan komoditi kelapa sawit mengalami peningkatan. Tahun 2008 saja, dari sumber data <br />statistik perkebunan Indonesia, lahan yang sudah digarap untuk kelapa sawit, yakni, 492.112.00 hektar. Dengan perincian, kabupaten Bengkayang, lahan yang digunakan seluas 3.944.000 hektar. Kabupaten Kapuas Hulu, seluas 3.018.00 hektar. Kabupaten Ketapang, seluas 48.126.00 hektar. Kabupaten Landak seluas 9.863.00 hektar. Kabupaten Melawi, seluas 6.404.00 hektar. Kabupaten Sambas, seluas 7.349.00 hektar. Kabupaten Sanggau, dengan luas 67.266.00 hektar. Kabupaten Sekadau, dengan luas 24.499.00. dan kabupaten Sintang dengan luas, 16.098.00 hektar. Dari keseluruhan jumlah areal perkebunan sawit, jumlah produksi sawit, tahun 2008 mencapai 1.050.450 ton per tahun.<br /><br />Meski demikian, perjalanan sawit tidaklah semulus yang dikira. Karena sebagian masyarakat menganggap perluasan perkebunan sawit hanya akan merugikan masyarakat luas, karena tidak sedikit izin perluasan lahan perkebunan sawit di Kalbar menjadi kedok melegalkan penebangan hutan secara liar, kata Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Barat, Hendi Chandra.<br /> <br />Ia mengatakan, ketika izin perluasan lahan perkebunan sawit keluar, pemilik perkebunan dengan leluasanya melakukan pembersihan lahan, menebang pohon yang masih produktif untuk dijual ke negara tetangga, seperti Sarawak, Malaysia Timur. <br /><br />Hendi menambahkan, dampak dari perluasan perkebunan sawit di Kalbar saat ini sudah dirasakan. Di antaranya bencana banjir yang hampir terjadi di seluruh kabupaten/kota yang sebelumnya hanya terjadi di beberapa kawasan rendah saja. <br /><br />Data dari Sawit Watch, sejak 30 tahun terakhir sudah tercatat 1.753 kasus konflik yang terjadi antara pemilik perkebunan dengan masyarakat sekitar perkebunan karena masyarakat merasa haknya sudah terampas. <br /><br />Dari luas perkebunan sawit seindonesia seluas 7,3 juta hektare, sebesar 1,3 juta hektare lahan perkebunan sawit berkonflik. <br /><br />"Melihat itu, berarti perluasan sawit dengan tujuan mensejahterakan masyarakat belum sepenuhnya benar," katanya. <br /><br />Saat ini produksi Crude Palm Oil Kalbar sebesar 800 ribu ton pertahun dengan luas lahan perkebunan yang baru produksi sekitar 200 ribu hektare. <br /><br />Hingga akhir 2007, pemerintah kabupaten/kota di Kalbar telah menerbitkan info lahan seluas 4,6 juta hektare untuk perkebunan sawit. Meski info lahan yang diterbitkan amat luas, namun realisasi penanaman sawit di Kalbar baru sekitar 10 persen atau 400 ribu hektare, dengan jumlah petani sawit sekitar 80 ribu kepala keluarga. <br /><br />Nah, melihat adanya benturan antara pemilik modal dan masyarakat, dan kaitannya dengan pelaksanaan pemilu 2009 lalu, tidak menutup, para pemilik modal banyak yang pasang kaki dengan memilih caleg yang bisa duduk di wakil rakyat. Tujuannya hanya satu, memuluskan perluasan sawit bagi pemilik modal<br /><br />***<br /><br />Kampanye parpol maupun caleg memerlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karenanya, tidak menutup kemungkinan kebutuhan dana yang besar itu didapatkan dari pihak luar, khususnya para pemilik modal. Dana besar itu sebagian besar dibelanjakan untuk anggaran belanja iklan di media massa, biaya operasi politik dan kampanye, ongkos lobi dan jamuan politik, belanja logistik kampanye, serta biaya-biaya taktis lain yang menghabiskan dana ratusan miliar rupiah.<br /><br />Para pemilik modal kadang berperan menjadi kekuatan politik bayangan, yang menentukan bahkan bisa mengatur kemenangan sebuah parpol ataupun caleg.<br /><br />Dan hubungannya dengan kekuatan pemilik modal dengan parpol ataupun caleg bisa dilacak melalui mata rantai sumber dana yang mengalir ke kantong parpol ataupun caleg yang bersangkutan.<br /><br />Aktivis lingkungan Kalbar, Deman Huri mengatakan, peluang itu tetap ada setiap pelaksanaan pemilu berlangsung. Jika mau ditelisik dari aliran dana kampanye parpol maupun caleg, yang berlatar belakang bekerja di perusahaan asing, misalnya, si pemilik modal dengan memasang kaki di tiap daerah, dengan harapan, regulasi yang akan dibuat nanti, tidak pro terhadap rakyat, kata Deman.<br /><br />Untuk mengawal, caleg terpilih nanti agar tidak terbentur kepentingan, ketika duduk dalam membuat regulasi, penting kiranya, setiap caleg maupun parpol untuk transparan dalam melaporkan dana kampanye pada KPU, agar diketahui masyarakat, bahwa caleg yang terpilih benar-benar pilihan rakyat, kata Deman.<br /> <br />Hal yang sama dikatakan pengamat politik Universitas Tanjungpura, Gusti Hardiansyah mengatakan, tidak dapat dipungkiri, pemilu legislatif 2009 adalah pertarungan memperebutkan kekuasaan. Selain tujuannya menambah pundi-pundi kekayaan masing- masing calon terpilih, juga syarat akan kepentingan, terutama bagi pemilik modal. Untuk satu tujuan, memuluskan jalannya kebijakan, kata Gusti.<br /><br />Betapa tidak, bantuan dana asing yang sengaja dialirkan ke kantong para kandidat calon pemimpin negeri ini, bukan tanpa kompensasi alias gratis diberikan. Melainkan disuguhkan dengan beraneka ragam tujuan dan kepentingan politik tertentu. Hal ini, senantiasa akan menyelimuti sang pemimpin dalam setiap keputusan, maupun kebijakan yang dilahirkan.<br /><br />Gusti menambahkan, perusahana asing yang membantu keuangan caleg untuk melakukan kampanye, apakah melalui cuma- cuma atau melalui pinjaman, sudah mengindikasikan, bahwa pemilik modal sudah menunggu momen ini, dengan cara memilih wakil rakyatnya yang bakal duduk di DPRD, dengan satu tujuan, memperluas areal kekuasaan, kata Gusti.<br /><br />***<br /><br />Pada 3 Juni 2009, Komisi Pemilihan Umum kalimantan Barat mengumumkan hasil audit dana kampanye pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, dengan menggandeng Kantor Akuntan Publik (KAP). Hasilnya, dari total penerimaan dana kampanye yang dilaporkan oleh seluruh peserta pemilu legislatif di provinsi Kalimantan Barat, yang dilaporkan, sebesar Rp. 15.815.090.905 untuk jumlah total pengeluaran Rp. 15.582.449.473. dan jumlah Saldo, Rp. 154.287.131. KAP juga mencatat, parpol dengan jumlah dana kampanye terbesar adalah partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan jumlah penerimaan sebesar Rp. 4.240.376.000 dan jumlah pengeluaran Rp. 4.236.464.200. Dan Parpol dengan dana kampanye terkecil adalah Partai Pemuda Indonesia (PPI) dengan jumlah penerimaan sebesar Rp. 200.000 dan jumlah pengeluaran kampanye Rp. 0. Sementara untuk parpol dengan jumlah saldo terbesar adalah Partai Demokrat dengan jumlah saldo Rp. 67.556.000 dan saldo terkecil adalah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dengan saldo akhir minus Rp.94.600.000.<br /><br />Namun sangat disayangkan lagi, dari total penerimaan dan saldo dana kampanye parpol , KAP menemukan laporan dana kampanye parpol peserta pemilu tidak adanya lampiran laporan LPPDKP, DSPDKP dan DAPDKP, bahkan laporan yang disampaikan parpol tidak sesuai dengan format yang ada di dalam Peraturan KPU Nomor 01 Tahun 2009 tentang Audit Dana Kampanye. Bahkan temuan lain dari KAP, tidak adanya surat representasi dari peserta pemilu kepada KAP tentang penanggungjawab laporan dana kampanye, kata Sofiati, Anggota KPU Kalimantan Barat, dan juga Pokja Kampanye.<br /><br />Begitu juga terjadi di tingkat daerah, kabupaten Sambas, misalnya, dari 36 parpol peserta pemilu bermasalah. Partai Demokrat, temuannya, tidak ada identitas KTP dan NPWP penerimaan. Begitu juga dengan PDIP, penemuannya, tidak ada identitas KTP dan NPWP penerimaan, juga tidak ada bukti penerimaan.<br /><br />Partai Golkar juga sama,temuannya, tidak sesuai dengan format dan tidak ada bukti pendukung RKDKP. Sementara Partai Gerindra, temuannya, tanggal tidak terlampir. Ada caleg tidak melamirkan identitas. Tidak cocok dengan DSPDKP. LPPDKP berbeda dengan DSPDKP. Tidak ada DAPDKP. Tidak ada bukti pendukung.<br /> <br />Sementara Partai Hanura, temuannya, tidak ada identitas NPWP, tanggal pengeluaran tidak lengkap. Tidak melampirkan LPDKP. Format berbeda standar. Tidak terlampir bukti pendukung.<br /><br />Mantan wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu kalbar, tahun 2004, Rustam mengatakan, Selama ini pelaporan dana kampanye kurang mendapat porsi perhatian publik. Dan parpol terkesan menutup - nutupi jumlah dana kampanye yang didapat maupun yang dikeluarkan, sehingga ada kesan upaya transparansi dana kampanye masih gelap. Ini bisa dilihat, laporan pengeluaran tidak sepenuhnya sesuai dengan penerimaan.<br /><br />Rustam menambahkan, berkaca pada pengalaman pelaksanaan beberapa pemilu lalu, dana kampanye menjadi bagian yang kurang diawasi secara ketat. Ada banyak kelonggaran yang memberikan peluang kepada partai politik, melakukan segala cara untuk mendapatkan dana kampanye. Akibatnya, sulit meminta pertanggungjawaban parpol peserta pemilu, baik secara politik maupun secara hukum, terhadap segala bentuk penyelewengan yang dilakukan. Dalam konteks ini, ada beberapa fenomena yang perlu dicermati.<br /><br />Pertama, potensi munculnya money laundry atau cuci uang melalui parpol. Kelonggaran aturan dana pemilu memungkinkan sumber dana yang masuk ke parpol, adalah dana siluman yang sengaja disumbangkan pihak tertentu, kepada parpol demi meraih kepentingan politik tertentu pula, sebagai balas jasa terhadap kucuran dana yang diberikan. <br /><br />Dan kedua, teknik dan mekanisme auditing dana parpol. Dalam RUU Pemilu, memang diberlakukan rekening khusus secara berjenjang mulai tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Bahkan, dana dan rekening kampanye dipisahkan dari dana dan rekening parpol. Tapi, dalam praktiknya, parpol tidak menjelaskan secara terbuka mengenai sumber, besaran, dan penggunaan dana yang dimaksud. <br /><br />Sekretaris Partai Hanura, Dewan Pimpinan Wilayah Kalbar, Abdul Hadi punya pendapat lain. Penemuan KAP tentang ketidakjelasan pelaporan dana kampanye tidaklah sepenuhnya benar. Ia mengatakan, kewajiban parpol untuk menyerahkan dana kampanye merupakan barang baru. Artinya ada proses pembelajaran bagi parpol maupun caleg dalam melaporkan dana kampanye, karena pada pemilu sebelumnya tidak pernah dilakukan.<br /><br />Dan adanya kekurangan dalam penyampaian laporan dana, salah satu penyebabnya, adalah minimnya sosialisasi KPU dalam menerapkan regulasi itu. Disini, KPUD hanya melakukan sosialisasi di pusat, sementara untuk didaerah, belum tersentuh. Ditambah lagi dengan keterbatasan jenjang pendidikan dari caleg yang ikut bertarung pada pemilu, sehingga berdampak hasil laporan yang disampaikan, kata Abdul.<br /><br />Sementara kaitannya parpol maupun caleg yang mendapatkan bantuan dana asing, bagi Abdul, tidaklah sepenuhnya benar. Khusus untuk Partai Hanura sendiri, dana kampanye murni dari kemampuan finansial tiap caleg. Apalagi dengan aturan suara terbanyak, selain dukungan finansial, juga dukungan figur yang akan ditonjolkan menarik hati nurani rakyat yang akan terpilih menjadi wakil rakyat.<br /><br />Sejak KPU memberlakukan kewajiban parpol dan caleg harus melaporkan dana kampanye, berdasarkan pasal 129 - 140 UU Nomor 10 Tahun 2008, Kegiatan kampanye pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota didanai dan menjadi tanggung jawab partai politik peserta pemilu masing-masing. Dana kampanye pemilu tersebut bersumber dari, partai politik, calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik yang bersangkutan dan sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain. Selain itu, peserta pemilu dilarang menerima sumbangan yang berasal dari pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, atau pemerintah desa dan badan usaha milik desa. <br /><br />Anggota KPU Kalimantan Barat, Pokja Kampanye, Sofiati mengatakan, dengan regulasi yang telah dibuat tadi, tidak alasan bagi parpol tak serahkan dana awal kerening, karena sanksinya jelas, parpol yang bersangkutan akan terancam batal pemilu, kata Sofiati.<br /><br />Dalam pasal 13 huruf j, Undang- Undang No 2 Tahun 2008 tentang Parpol, menyebutkan, parpol berkewajiban memiliki rekening khusus dan kampanye pemilu. Dan ketentuan pasal 134 ayat (1) Undang- Undang No 10 Tahun 2008 tentang pemilu anggota DPR, DPRD, menyatakan bahwa parpol pemilu sesuai tingkatannya memberikan laporan awal dana kampanye pemilu dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU, KPU Provinsi dan KPUD, paling lambat tujuh hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum.<br /><br />Dalam ketentuan pasal 138 ayat (1) UU No10 Tahun 2008 Juncho pasal 52 Peraturan KPU No 19 Tahun 2008, juga menyatakan bahwa dalam hal pengurus partai politik peserta pemilu tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat daerah tidak menyampaikan laporan awal dana kampanye kepada KPU danKPUD sampai batas awaktu, parpol yang bersangkutan dikenakan sanksi berupa pembatalan sebagai peserta pemilu pada wilayah yang bersangkutan.<br /><br />Ketua KPU Kalbar, Muzamil mengatakan, aturan itu dibuat undang- undang diatas tentu tujuannya untuk mengantisipasi dana- dana fiktif yang masuk ke katong parpol yang selama ini tidak terdeteksi oleh publik. Dana fiktif yang dimaksud, sumbangan dari pihak asing yang sarat akan kepentingan jika parpol maupun calegnya memenangkan dalam pemilu 2009 ini.<br /><br />Ia juga mengatakan, parpol diwajibkan untuk menyerahkan rekening awal kampanye baru bersifat laporan awal dana kampanye, namun setelah 15 hari pelaksanaan pemungtan suara, DPD Parpol wajib menyerahkan laporan keseluruhan dana kampanye yang telah dikeluarkan, baik dana pemasukan maupun pengeluaran dalam bentuk pembukuan sesuai dengan ketentuan dari parpol bersangkutan.<br /><br />Setelah itu, KPU sendiri akan menunjuk langsung Akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU, untuk mengaudit laporan yang sudah diberikan dari parpol.Tujuannnya untuk mengetahui apakah parpol mengunakan dana fiktif atau tidak. Dari mana- mana saja sumbangan dana yang didapat, dan untuk mengetahui batasan sumbangan yang diterima parpol dari penyumbang, kata Muzamil.<br /><br /><br />***<br /><br />Partai Politik (Parpol) tak serahkan dana awal kerening kampanye terancam batal pemilu. Himbauan itu disampaikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Barat, bagi 36 parpol peserta pemilu di kalbar. Meskipun seluruhnya telah menyerahkan rekening awal kampanye. Namun dilihat secara cermat, rekening dan jumlah dana yang diserahkan terkesan formalitas belaka. Karena regulasi yang dibuat tidak menunjukkan sikap parpol untuk transparansi dalam penggunaan dana.<br /><br />Ini bisa dilihat hasil laporan KPU Provinsi telah mengumumkan 36 Parpol menyerahkan rekening khusus dana awal kampanye. Namun dilihat dari nominal uang tiap Parpol yang menyerahkan rekening rata- rata kisaran dana yang dimiliki hanya Rp 1.000.000- Rp 7.000.000.<br /><br />Misalnya saja Partai Perjuangan Indonesia Baru memilki saldo sebesar Rp 7.000.000. Partai Demokrasi Kebangsaan dengan saldo Rp 5.000.000. Partai Persatuan Pembangunan, saldo Rp 2.435.384. Partai Nasional Banteng Kerakyatan dan Partai Hanura memiliki saldo Rp 2.000.000. Untuk Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Daerah, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bulan Bintang hanya memiliki saldo Rp 1.000.000. Sementara Partai Indonesia Sejahtera memiliki saldo Rp 200.000.<br /><br />Jika menilik jumlah saldo diatas, sangatlah tidak rasional, mengingat massa panjang kampanye Sembilan bulan, sejak Juni 2008 lalu. Dan anggaran yang telah terpakai tentu melebihi dari jumlah saldo yang dilaporkan ke KPU. <br /><br />Contoh saja, sejumlah baleho partai politik menghiasi sepanjang jalan. Warna warni, merah, hijau, kuning, hingga kelabu. Ada ukuran sedang hingga jumbo. Para pemimpin partai berebut kawasan pemasangan baleho. Beberapa ruas jalan protokol terpasang baleho pimpinan parpol begitu juga dengan kadernya yang maju sebagai caleg. <br />Sama halnya dengan bendera parpol, yang berkibar disepanjang ruas jalan, berjejer memanjang. Seakan meramaikan pesta demokrasi yang tinggal menghitung hari. Tidak heran. Tempat- tempat yang diperbolehkan untuk pemasangan atribut selalu diindahkan. Seperti tempat- tempat fasilitas umum selalu bercokol baleho maupun bendera parpol. <br />Namun yang menjadi pertanyaan kita, berapa sebenarnya dana parpol yang dikeluarkan untuk membeli aneka atribut?<br /><br />Muhammad Zawawi, warga Danau Sentarum, kecamatan Pontianak, berprofesi sebagai jasa menjual alat peraga kampanye, mengatakan, untuk pembuatan baleho, ukuran satu kali stu meter, ia mematok harga Rp 35.000. Untuk pembuatan kalender parpol dan caleg, harganya bervariasi, tergantung ukuran dan jenis kertas. Untuk ukuran 60 x 45 cetimeter saja harga satuannya Rp 2.500. Dan kebanyakan percetakan tidak mau pesan perlebar, minimal pemesanan 1.000 lebar. Dan yang paling banyak diminati adalah, pembuatan kartu nama, untuk satu kotak, seharga Rp 30.000, kata Zawawi.<br /><br />Jika salah satu calag maupun parpol yang hendak memasng baleho untuk ukuran 5 x 5 meter, harganya mencapai Rp 875.000. Itu belum termasuk ongkos pemasangan yang membutuhkan beberapa kayu untuk penyangga dan juga upah tenaga kerja yang memasang baleho tadi.<br /><br />Begitu juga dengan harga bendera partai, untuk ukuran 90 x 60 centimeter saja harga satuannya bisa Rp 3.500-4.000. Jika dikalikan 1.000 bendera saja harga sudah mencapai Rp 3-4 jutaan. Itu belum termasuk baju kaos partai untuk kampanye, sehelai baju untuk jenis Higet saja harga satuan bisa Rp 7.500. <br /><br />Jika melihat dari data laporan awal dana kampanye parpol dengan jumlah nominal sekitar satu hingga dua jutaan sangat tidak masuk akal untuk dana awal kampanye. Dana sebesar itu hanya bisa digunakan untuk membeli tiga empat lembar baleho saja. Tapi kita bisa lihat sekarang, sepanjang jalan protokol maupun jalan- jalan keci penuh dengan atribut parpol. Sehingga ada kesan, KPU tidak serius menyikpai hal ini, padalah sudah diatur dalam regulasi undang- undang pemilu, jadi kerja prosfesional KPU yang berisi orang- orang berkualitas dipertanyakan.<br /><br />Rustam berkata, jika melihat dari data laporan awal dana kampanye parpol dengan jumlah nominal sekitar satu hingga dua jutaan sangat tidak masuk akal untuk dana awal kampanye. Dana sebesar ituhanya bisa digunakan untuk membeli tiga empat lembar baleho saja. Tapi kita bisa lihat sekarang, sepanjang jalan protokol maupun jalan- jalan keci penuh dengan atribut parpol. Sehingga ada kesan, KPU tidak serius menyikapai hal ini. <br /><br />Ia juga menanggapi ketentuan aturan KPU, dimana dalam waktu 15, setelah pemungutan suara, parpol diwajibkan untuk menyerahkan laporan dana kampanye secara keseluruhan tidaklah efektif. Bisa saja parpol yang kalah dalam pemilu, atau si caleg dari parpol yang bersangkutan tidak mendapatkan kursi malas untuk melaporkan dana kampanye ke KPU Provisi maupun KPU Kabupaten kota, mengingat tidak ada sanksi tegas bagi parpol yang tidak menyerahkan.<br /><br />Gusti Hardianyah berkata, dari dulu hingga sekarang, sulit untuk meminta parpol untuk transparan dalam pengugnaan dana parpol. Karena hingga kini regulasi tetang dana parpol terdapat banyak kelemahan, ini disebabkan regulasi yang dibuat sendiri oleh parpol yang duduk di DPR, kata Gusti.<br /><br />Ini bisa dilihat dari jumlah nominal laporan dana kampanye parpol yang disampaikan ke KPUD tidak masuk akal. Lagi- lagi parpol menunjukkan sikap tidak transparan. Padahal jika dilihat sekarang, masyarakat pemilih sudah cerdas, semakin parpol yang bersangkutan menunjukkan sikap transparan, masyarakat pemilih akan mempercayai bahwa parpol tersebut layak dipilih. Artinya ada kredit poin bagi parpol yang transparan. “Jika tidak dilakukan, parpol bersangkutan perlu dipertanyakan,” kata Gusti. Gusti juga menilai, peran KPU dalam aliran dana fiktif juga masih diragukan, ini bisa dilihat, tidak ada sanksi yang mengikat bagi parpol yang tidak menyerahkan lapran akhir dana kampanye. Yang ada hanya mewajibkan parpol menyerahkan laporan awal. Ini saja sudah rancu dalam regualasi undang- undang yang dibuat. Tidak menutup kemungkinan terjadi bantuan- bantuan fiktif yang tidak bisa terdeteksi oleh KPU.<br /> <br />***<br />Sabtu (21/2) lalu, KPU Provinsi Kalbar menggelar sosialisasi Peraturan KPU No 1 Tahun 2009, tentang pedoman pelaporan dana kampanye parpol peserta pemilu di Pontianak. Semua pimpinan parpol diundang, termasuk Sekretaris Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) wilayah Kalbar yang ditunjuk KPU sebagai akuntan publik yang mengaudit dana parpol.<br />Anggota KPU Provinsi Kalbar, Pokja Kampanye, Sofiati berkata, Rekening khusus dana kampanye, adalah rekening yang menampung dana kampanye Pemilu, yang dipisahkan dari rekening keuangan partai politik atau rekening keuangan pribadi calon Anggota DPD.<br /><br />Laporan keuangan partai politik wajib menyajikan saldo dana kampanye dan dilampiri dengan laporan dana kampanye partai politik. Dan laporan gabungan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye partai politik di tingkat kabupaten/kota, partai politik tingkat provinsi, dan partai politik tingkat pusat sebagai bentuk pengendalian internal organisasi partai politik. <br /><br />Sementara dana kampanye peserta Pemilu, diperoleh dan dikelola berdasarkan prinsip legalitas, transparansi, dan akuntabilitas. Dan disajikan dalam bentuk laporan dana kampanye parpol. Dan Penanggungjawab laporan dana kampanye DPP, adalah Ketua Umum dan Bendahara Umum partai politik. <br /><br />Adapun sumber dana parpol kampanye pemilu, Kata Sofiati, bersumber dari partai politik, calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota partai politik yang bersangkutan dan sumbangan berasal dari perseorangan, kelompok, perusahaan, dan badan usaha non pemerintah. Dana kampanye tadi dapat berupa uang, barang, dan jasa. Kemudian dana kampanye Pemilu dalam bentuk uang ditempatkan pada rekening khusus dana kampanye partai politik dan calon Anggota DPD yang bersangkutan pada bank. <br /><br />Untuk Partai politik sesuai tingkatannya memberikan laporan awal dana kampanye Pemilu dan rekening khusus dana kampanye pada KPU Provinsi, dan KPU KabupatenKota, paling lambat tujuh hari sebelum hari pertama jadwal pelaksanaan kampanye dalam bentuk rapat umum. <br /><br />Sementara besaran sumbangan, nilainya tidak boleh melebihi dari Rp. 1 miliar berasal dari sumbangan perorangan. Sementara sumbangan berasal dari kelompok, perusahaan, atau badan usaha non pemerintah, nilainya tidak boleh melebihi dari Rp. 5. milyar . <br /><br />Sekretaris Ikatan Akuntan Indonesia Kalbar, Haryono, mengatakan, untuk pemberi sumbangan dana kampanye, harus mencantumkan identitas yang jelas, yaitu untuk perseorangan, dengan mencantumkan nama dan alamat yang dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau identitas lain yang sah, dan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dan untuk kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah, melampirkan akte pendirian kelompok, perusahaan, atau badan usaha non pemerintah serta fotokopi NPWP. Kewajiban melampirkan fotokopi NPWP apabila sumbangan dana kampanye tersebut sebesar Rp 20 ke atas. <br /><br />Sementara laporan sumbangan yang diterima harus mencantumkan nama dan alamat penyumbang, jumlah sumbangan, asal usul sumbangan, NPWP, pekerjaan, dan alamat pekerjaan untuk penyumbang perseorangan. <br /><br />Rustam menanggapi, peraturan pemilu yang dibuat KPU lagi-lagi punya kelemahan, sebab tidak ada sanksi yang tegas, bukan saja bagi parpol yang tidak mendapatkan kursi setelah penghitungan suara, bagi parpol yang sudah sekalipun hanya sebatas mengumumkan saja dana kampanye yang mereka gunakan.<br />Dana awal laporan kampanye yang disampaikasn parpol, sesungguhnya jauh dari pemasukan, alias tidak masuk akal jika dilihat dengan keadaan sesungguhnya. Memang ada parpol secara nasional menyampaikan laporan dana awal kampanye apa adanya.Kita harus menghargai parpol yang menyampaikan dana awal kampanye dengan sesungguhnya itu.<br /><br />Sementara tugas akuntan publik dalam mengaudit dana kampanye, hanya sebatas melakukan audit, tidak lebih tidak kurang. Namun yang perlu diingat, akuntan publik tugasnya hanya mengaudit. Sementara untuk terjun langsung kelapangan, melacak dari mana sumber dana berasal, terlihat masih diragukan, karena KAP sendiri sangat terbatas jumlah anggota. “ Yang bisa dilakukan, paling hanya mengambil sample, satu dua daftar penyumbang saja, untuk menjadi acuan,” kata Rustam.<br /><br />Sejak Pemilu di era reformasi hingga pilkada kab/kota dan pilgub soal dana awal kampanye dan laporan kampanye tidak ada sanksi yang tegas, seakan akan hanya formalitas semata, tapi wujud transparansi jauh dari harapan dan esensi dari reformasi. Meski sudah diatur ada audit dana kampanye oleh akuntasi publik, dalam praktiknya, akuntan juga belum memenuhi prinsip-prinsip keterbukaan serta akuntabilitas. Sebab, bisa jadi lembaga akuntan publik juga terimbas politik uang, sehingga tidak lagi independen dalam menjalankan tugas.<br /><br />Pengelolaan aset partai politik perlu diatur secara jelas dalam Undang-undang misalnya mendesain standar akuntansi khusus partai politik (kerja sama BPK dan IAI), menentukan standar dan mekanisme auditing dan mendesain mekanisme yang menjamin akses publik terhadap laporan keuangan.<br /><br />Lantas, bentuk langkah seperti apak yang dilakukan oleh KPU untuk mengantisipasi dana fiktif tadi. Mengingat aturan yang dibuat oleh KPU sendiri masih banyak celah kekurangan.<br /><br />Menurut anggota ICW, Ibrahim Fahmi Bondoh, ketika saya wawancarai di Jakarta,akhir Desember 2008, ia mengatakan, laporan dana kampanye parpol tidak ubahnya seperti pemilu legislatif 2004, dimana merujuk pada beberapa temuan yang diperoleh Indonesia Corruption Watch, Dari penelurusan ICW pada pelaporan dana kampanye Pemilu 2004, ditemukan beberapa modus operandi pelanggaran dana kampanye, yang pada intinya membuat laporan dana kampanye seolah-olah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.<br /><br />Modus pertama dengan memecah-mecah dana dari satu penyumbang, baik individu maupun badan hukum/swasta, ke berbagai ''joki'' penyumbang untuk menghindari batasan maksimal sumbangan. <br /><br />Untuk aturan dana kampanye Pemilu 2009, pembatasan jumlah maksimal sumbangan bagi perorangan dan badan hukum/swasta mengalami peningkatan dibandingkan pada Pemilu 2004. Sesuai dengan pasal 134 UU No 10/2008 tentang Pemilu, batas maksimal sumbangan individu adalah Rp 1 miliar, sedangkan bagi badan hukum/swasta mencapai Rp 5 miliar.<br /><br />Dengan kondisi bahwa partai politik dan kandidat peserta pemilu masih dikuasai segelintir pihak yang memiliki akses pendanaan luas, modus di atas masih mungkin terjadi. <br /><br />Modus lainnya adalah memecah dana dari satu penyumbang ke berbagai nama penyumbang fiktif untuk menghindari kewajiban pencatatan identitas penyumbang. UU Pemilu 2004 mewajibkan adanya pencatatan terhadap identitas penyumbang yang nilai sumbangannya di atas Rp 5 juta. Dengan mendistribusikan jumlah tertentu sumbangan ke berbagai penyumbang fiktif, maka kewajiban pencatatan identitas penyumbang dapat dihindari. <br /><br />Untuk Pemilu 2009, meskipun aturan baru telah mewajibkan adanya pencatatan identitas penyumbang tanpa terkecuali, sangat mungkin daftar laporan penyumbang dengan identitas fiktif masih akan banyak ditemukan. <br /><br />Hal itu mengingat sejak awal para penyumbang dana kampanye tidak ingin diketahui identitasnya. Tujuannya jelas, yakni untuk menghindari kemungkinan diketahuinya sumber bantuan dana kampanye yang sejatinya berasal dari sumber yang dilarang UU.<br /><br />Modus berikutnya menggunakan rekening liar sebagai penampungan dana kampanye. Meskipun ada kewajiban bagi peserta pemilu untuk memiliki rekening khusus dana kampanye, pada praktiknya mereka dapat membuka rekening liar yang tidak dilaporkan kepada KPU. Teknik ini sulit dideteksi karena pengelola rekening liar adalah tim bayangan yang juga tidak terdaftar secara resmi sebagai tim kampanye di KPU.<br /><br />Tantangan ke depan yang harus dijawab adalah pemberian sanksi terhadap berbagai pelanggaran terkait dengan aturan dana kampanye bisa ditegakkan. Dengan begitu peserta pemilu yang kedapatan melakukan kecurangan dapat didiskualifikasi sebagai peserta pemilu dan pemenang, terlebih dipidana, kata Fahmi.aguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3927749122890539693.post-26535083569221884402010-04-30T05:41:00.000-07:002010-04-30T05:42:37.132-07:00Ketika Lingkungan Terjangkit HIVKetika Lingkungan Terjangkit HIV<br /><br />Agus Wahyuni<br />Borneo Tribune, Sambas<br /><br />Sepasang kaki berkulit kulit putih mendadak melintang di depanku. Saat aku sedang menginjakkan kaki di Desa Sebangkau, Kecamatan Pemangkat, sebuah pemukiman lokalisasi.<br />Langkahku terhenti. Aku melihat seorang gadis cantik duduk di kursi melempar senyum. Lalu, dia mulai turun ke lantai. Lantas tangannya menarik tanganku agar aku mendekat padanya. Seketika itu, aku sudah duduk disampingnya. <br />Dan mulailah perkenalan. <br />“Sari” ia sebut namanya. Itu nama panggilannya. Nama sebenarnya Lusita.<br />Suasana saat itu terlihat ramai. Di belakang Sari masih ada Sari lainnya. Dengan berbagai posisi. Ada yang duduk di kursi memanjang. Dan ada yang bersandar di pagar pembatas teras. Sementara aku dan Sari duduk di kursi, cukup untuk berdua. <br />Suasana Desa Sebangkau memang terlihat ramai di malam hari. Untuk menuju kesana, menempuh jarak sekitar satu kilometer dari pasar Sebangkau. Dengan jalan beraspal, cukup untuk dilewati dua mobil. Cukup sedikit berbelok ke kiri sekitar seratus meter. Sudah terlihat suasana remang. Ada lima belas bangunan rumah berjejer rapi, lengkap dengan teras dan kursi panjang membentang. Di sana sudah duduk ratusan wanita malam, dengan farfum aroma khas masing- masing, siap menyambut tamu yang datang. Tak heran, jika malam libur, ratusan pria hidung belang, dari berbagai daerah, mulai dari Selakau, Pemangkat, Sambas, bahkan dari luar Sambas, mendatangi tempat itu. Apalagi kalau bukan menikmati hiburan malam.<br />Cukup dengan uang Rp 50 ribu, satu botol minuman keras, lengkap dengan canda wanita cantik, bisa didapat salah satu pusat lokalisasi, desa Sebangkau, Kecamatan Pemangkat. Dengan suasana remang, temaram lampu menyinari sebagian ruangan. Dentuman suara house music, melengkapi keramaian malam. Jika tertarik dengan gadis- gadis cantik tadi, seseorang harus merogoh kocek lagi, untuk bisa berkencan semalaman. Mengenai harga, pandai- pandai untuk bernegosiasi. Rp 50 ribu, itu sudah paling murahnya. <br />Tapa terasa, perkenalanku dengan Sari berlangsung satu jam dari ceritanya. Ia gadis Jawa. Satu diantara ratusan penghuni lokalisasi. Sudah 3 tahun ia menetap di sana. Yang kutangkap, ia bisa sampai di sini karena ajakan teman, yang lebih dulu menginjakkan kaki ke tanah Sambas. Sebuah daerah di pantai utara Kalimantan Barat, berbatasan langsung dengan Malaysia. Sambas juga yang terkenal dengan hasil jeruk dan lumbung padinya.<br />Awalnya, sejak tahun 2000, Sari biasa mangkal salah satu tempat lokaliasai di Jawa Tengah. Berhubung ia sering terjaring oleh operasi yang dilancarkan pemerintah daerah, Ia pun hanya pikir sekali untuk sampai di sini.<br />“Modal saya hanya badan dan sejumlah uang, untuk biaya trasportasi dari Jawa sampai kemari “ kata Sari. Dan untuk penginapan, saya tidak bayar. Saya ditumpangi, Mbak Ning, teman baru saya. <br /><br />Sekilas memang tidak telihat ia keturunan Jawa. Kulit putih merona, dengan rambut panjang sebahu terurai, yang memandang pasti terkesima. Dengan lesung pipit di kanan bibirnya. Semakin lengkap keindahan wajahnya. Apalagi ditambah dengan pantulan sinar lampu temaram.<br />“ Di sini penghasilan cukup lumayan, “ kata Sari. <br />Rp 100 ribu bisa ia dapat dalam semalam. Jam kerja ia mulai dari pukul 20.00 hingga pukul 03.00. Mengenai tarif, ia gunakan sistem shoot time, artinya untuk sekali kencan Rp 50 ribu. Itu sudah harga biasa di sini. Dan biasa juga untuk langganan yang sering mampir di sini. “Barangkali tau harga dari mulut ke mulut, sehingga yang mau berkencan sudah tau harga,” kata Sari.<br /><br />Rp 50 ribu juga sudah termasuk sewa kamar. Untuk satu rumah biasanya terisi lima kamar yang disekat. Satu kamar biasanya ada dua penghuni. Jika pelanggan datang bersamaan, salah satu harus rela ngantri, tunggu selesai kencan. Sekarang Sari satu kamar dengan Susi, gadis asli Sambas. Setelah pindah dari kamar Mbak Ning. “ Hanya sekedar mencari suasana baru saja, tapi masih satu rumah, “ kata Sari. <br /> <br />Sari bercerita, untuk berkencan, dia serahkan sepenuhnya pada pelanggan, sampai pelanggan puas. Dan lama waktu kencan, biasanya sekitar 30 menit sampai satu jam. Kebanyakan yang menidurinya tidak menggunakan alat pengaman, alias kondom. “Padahal kondom sudah saya siapkan, namun kebanyakan pelanggan menolaknya, “ kata Sari. Dan rasa takut penyakit tetap ada, namun seakan hilang, jika sudah menerima uang.<br />Sebenarnya lokalisasi Sebangkau sudah lama berdiri. Lokalisasi ini berdiri sekitar tahun 2000. Dan pada tahun 2003 ditutup karena desakan dari masyarakat, meminta pemerintah daerah, secepatnya tempat lokalisasi ditutup. Kemudian awal 2004. Lokalisasi Sebangkau kembali beroperasi.<br /><br />***<br /><br />Selain Desa Sebangkau, masih ada tempat lain yang biasa dijadikan tempat transaksi penjaja seks di Sambas ini. Tempat itu di Pemangkat, letaknya 200 kilometer dari Pontianak. Pemangkat selain terkenal dengan keindahan tempat wisata “Tanjung Batu”, ada tempat menarik yang biasa dikunjungi warga. Dan warga sekitar menyebutnya “ Pantai Sinam.”<br />Tempat itu cukup asyik untuk bersantai ria. Di sana ada sekitar dua puluh warung menjajakan minuman dan makana, mie dan nasi goreng di sana enak. Ditambah dengan tahu goreng yang dicocol saos pilihan, menjadi lengkap jika menyantap tempat yang telah disedikan. Berupa pendopo, beratap daun, dengan meja melingkar. Lokasi berada di pinggir jalan raya, membelakangi pantai. Sekitar satu kilometer dari pusat kota. Jika memasuki siang hari, duduk sambil menikmati sajian es kelapa muda, membuat tenggorokan menjadi lega.<br />Namun siapa sangka, di malam harinya, tempat itu berubah. Gemerlap remang lampu menghiasi hampir seluruh warung. Bagi orang baru yag mampir di sini, hal itu dianggap biasa. Namun jika sudah mengetahui seluk beluknya. Menjadi luar biasa. Aku berkunjung kesana beberapa waktu lalu. Mendapat informasi dari salah satu teman yang pernah kesana. <br />Aku memilih duduk di pojok membelakangi pantai. Segelas minuman energi, Aku pesan dari pelayannya. Selain minuman, Aku tanya pada pelayan di sana, nama panggilannya “ Kak De,” warga Desa Melati. Saya tanya pada Kak De, <br />“Di sini apa ada tempat ‘mencuci’?” <br />Ia menatap saya, lalu berkata, “Ada.” <br />“Mencuci” merupakan kata sandi di sini, artinya menanyakan wanita cantik yang bisa diajak kencan. Saat kita berada di sana, wanita- wanita cantik tidak terlihat. Hanya orang- orang tertentu yang bisa memanggilnya, termasuk pemilik warung. Tak lama, Kak De menghampiriku, membawakan beberapa foto, gadis baru umur gede. <br />“Ini koleksi Kak De, ia bisa dipanggil ke sini, kapan saja, “ kata Kak De. <br />“Jika tertarik, tergantung negosiasi, jika tidak, cukup hanya memberikan uang bensin dan ongkos minum, “ katanya.<br />Saya menyetujuinya. Jari Kak De terlihat sibuk memencet hanpone genggamnya. Sekitar 30 menit, seorang gadis jelita menghampiri kami. Tingginya sekitar 160, menggunakan jeans dan kaos hijau tak berlengan.<br />Namanya Maya, Ia tinggal di Jalan Pembangunan, Pemangkat. Dari ceritanya, ia masih duduk di bangku SMA favorit di Pemangkat. Saya perkirakan umurnya berkisar 17 tahun. Dengan kulit sawo matang, kencang, lengkap dengan kacamata minusnya. Membuat daya tarik tersendiri. Namun dari penampilan dan dandanannya, sudah tergambar, ia wanita panggilan. Saya mengutarakan maksud saya, dan Maya mulai bercerita.<br /> <br />Awalnya ia terjebak pergaulan bebas. Kegadisannya mulai terenggut sejak ia mengenal kekasihnya, setahun silam. Sejak itu, ia kecewa. Ditambah dengan gaya hidup hedonis teman sekolahnya. Handpone mewah dan uang jajan berkecukupan, iapun tergiur untuk terjun ke dunia malam. Maklum saja, ekonomi keluarga sebagai petani, hanya cukup untuk kebutuhan sehari. Dan satu- satunya tempat aman dari panangan keluarga dan teman sekolanya, adalah Pantia Sinam. <br /><br />Untuk menerima pelanggan, di sini tidak perlu capek-capek. Cukup berdiam diri di rumah. Sambil menerima telepone datang. Ia pun langsung meluncur. Untuk tarif memang sedikit mahal. Untuk sekali kencan ia patok Rp 100 ribu. Itu belum termasuk biaya penginapan hotel sekitar Rp 50 ribu. Dan untuk memilih hotel yang bebas razia, jangan khawatir. Maya sudah ada pilihan hotel yang tepat untuk berkencan.<br /><br />***<br /><br />Masih ada satu tempat lagi, yang menarik perhatianku. Tempat itu cukup indah untuk disinggahi, dengan panorama semilir angin pantai. Jika berkunjung sore hari, di sana terlihat langit jingga, menandakan matahari mulai tenggelam di ufuk senja. Tempat itu dinamakan “ Tanjung Batu” salah satu kebanggaan warga Pemangkat. Di areal Tanjung Batu, ada bukit, tingginya sekitar kaki 300 dari dasar bukit. Jika pernah melihat tembok besar, di China, Tanjung Batu mirip dengannya. Jalan semen, dengan tembok setinggi satu meter di kiri dan kanan sepanjang jalan. Di sekelilingnya dirimbuni pepohonan. Dan jalan itu mengitari perbukitan hingga ke puncak bukit. <br />Bukit itu, warga sekitar menamainya, “ Bukit Lonte.”<br />Sejak tempat itu tidak dikelola dengan baik, lima tahun terakhir, banyak mudi- mudi singgah ke sana. Biasanya selalu ramai jika menjelang malam Minggu. Di areal itu banyak pasangan mengadu kasih, meskipun suasan itu gelap. Sehingga tak heran, jika siang harinya banyak berserakan alat kontrasepsi, maupun pembalut wanita di sana. <br />Dari cerita diatas, tergambar sudah, dimana pergaulan bebas sudah menjamur sedemikian rupa. Di mana ada wisata malam, di situ ada pergaulan bebas hingga seks bebas. Melihat fenomena ini, agaknya terlalu sulit bagi pemerintah daerah untuk menanggulangi. Ini bisa dilihat, hingga kini pemerintah daerah belum bisa berbuat. Akibatnya, jumlah penderita Acquired Immune Deficiency Syndrome atau dikenal dengan (AIDS) di kabutaten Sambas semakin bertambah. <br />Sejak delapan tahun terakhir, kematian akibat HIV/AIDS di Kabupaten Sambas mencapai 47 kasus. Angka ini kemungkinan bertambah karena berdasarkan data Dinas Kesehatan Sambas, sejak tahun 2000 hingga bulan Oktober 2008 terdapat 111 orang tertular HIV/AIDS.<br /><br />Bila melihat data tersebut, 48 penderita HIV/AIDS masuk dalam tahapan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Tak dapat dipungkiri, Kecamatan Pemangkat menempati posisi teratas jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 17 orang. Disusul kemudian, Kecamatan Jawai sebanyak enam orang, dan posisi ketiga ditempati Kecamatan Tebas sebanyak empat orang. Kecamatan Salatiga terdapat tiga orang, Kecamatan Sambas, Kecamatan Selakau dan Kecamatan Teluk Keramat masing-masing sebanyak satu orang menderita HIV/AIDS. <br /><br />Melihat peningkatan jumlah penderita HIV AIDS, beberapa waktu lalu, Bupati Sambas, Burhanuddin A Rasyid pernah mengatakan akan menertiban tempat lokalisasi Desa Sebangkau. Mengingat tepat itu tidak sesuai dengan adat dan budaya kota kabupaten Sambas, sebagai kota Serambi Mekah. Bukan hanya itu, penyebaran penularan virus HIV juga bersumber dari sana. Namun kenyataannya hingga kini belum ada realisasinya.<br /><br />Sementara Ketua Komisi D, DPRD Kabupaten Sambas, Rusli M Yusuf berkata bertambahnya jumlah penderita HIV AIDS akibat dari pergaulan bebas. Saat ini, tanpa disadari, keberadaan tempat prostitusi yang terselubung sudah menjamur di berbagai daerah. Seperti tempat lokalisasi, kost, rumah kontrakan, yang semua itu luput dari perhatian. <br />“Sejauh ini, memang belum terihat upaya pemerintah daerah untuk menertibkan tepat tersebut, padahal pemda sudah punya Peraturan Daerah Tahun 2004, tentang pelarangan tempat hiburan, ” kata Rusli. <br />“Lagi- lagi Perda tadi hanya dijadikan tumpukan kertas, sampai kini implementasi belum terlihat,” tambahnya. <br />Dan jika ini dibiarkan, daerah Sambas akan menjadi basis terbesar penyebaran HIV AIDS, apalagi, dalam waktu dekat Border perbatasan di Kecamatan Aruk, Sajingan akan dibuka.<br /><br />Sebab, pembukaan ini akan berdampak semakin banyaknya warga pendatang, misalnya warga asing dengan tujuan kunjungan wisata, lalu menginap di hotel, kemudian berhubungan intim dengan bukan pasangan resminya. “Sementara kita sendiri tidak tahu bahwa ia sudah terkena virus HIV. Proses situ bisa saja terjadi,” ujar Rusli.<br />Karena itu dia minta agar pemerintah segera bertindak. <br />“ Harus ada sikap tegas pemerintah daerah dalam memerangi HIV AIDS,” kata Rusli. <br />Sebenarnya, banyak usaha yang dilakukan pemerintah Kabupaten Sambas untuk mencegah penularan HIV/ AIDS, salah satunya dengan membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Sambas, tahun 2007. Untuk anggaran juga sudah ada, baik dari APBD maupun UNEFA, per tahunnya bisa mencapai Rp 100 juta.<br />Namun, jika melihat data delapan tahun terakhir, jumlah penderita HIVAIDS terjadi peningkatan.<br />Meskipun KPA sudah terbentuk, ada permasalahan yang mesti diselesaikan.<br />Program Officer KPA Kabupaten Sambas , Eka, mengatakan, permasalahan menanggulangi tingkat penyebaran HIV adalah masih terkendala dengan faktor lingkungan. Dimana masyarakat Kabupaten Sambas belum sepenuhnya menerima keberadaan alat kontrasepsi, jenis kondom. Padahal kondom sendiri salah satu media efektif untuk menghindari kehamilan tidak direncanakan dan mengatasi penyebaran infeksi menular seksual, termasuk HIV.<br />“Saat kita hendak melakukan sosialisasi, banyak pro dan kontra di masyarakat, sehingga sosialisasi itu belum sepenuhnya berjalan,” ungkapnya.<br />Permasalahan lain adalah, melakukan sosialisasi pada masyarakat, tentang bahaya penularan HIV AIDS belum sepenuhnya menjangkau secara luas. Dalam dua tahun terakhir KPA sudah menjalankan jadwal terpadu, dimana KPA Kabupaten Sambas sudah berkoordinasi dengan LSM peduli AIDS maupun dengan lembaga-lembaga yang terjun menangani masalah penyakit tersebut. “Dan itu sudah berjalan dengan baik, “kata Eka.<br /><br />Untuk menyikapinya, KPA bekerjasama dengan VCT Puskesmas Pemangkat mengunakan sistem jemput bola, untuk melakukan sample darah setahun sekali, langsung ke titik penyebaran HIV, seperti lokaliasi dan tempat hiburan malam lainnya. Dengan begitu, bisa tahu, siapa yang terinfeksi HIV. <br />“Tentu identitasnya kita rahasiakan, “ kata Eka. <br />Lokaliasi merupakan salah satu penyebaran HIV/AIDS. Dan ketika lingkungan sudah terjangkit HIV/AIDS, akan semakin banyak generasi muda yang terinfeksi HIV, semakin banyak pula anak yang terlahir dengan HIV. Tentu akan menjadi ancaman terbesar terhadap pembangunan sosial ekonomi, stabilitas dan keamanan pada daerah yang sedang berkembang. Sudah saatnya pemerintah daerah mengambil sikap tegas. Menertibkan segala bentuk maksiat, termasuk lokalisasi. Menjaga kota Sambas, kota serambi mekah.aguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-3927749122890539693.post-71275400323043589872010-04-30T05:40:00.000-07:002010-04-30T05:41:44.139-07:00Banjir Sambas Bukan TakdirBanjir Sambas Bukan Takdir<br /><br /><br />Agus Wahyuni<br />Borneo Tribune, Sambas<br /><br />SUNGAI Sambas kebanjiran, tujuh hari tujuh malam, nak bejalan kepayahan.<br />Geratak Sabuk bepatahan, dilanggar lanting, dari sembarang. Urang sabuk kebabangan, nak nyebarang kepayahan.<br />Oooo ngape tang gaye.. jikube..jikube …<br />Gimane lah udek.. jak udah takdir Tuhan.<br />Kalimat di atas adalah sepenggal bait lagu "Sungai Sambas Kebanjiran" yang dirilis tahun 1960-an. Lagu itu menggambarkan kisah, dimana Geretak Sabuk, salah satu jembatan peninggalan jaman penjajahan Belanda putus diterjang banjir. Dan sekarang lagu ini sudah melekat di hati masyarakat Sambas. Bahkan sebelum Kabupaten Sambas memisahkan diri dari Kota Singkawang. Dan hingga kini lagu musibah itu masih melekat di Kabupaten Sambas. <br />Banjir mengakibatkan aktivitas lumpuh. Para pegawai dan karyawan harus berpisah dari kantornya. Nelayan menjadi jauh dari kapalnya. Pelaku usaha kesulitan menjalankan usahanya. Begitu juga dengan nasib petani, harus rela berpisah dari lahannya. <br />Jika ditanya perasaan mereka karena banjir, yang ada tentu cemas, gundah, gelisah. Semua bercampur. Terutama bagi petani, berladang satu-satunya keterampilan yang dimiliki. Dengan berladang ia menghidupkan anak dan istrinya. Dengan kedatangan banjir pula, petani harus mengungsi. <br />Itulah yang dialami Hanafi, korban banjir, warga Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau, selama dipengungsian, akhir Desember lalu.<br />Ia terpaksa mengungsi bersama kelurganya dan 78 kepala keluarga (KK) lainnya, di Balai Pelatihan Pertanian, Desa Sungai Daun, Kecamatan Selakau. Waktu itu ketinggian air mencapai satu meter dari lantai rumah. Puluhan anggota Tagana datang dengan perahu motor. Dan mengangkut ratusan warga. Seketika itu desanya menjadi sepi. <br />Harta benda ditinggalkan. Rumahnya tergenang. Sementara padi sawah baru saja ia semai seluas dua borong dibiarkan tenggelam. "Gagal panen sudah pasti," cerita Hanafi.<br />Hanafi merupakan satu dari sekian petani padi asal Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau yang sudah belasan tahun menggarap lahan pertaniannya. Setiap mamasuki akhir tahun itu juga, ia selalu berada di pengungsian, jika air sudah naik ke permukaan rumahnya, ketinggian mencapai satu meter. <br />Selama di pengungsian, setiap harinya harus menjalankan aktivitas gotong royong. Ada yang membelah kayu untuk memasak. Mencuci beras. Memotong sayuran. Menyiangi ikan. Bahkan beberapa ibu-ibu sedang menyapu halaman.<br />Sementara anak-anak yang ikut orang tuanya mengungsi. Rata-rata masih duduk di bangku SD dan SMP. Mereka hanya bisa bermain bersama beberapa anak lain di seputar halaman. Beberapa dari mereka memperhatikan para ibu dan bapak mereka saling membagi tugas. <br />"Kebiasaan itu sudah dimaklumi warga yang mengungsi," kata Hanafi. Sebagai warga korban banjir yang menumpang. <br />Memang, disana untuk luas penampungan sangat cukup. Ada tiga barak yang tersedia. Masing-masing barak bisa menampung tiga ratusan orang. Jika menjelang siang, suasana terlihat ramai. "Maklum saja, tidak sedikit anak-anak ikut mengungsi. Teriakan, tangisan dan candanya ikut menggema. Lengkaplah sudah suasana pengungsian, kata Ruslan, juga korban banjir yang ikut mengungsi.<br />"Disini warga yang mengungsi rata-rata berwajah lama," kata Ruslan.<br />Tanpa disuruh pun, mereka sudah bisa menempatkan posisinya untuk membagi tugas. Karena dari pengalaman sebelumnya, paling cepat lima belas hari sampai sebulan.<br />Bagi Ruslan, banjir melanda Desa Dayung Bersambut berbeda dengan banjir di daerah lain, karena banjir ini, banjir kiriman. Sementara daerah lain karena disebabkan air pasang laut dan curah hujan tinggi. <br />Di desa kami hanya ada satu aliran sungai, yang menghubungkan langsung dengan Kabupaten Bengkayang. Sementara desa kami berada ditengahnya. Sungai tadi memang sudah dibangun dua pintu air, setinggi lima meter, yang ditempatkan di perbatasan Bengkayang dan kecamatan Selakau.<br /><br />Nah, mengingat pintu airnya dekat dengan Kabupaten Bengkayang yang merupakan dataran tinggi, mungkin pintu air disana sengaja dibuka. Untuk mengurang debit air disana yang juga ikut terendam. Sehingga aliran air tadi sampai di desa kami yang berada ditengahnya. “Butuh waktu lama menantikan air kembali surut,” kata Ruslan.<br /><br />Setelah itu, air kembali surut , tepatnya (30/12), baik Hanafi maupun Ruslan beserta warga lainnya pulang dari tempat pengungsian. Kembali ke rumah. Seperti biasa, sesampainya di rumah, mereka membersihkan seisinya dari lumpur yang menempel, di dinding dan lantai, sisa banjir. Lemari kayunya lapuk dan mengelupas. Yang tersisa hanya barang-barang rusak yang terendam air lumpur berhari-hari, kata Hanafi. <br /><br />Syukurlah, pulang dari pengungsian, Hanafi dibekali 5 kilo beras dan satu dus mie instan hasil pembagian dari Pemerintah Sambas. Jadi pulang ke rumah masih bisa makan bersama keluarga.<br /><br />”Sudah dua minggu saya tidak berladang, pastinya pendapatan tidak ada.” Memang penghasilan berladang tidaklah cukup untuk kebutuhan sehari- hari. Istrinya bernama Nurmala hanyalah ibu rumah tangga saja. Sementara kedua anaknya baru duduk <br />Di bangkus SMP dan SD.<br /><br />Sebagai penghasilan sampingan, saya mencari kayu cerucuk di hutan. Memakan perjalanan tiga hingga empat kilo. Satu hari ia bisa dapat lima hingga sepuluh batang. Untuk satu batangnya ia jual di penampungan seharga Rp 2.500 per batang. <br />“Pekerjaan sampingan itu juga diikuti petani disini.” Untuk mencukupi kebutuhan dapur dan ketiga anaknya yang masih sekolah.<br /><br />Jika banjir sudah datang, aktvitas pun lumpuh total. Tidak bisa mencari kayu di hutan dan tidak bisa berangkat keladang. Sambil menunggu air naik, yang bisa dilakukan hanya memancing ikan di sungai terdekat. Itu juga diikuti warga lain. “ Lumayan satu dua kilo bisa ia dapat. Ikan betok dan ikan gabus.<br /><br />Setelah itu, ia dipertemukan lagi dengan sawahnya seminggu lebih ia tinggalkan. Lalu menyemai kembali padi yang mati. Untuk bibit, ia dan 78 KK lainnya mendapat bantuan dari kecamatan untuk menanam kembali padi yang rusak akibat banjir. Baru saja disemai, memasuki, Senin (5/1), hujan kembali mengguyur, hampir merata di 19 kecamatan, kabupaten Sambas. Itu berlangsung tiga tanpa berhenti. Hampir semua warga menduga. “ Banjir datang lagi.” Dan itu terbukti adanya, sawahnya kembali tergenang, padi puso tak dapat dihindari.<br />“Jika sudah begini, sumber penghasilan kembali akan lenyap,” tuturnya.<br /><br /><br />Puncaknya, Jumat (16/1), Tiga ratus tujuh puluh satu jiwa korban banjir, Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau dievakuasi. Dan aktivitas pertanian kembali lumpuh total. 998 rumah di kecamatan Selakau terendam. dengan ketinggian air rata-rata 10 sampai dengan 30 centimeter dari lantai rumah. Ini melanda di beberapa titik titik desa, diantaranya, Semelagi Besar, Sui Daun, Twi Mentibar dan Bentunai.<br />Banjir juga melaus di kecamatan lainnya dengan tinggi air mencapai 200 centimeter dari lantai rumah.<br />Dari data Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Kabupaten Sambas per (15/1), Banjir paling parah melanda Kecamatan Teluk Keramat. Di kecamatan itu, 1.522 KK rumahnya terendam banjir hingga satu meter di 14 desa Desa yang tergenang meliputi Desa Kp Keramat, Mekar Sekuntum, Samustida, Teluk Kembang, Pipiteja, Lela, Tanjung Keracut, Sungai Kumpai, Tambatan, Sungai Baru, Teluk Kaseh, Berlimang, Sengawang, dan Puringan. <br />Di kecamatan Sebawi, sebanyak 911 jiwa dari 217 KK diungsikan diantaranya di SDN 05 Sebawi, SDN 04 Spuk Tanjung dan SDN3 Sungai Sebedang.<br />Sementara di kecamatan Salatiga, 354 KK dari lima desa terendam banjir, dan semuanya diungsikan di rumah keluarga dan di posko desa. Lima desa tadi diantaranya, Desa Salatiga, Sungai Toman, Serunai, Serumpun dan Parti Baru. Untuk kecamatan Pemangkat, desa Harapan sebanyak 95 orang dievakuasi di SMAN 1 Pemangkat. <br />Dan kecamatan yang mengalami banjir, diantaranya, Kecamatan Selakau, Semparuk, Sajad, Teluk Keramat, Sejangkung, Tebas, Salatiga, Jawai Selatan, Pemangkat, Galing, Sajingan Besar, Selakau Timur, Sambas, dan Jawai.<br /><br />Segalanya terjadi dengan mendadak. Bibit padi baru saja disemai. Tenaga dan keringat dipertaruhkan. Untuk menggarap ratusan meter persegi petak sawah. Tiba- tiba hujan deras mengguyur. Perlahan, air mulai naik. Dari satu centimeter hingga satu meter. Lalu menenggelamkan semuanya. Padi dan rezeki petani.<br /><br />Memang, jauh sebelumnya, tepatnya, Selasa (7/10) lalu. Sekretaris Daerah Kabupaten Sambas, Tufitriandi memprediksi bahwa Sambas memasuki akhir tahun akan mengalami bencana yang banjir yang cukup besar secara merata. <br /><br />Kemudian ia membuat surat edaran isinya berupa himbauan dan menyiagakan kembali Satlak BP. Namun himbauan tadi memang realistis sekaligus menunjukan ketidakmampuan dan rasa frustasi pejabat daerah dalam menanggulangi banjir.<br /><br /><br /><br />Bencana banjir yang terjadi di sejumlah kecamatan tersebut, telah menyebabkan para petani mengalami kerugian yang cukup besar.<br />“Rata- rata kerugian tiap petani akibat banjir bisa mencapai Rp 5-7 jutaan,” kata Armawi, Kepala Desa, Gayung Bersambut.<br /><br />Ia mencontohkan, rata- rata petani di desanya memiliki sawah seluas 200 meter persegi. Dan bisa menghasilkan setengah ton padi. Jika dihitung satu kilo Rp 2400-2500, berkisar 5 jutaan bisa petani dapatkan. Hasil panen itu bisa dilakukan setahun dua kali. Mengingat setiap akhir tahun selalu banjir, jadi petani hanya bisa menikmati setahun sekali. <br /><br />Sementara data dari Kasi Tanaman Pangan dan Holtikultura, Dinas Pertanian Sambas, Nazimi, tahun 2008 dilaporkan, akibat banjir yang melanda sebanyak 3069 hektar padi gagal panen karena puso. Kerugian petani terutama pada biaya tanam, pupuk dan benih yang telah dikeluarkan. <br /><br />Jika dihitung satu hektare saja, untuk biaya sarana produksi pertanian sekali musim tanam termasuk keuntungan yang didapat sebesar Rp10 juta lebih, maka total kerugian petani kita akibat banjir mencapai Rp 30 miliar.” Dengan asumsi, 1 hektar bisa menghasilkan 3,5 ton dikalikan satu kilo padi seharga Rp 2.400-2.500. “ Itu belum termasuk biaya produksi, seperti pupuk dan bibit padi, kata Nazaimi.<br /><br />Untuk tanaman lainnya, yakni jeruk, per petani juga mengalami kerugian hingga Rp 6 juta akibat banjir, karena buah yang siap panen mengalami keguguran akibat terlalu lama terendam air. Dengan asumsi hasil panen jeruk 50 keranjang, satu keranjang 40 kilogram atau 2.000 kilogram dikali Rp 3.000 perkilonya, kata Fahmi, kepala Desa Sempalai, Kecamatan Tebas.<br /><br />Sementara untuk perkebunan, dari data Satlak PB, per (15/1), di Kecamatan Teluk Kramat, seluas 4.073 hektar kebun karet milik rakyat, sementara ini tidak bisa ditoreh, karena terendam banjir. <br /><br />Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas, Ateng Hartono mengatakan, tahun 2006 saja, luas panen padi sebesar 75.109 Ha, pada tahun 2007 meningkat sebesar 4,53 persen, dimana luasnya menjadi 78.515 Ha.<br /><br />Sementara untuk produktivitas tanaman padi, tahun 2006 sebesar 31 ku/ha, sedangkan tahun 2007 meningkat menjadi 32,43 ku/ha.<br /><br />Dan untuk tanaman padi sawah memberi kontribusi terbesar terhadap produksi padi di Kabupaten Sambas. Berdasarkan data 2007, dari total produksi padi yang mencapai 254.610 ton, sekitar 96,98 persen berasal dari padi sawah dan hanya 3,02 persen dari padi ladang.<br /><br />Dan untuk luas areal jeruk Siam Sambas, saat ini mencapai 6.928,07 hektar. Areal tanaman yang sudah berproduksi mencapai 3.389, 39 Ha dengan produksi mencapai 13.595, 17 ton. Pada tanaman yang telah berumur antara 3-4 tahun, rata- rata produktivitas tanaman berkisar 10 kg-15 kg per pohon. <br /><br /><br />Semakin terpuruknya petani padi di kabupaten Sambas yang sering dilanda banjir, Ketua Ikatan Sarjana Pertanian, Misni Safari berkata, pemerintah Kabupaten Sambas perlu menciptakan sistem pertanian modern, karena sistem bercocok tanam yang ada sekarang dinilai kurang dalam peningkatan produktivitas hasil pertanian, khususnya padi.<br /><br />Sistem pertanian modern yang dimaksud, dengan menerapkan jenis pertanian yang disesuaikan dengan iklim. Karena pertanian yang ada masih tergantung dengan iklim.<br /><br />Ia mencontohkan, banyak petani saat menyemai padi, memasuki akhir tahun selalu kandas karena padinya terendam air. Itu disebabkan petani kita tidak tahu kapan banjir datang. Karena banjir tidak bisa diprediksi. Dan diperparah lagi, baik Dinas Pertanian maupun penyuluh pertanian seakan berdiam diri tanpa ada suatu langkah yang nyata untuk petani. “Kapan waktu harus menyemai dan kapan waktu panen.”<br /><br />Ia mencontohkan seperti negara Jepang, dimana petaninya menanam jenis tanaman yang disesuaikan dengan iklim, seperti daerah yang beriklim salju, maupun tropis. Dan pemerintah Jepang sendiri sudah memetakan daerah pertanian yang dimaksud. <br /><br />Untuk Pemerintah Kabupaten Sambas perlu meniru seperti pertanian Jepang. Selalu memetakan daerah, mana yang cocok lahan pertanian dan mana yang cocok untuk lahan perkebunan.<br /><br />Itu artinya, jika banjir sudah menjadi agenda tahunan, pemerintah daerah harus cepat tanggap dengan cara mengalihkan masih memungkinkan untuk pertanian atau tidak.<br /> <br /><br />Akibat Banjir, beberapa aktivitas produksi dunia usaha kecil menjadi terganggu mengakibatkan tidak bisa produksi dalam beberapa hari, salah satunya, Anen, pemilik kengrajin keranjang bambu, desa Sempalai, kecamatan Tebas.<br /><br />Sejak (5/1), hujan mengguyur daerahnya, mengakibatkan tempat produksinya mengalami genangan air, sehingga empat hari usahanya tidak berproduksi. Sehingga ia alami kerugian berkisar Rp 5 jutaan. Asumsinya, dalam sehari ia memproduksi 150 keranjang dan ia jual dengan harga Rp 15.000. Hasil tadi jika dikalikan tiga hari saja alami banjir. Kerugian tadi belum ditambah dengan pengrajin keranjang bambu lainnya. Untuk desa Sempalai sendiri , kurang lebih ada 20 usaha serupa seperti Anen.<br /><br />Belum lagi kerugian kendaraan bermotor alami mogok akibat beberapa ruas jalan terendam hingga ketingian air mencapai 50 centimeter.<br />Toto, pria yang bekerja di bengkel “Murni Motor “Jalan Gusti Hamzah, Sambas, mengatakan, dalam sehari, setidaknya 40 motor singgah di bengkelnya. Penyakit sepeda motor tersebut sama, mogok gara-gara banjir. <br />“Kalau hari biasa, hanya 10 sampai 15 motor saja yang datang ke sini, tapi sekarang jauh lebih banyak,” ungkap Toto.<br />Kebanyakan motor yang mogok itu, gara-gara nekat menembus banjir. Dan rata-rata sepeda motor yang mogok karena busi, karburator, dan saringan udara yang terendam air. Untuk tarif rata- rata dikenakan pada pemiik kendaraan berkisar Rp 10 ribu sampai 30 ribu. Itu belum termasuk jumlah bengkel lainnya yang mengalami ketiban rezeki, lagi- lagi akibat banjir.<br />Itu belum ditambah dengan berapa kerugian bagi pelaku usaha budidaya udang dan bandeng dalam tambak, kemungkinan tambaknya jebol akibat banjir, meskipun belum ada data resmi dari Dinas Perikanan Sambas. <br />Di kecamatan Selakau misalnya, jumlah areal budidaya tambak mencapai 352,8 hektar dengan estimasi produksi 105,84 ton per tahunnya. Pemangkat sekitar 1.219,0 hektar dan estimasinya mencapai 365,70 ton pertahun, di Jawai, luas potensi 1.300,3 hektar, estimasi produksi mencapai 524,49 ton pertahun, Teluk Keramat luas 500,0 hektar, estimasi produksi 150,00 ton pertahun, dan Paloh luas potensi mencapai 2.637,5 dengan esetimasi produksi tiap tahunnya mencapai 791,25 ton pertahun.<br />Banjir juga mengakibatkan kerugian non fisik, salah satunya terjadi penambahan jumlah pengangguran di Kabupaten Sambas. Kepala BPS Sambas, Ateng menyebutkan, sebagian besar, yakni 71,43 persen atau 255.241 orang penduduk usia 15 tahun ke atas di kabupaten Sambas bekerja di sektor pertanian. Jika banjir kali ini melanda hampir merata di sejumlah kecamatan kabupaten Sambas, kurang lebih 255.141 sudah bisa dipastikan menganggur. <br /><br />Bagi Ateng, sektor pertanian, selain memberi pangsa pasar tertinggi terhadap prekonomian kabupaten Sambas, juga memberi kontribusi terbanyak penyerapan tenaga kerja.<br /><br />Hasil Sakernas, kondisi Agustus 2007, menunjukkan sebagian besar pekerja yaitu 32,37 persen status pekerjaannya adalah sebagai pekerja tak dibayar. Sekitar 29,85 persen merupakan pekerja dengan status berusaha dibantu buruh tidak tetap. Sekitar 16,98 persen status berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan sekitar 15,31 persen status pekerjaannya sebagai buruh, karyawan dan pegawai.<br /><br />Itu artinya Tingkat Produktif Relatif (TPR) yakni perbandingan antara kontribusi sektor pertaian terhadapap prekonomian dengan kontribusi tenaga kerja terhadap total tenaga kerja sebesar 43,10 persen. “ Angka yang cukup besar,” kata Ateng.<br /><br />Jika ditanya berapa keseluruhan total kerugian akibat banjir, ternyata Pemerintah Daerah tidak ada yang bisa menjawab, meskipun banjir yang melanda bukan yang pertama kali.<br /> <br />Buktinya, pada saat saya bertanya pada wakil Bupati Kabupaten Sambas, Juliarti yang juga Ketua Satlak PB Sambas tak bisa menjawab, berapa sebenarnya total kerugian akibat banjir. <br /><br />Hal senada juga dilontarkan Kepala Badan Perencanaan Daerah Sambas, Sanusi, ia hanya berkata, “Bapeda tidak punya data total kerugian banjir tahun 2009 dan tahun sebelumnya. “ Coba tanyakan pada Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi.<br /><br />Lalu saya tanyakan pada kepala Dinas Nakertransos, Abdul Gafar, dan ia mengatakan, “Coba tanyakan pada kasi sosial, Muhaimin.” Jawabannya juga sama dengan Bapeda. Pihaknya tidak pernah mendata kerugian banjir sebelumnya. Yang dilakukan hanya berkoordinasi penanggulangan dan memberikan bantuan.<br /><br />Begitu juga saat saya konfirmasi kepada Dinas Pekerjaan Umum, Kasi Sumber Daya Air dan laut, Abdul Latif, lagi- lagi jawabannya sama, tidak penah melakukan pendataan kerusakan infrastruktur akibat banjir.<br /><br />Belum sampai disitu, saya kemudian bertanya kembali pada Dinas Pertanian, dari pengakuan Kasi Tanaman Pangan dan Holtikultura, Nazimi, dia hanya punya data luas areal lahan pertanian yang terendam tahun 2008, yakni 3069 hektar padi alami puso.”<br />Sementara tahun- tahun sebelumnya tidak pernah didata.<br /> <br /><br />Hal senada juga dikatakan kepala Badan Pusat Statistik Sambas, Ateng Hartono, instansinya belum pernah mendata berapa kerugian sebenarnya, setiap banjir melanda kabupaten Sambas.<br /><br />Namun ia berkilah, sebenarnya kerugian banjir bisa ditafsir dengan menggunakan tabel Input Output. Lama penghitungannya bisa dilihat dalam seminggu. <br /><br />Namun untuk di Sambas sendiri, mutu SDM BPS masih rendah. “ Kita belum mampu untuk kesana, “ kata Ateng. <br /><br />Dan terakhir, jawaban yang sama juga terlontar dari pengurus Satuan Penangulangan Bencana (Satlak PB) Kabupaten Sambas, Erwin, katanya data sebagian kerugian banjir sudah terbakar pada waktu sekretariat masih di kantor bupati yang terbakar beberapa tahun silam.<br /><br />Senin (12/1) lalu, Bupati Sambas, Burhanuddin A Rasyid memantau lokasi terendam banjir. Ia tidak sendirian, beberapa instansi terkait juga ikut mendampingi. Sebut saja, Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan. Dengan menggunakan 3 kapal motor. Rombongan bertolak dari rumah Bupati Sambas menuju Desa Jambu dan beberapa desa di Kecamatan Sajad, Sejangkung, dan Kecamatan Tebas yang merupakan titik banjir.<br /><br />Sebuah pemandangan biasa, seorang pejabat mengunjungi warganya yang tertimpa musibah. Dan pemandangan itu bukanlah yang pertama kali. “Setiap ada banjir, selalu ada kujungan dari pejabat.”<br /><br />Namun yang mengherankan, saat ditanya berapa total kerugian banjir untuk Kabupaten Sambas. “ Tidak ada yang bisa menjawabnya.” <br /><br />Jadi, jelaslah sudah, kunjungan yang dilakukan pejabat hanya bersifat seremonial saja. buku dan balpoin memang dibawa, tapi tak pernah untuk dicatat. <br />“Berapa kerugian banjir.” Pertanyaan yang gampang- gampang susah, Bukan?<br /><br />Aktivis lingkungan, juga sebagai Direktur Lembaga Pengkajian Arus Informasi Regional, Deman Huri menyimpulkan, sebab banjir yang melanda Kabupaten Sambas dan daerah lain karena kerusakan hutan.<br /><br />Apabila kita melihat lebih seksama, banjir bukan semata-mata proses alamiah karena meningkatnya intensitas hujan, tetapi bencana banjir karena semakin meningkatnya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan tidak terkendali. Banjir yang terjadi merupakan dampak atas kebijakan pembangunan yang belum memberikan sentuhan positif terhadap tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam.<br /><br />Sekjen Serikat Tani Serumpun Damai, Syahrial berkata, Pemda tidah pernah mau belajar, karena banjir ini telah terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun, maraknya penerbitan izin tambang dan konversi hutan menjadi perkebunan sawit skala besar menjadi penyebab utama bencana banjir ini.<br /><br />Selain itu, rendahnya tingkat kemampuan hutan sebagai kawasan penyerap air, penyimpan air, dan mendistribusikannya secara alamiah menyebabkan banjir tersebut. Kondisi hutan yang semakin rusak akibat adanya penghancuran sumber daya alam yang menjadi penyebab semua ini. <br /><br />Jadi, jelaslah bahwa kesalahan dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kemampuan daya dukung atas lingkungan merupakan penyebab utama dari bencana banjir tersebut. Juga jelas terlihat bahwa eksploitasi sumber daya alam tidak pernah memperhatikan aspek ekologis serta sosial.<br /><br />Kembai ke Deman, kita melihat hutan selalu dipadang dari kacamata draiven market (dorongan pasar), sehingga masyarakat dan pemerintah berlomba-lomba mengekplotasi hutan secara besar-besaran tanpa memerhatikan kelestarian dan nasib generasi akan datang.<br /><br />“Sesuai dengan teori ekonomi, mengeluarkan modal sekecil-sekecilnya dan mengambil untung sebesar-besarnya.” Begitu juga dalam pengelolaan di sektor kehutanan. “Para pengekplotasi hutan enggan mengembalikan hutan ke bentuk semula, karena akan mengeluarkan modal yang besar,” katanya.<br /><br />Ketika melihat sektor kehutanan hanya dari sisi draiven market, maka menyebabkan konversi lahan berlebihan, misalnya mengubah lahan hutan menjadi perkebunan dan pertambangan seperti yang dilakukan oleh perusahaan di sektor perkebunan di Kalbar.<br /><br />Salah satu indikasi, Deman menyebutkan, karena saat ini selalu adanya benturan kepentingan, antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Benturan kepentingan ini menyebabkan terjadinya mismanajemen dalam penggelolaan sumber daya hutan. Ia mencontohkan, pemerintah pusat memplot kawasan hutan A menjadi kawasan konservasi, sementara pemerintah provinsi dan kabupaten memplot kawasan hutan tersebut dijadikan kawasan perkebunan, sehingga konflik berkepanjang antara pemerintah pusat dan daerah ini juga ambil andil dalam perusakan hutan.<br /><br /> Yang jelas kesemua faktor tersebut telah menyebabkan kerusakan di sektor kehutanan, sehingga terjadi prahara di sektor tersebut. Yang lebih dikenal dengan prahara ”mahkota hijau”, sektor kehutanan yang dahulu kala menjadi salah satu sektor dominan dalam memenuhi kebutuhan rakyat di sekitar hutan dan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan devisa negara. Namun sekarang, sebaliknya setelah terjadi prahara di sektor kehutanan, bencana akan selalu menghantui republik dan daerah ini. Pemerintah harus menanggung biaya sosial dan ekologis yang tidak terhitung nilainya.<br /><br /> Jika ini tidak ditanggapi dengan serius, bencana akan selalu menghantui daerah ini. Seperti, banjir, kemiskinan, musnahnya ribuan keanekaragaman hayati, kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan berbagai bencana lainya. <br /><br />“Bencana yang terjadi saat ini tidak akan hanya dirasakan oleh generasi saat ini saja, tetapi bencana ini akan berlanjut dan dirasakan oleh anak cucu kita. Apabila prahara Mahkota Hijau terjadi terus menerus dan tidak diatasi secara serius, ungkap Deman.<br /><br />Kasi Pemantauan dan Pengawasan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sambas, Jimmi membenarkan, hutan memberikan pengaruh pada sumber alam lain melalui tiga faktor yang berhubungan, yakni iklim, tanah dan pengadaan air di berbagai wilyah. Apabila hutan ditebang atau rusak maka pengaruh hutan dan belukar terhadap iklim sangat terasa, misalnya, pohon- pohon semakin tidak mampu mengurangi kecepatan angin sehingga akan mengurangi penguapan air dari tumbuhan. Hutan juga berpengaruh terhadap struktur tanah, erosi, dan pengadaan air di lereng- lerang. Secara umum, adanya hutan dapat mengurangi banjir, karena hutan mampu menyimpan dan menahan air dalam tanah, mempertahankannya serta memperbaiki permeabilitas tanah dan ruang pori-pori dalam tanah. Akibat pengundulan hutan oleh penebangan kayu bertanggung jawab atas kira- kira 30 persen banjir yang terjadi.<br /><br />Ini bisa dilihat daerah perbatasan Kabupaten Sambas, dimana kondisi penutupan lahan di wilayah itu menunjukkan trend penurunan dari tahun ke tahun. Akselerasi penurunan kualitas ini semakin meningkat sejak diberlakukannya otonomi daerah yang memberikan kesempatan luas pada masyarakat untuk mengelola lahan secara langsung, terutama pada kawasan hutan. Penurunan kualitas penutupan lahan pada umumnya berubah menjadi vegetasi kerapatan sedang- rendah (hutan sekunder), semak belukar, hingga lahan terbuka yang menjadi indikasi terbentuknya lahan kritis.<br /><br />Ia menambahkan, faktor lain penyebab banjir, berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sambas tahun 2007. Berdasarkan kualifikasi iklim, wilayah kabupaten Sambas dikenal sebagai daerah penghujan dengan intensitas hujan di atas 2.000 mm pertahun. Pada tahun 2003 saja, rata- rata jumlah hari hujan bulanan adalah 16 hari dengan rata-rata curah hujan mencapai 358,17 mm perbulan. Intensitas hujan yang cukup tinggi ini, terutama dipengaruhi oleh daerahnya yang berhutan tropis dan disertai dengan kelembaban udara yang cukup tinggi, yakni berkisar antara 86-88 persen.<br /> <br />Kemudian, berasarkan topologi, Kabupaten Sambas pada umumnya landai hingga datar. Dilihat dari ketinggian tanah dan permukaan laut. Misalnya saja ketinggian antara 0-7 meter, terdapat di kecamatan Sejangkung, Sambas, Tebas, Selakau, Pemangkat , Jawai, Teluk Keramat, dan Paloh.<br /><br />Dan tak kalah pentingnya penyebab banjir di Kabupaten Sambas adalah akibat pendangkalan muara sungai bagian hilir dari sebuah sungai, ini disebabkan kerusakan bibir pantai yang berhubungan dengan laut sehingga jika terjadi pasang surut air, sirkulasi aliran air menjadi terhambat. <br /><br />Semestinya Pemda Sambas harus berkaca dari pengalaman. Banjir bukanlah musibah yang tidak ada obat penangkalnya. Menerjunkan ratusan tenaga relawan setiap tahunnya memasuki musim banjir tidaklah cukup mengobati penderitaan masyarakat yang menjadi korban. Meskipun ratusan bantuan logistik, baik itu sembako maupun obat- obatan didatangkan. Harus ada sebuah kebijakan untuk memerangi banjir dimulai dari sekarang, meskipun dana itu tidak sebanding dengan kerugian akibat banjir, kerugian tiap tahunnya mencapai ratusan miliyar lebih. <br /><br />Menanggapi hal itu, Kepala Bidang Pengairan Sungai, Laut dan Air Baku, Dinas Kimraswil Kabupaten Sambas, Abdul Latif mengtakan, Pemda bukanlah tanpa usaha untuk memerangi banjir, salah satunya dengan menganggarkan dana untuk normalisai sungai. Tahun 2008 saja, alokasi dana yang digunakan sebesar sebesar Rp 21.828.027.000, dengan panjang sungai mencapai 470.910 meter di sembilan belas kecamatan. Normalisasi sungai ini berdasaarkan permintaan dari masyarakat melalui Musrembang di tiap desa. <br /><br />Sementara Asbeni, Ketua Komisi B, DPRD Sambas, menilai, nomalisasi sungai tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi banjir yang terjadi, karena normalisasi hanya bersifat formalitas, artinya tidak melakukan kajian secara mendalam, titik-titik mana saja sungai yang mengalami pendangkalan. <br /><br />Ia menyarankan agar pemerintah sudah saatnya membuat program kanalisasi yakni dengan membuat aliran air yang baru, dimana berfungsi untuk mengeluarkan air ke laut bagi daerah yang terendam banjir, seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta. “Ini lebih efektif, meskipun harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit,” katanya lagi.aguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3927749122890539693.post-31296277417614519562010-04-30T05:21:00.000-07:002010-04-30T05:23:41.670-07:00Sengketa Batas Berujung KonflikSengketa Batas Berujung Konflik<br /><br />Agus Wahyuni<br />Borneo Tribune, Sambas<br />Ombak laut terlihat tenang. Cuaca cerah dan terang. Nelayan menyambutnya dengan mempersiapkan peralatan. Ada perahu, jaring, dan berbagai peralatan melaut dan persediaan bahan bakar. Begitu juga Ardi (46) dan anaknya, Endo (23). Sudah belasan tahun, keduanya mengantungkan hidup pada laut. Mereka menggunakan kapal motor sepanjang 15 meter dengan lebar dua meter. Alat tangkap itu diberi nama “Kapal Novella”. Mereka merupakan nelayan lamparan dasar, asal Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas. Lamparan dasar adalah jenis pukat harimau yang sudah dimodifikasi. <br /><br />Sebagai nelayan, mereka tak punya jadwal libur. Libur dilakukan bila cuaca tak bersahabat. Hari itu, Minggu, 10 Agustus 2008, seperti biasanya, mereka melaut. Sudah sedari pagi, keduanya mengelilingi laut Pemangkat. Namun, hasilnya belum maksimal. Keduanya terus berputar dan menjelajah. Tanpa sengaja, kapal motor meninggalkan perairan Pemangkat, menuju perairan di Kecamatan Jawai. Wilayah ini jaraknya tiga mil dari garis pantai Jawai. <br /><br />Waktu beranjak naik. Matahari terletak di sepengalah kepala. Jarum jam menunjuk pukul 08.00 Wib. Dari jarak yang terlihat mata, sebuah perahu motor mendekat. Di perahu itu, ada tiga orang. Postur badannya kekar. Setelah mendekat, ketiga awak perahu motor tersebut, merapatkan perahu motornya. Salah satu awak perahu motor bernama Dollah.<br /><br />Terjadi dialog. Ketiganya minta ikan hasil tangkapan Ardi dan Endo. Ardi memberikan beberapa ikan pada ketiga awak kapal tersebut. Namun, setelah diberi, ketiganya bukannya menerima, malah menyandera Ardi dan Endo. Akibatnya, terjadi perkelahian. Tiga lawan dua. Akibat kalah jumlah, akhirnya Ardi dan Endo tak berkutik. <br /><br />Peristiwa tak berhenti di situ. Ardi dan Endo dijeburkan ke laut. Kapal miliknya dibawa lari ketiga nelayan tadi. Keduanya menyelamatkan diri dengan berenang dan mengapung di laut. <br /><br />“Syukurlah, pada saat kami mengapung di laut, beberapa menit, ada sebuah kapal nelayan tradisional yang kebetulan melintas langsung menolong,” kata Ardi. <br /><br />Selepas itu, nelayan yang menolong ini, membawa keduanya darat. Tepatnya di Desa Bakau, Kecamatan Jawai. Sesampainya di darat, naas menimpa keduanya. Ternyata ketiga awak kapal yang memukul dan mengambil kapal, juga berada di sana. Tak hanya bertiga, mereka bersama puluhan warga desa. <br /><br />Belum sempat Ardi dan Endo menarik napas lega, karena kelelahan di laut, puluhan warga di desa tersebut, menggiring keduanya ke kantor Balai Desa Bakau. Di sana, warga desa mendesak keduanya menyerahkan uang tebusan sebesar Rp 6 juta. Alasannya, kapal motor mereka melewati batas teritorial jalur mengambil ikan, yang semestinya bagi nelayan tradisional.<br /><br />Warga juga mengancam, jika uang tebusan tidak dibayar, keduanya tidak diperkenankan pulang. Perundingan berlangsung alot. Kepala desa dan kepolisian menyaksikan dan menengahi pertemuan. Merasa tidak ada uang sebanyak itu, Ardi minta kelonggaran waktu hingga besok hari. Tak terasa, waktu sudah beranjak petang atau pukul 17.00 Wib. Keduanya diperkenankan pulang. <br /><br />Senin (11/8), Ardi mendatangi balai Desa Bakau. Puluhan warga sudah menunggu kehadirannya. Merasa tidak aman, ia minta pertemuan tidak berlangsung di balai desa, melainkan di Polsek Jawai. Sesampainya di sana, puluhan warga juga mengikuti.<br /> <br />“Lagi-lagi, saya mendapat desakan,” kata Ardi. <br /><br />Ardi mengatakan pada warga, ia belum sanggup memberikan uang tersebut. Jumlah Rp 6 juta, terlalu besar. Apalagi bagi dirinya yang hanya nelayan. Suasana makin panas. Warga terus mendesak dan mulai berteriak-teriak. Kemudian, salah seorang polisi tiba-tiba ikut memutuskan denda, yakni sebesar Rp 4,5 juta. Merasa terus didesak, Ardi menandatangani perjanjian itu. Kepala desa dan polisi sebagai saksi. <br /><br />Apa boleh buat. Ardi pun tanda tangan. Apalagi kapal motor miliknya masih disandera. “Tapi, itu hanya sebatas tanda tangan saja, mengingat pada waktu itu, saya tidak membawa uang,” kata Ardi. <br /><br />Kasat Reskrim Polres Sambas, AKP Puji Prayitno dalam suatu kesempatan menanggapi permasalahan tersebut. “Kasus penangkapan kapal Ardi oleh Dollah, bisa diselesaikan dengan hukum kelautan,” kata Puji. Yakni, Undang-Undang Kelautan Nomor 31 Tahun 2004, tentang Penggunaan Alat Tangkap. Namun, UU belum diterapkan secara maksimal. <br /><br />Baginya, perjanjian antara nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001, tidak berlaku karena isi dari UU Kelautan sudah jelas bagi pengaturan pengembangan kelautan. Termasuk larangan menggunakan alat tangkap pukat trawl.<br /><br />Kedua belah pihak melapor ke polisi. Ardi dan Endi melaporkan bahwa, ketika melaut, tiba-tiba kapal mereka didatangi Dollah beserta temannya, dan dilakukan penyanderaan. Dollah juga membuat laporan yang sama pada Polsek Jawai. Dollah merasa dianiaya oleh Ardi dan Endo. <br /><br />Polisi melakukan penyidikan dari dua laporan tersebut. Hasilnya, polisi menemukan barang bukti berupa sebuah kapal dan alat tangkap trawl mini milik Ardi. Alat ini dianggap telah melanggar UU Kelautan No 31 Tahun 2004. <br /><br />Polisi juga melakukan penyidikan terhadap Dollah. Hasilnya, Dollah terbukti melakukan penyanderaan kapal, dengan niat memiliki kapal tersebut. <br /><br />“Keduanya bisa dikenakan sanksi, yakni Pasal 351 KUHP, Ayat (1) dan (4),“ kata Puji, “dalam hal ini, polisi bertugas sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Upaya hukum adalah jalan terakhir,” kata Puji. <br /><br />Kejadian itu berbuntut panjang. Sekumpulan nelayan yang mengatasnamakan nelayan lamparan dasar (Lamdas), Kecamatan Pemangkat, mendatangi gedung DPRD Kabupaten Sambas. Ketua DPRD Kabupaten Sambas, Uray Barudin Idris, langsung menyambut rombongan ini. Selain itu, ada Ferry Solihin Imran, Ketua Komisi A, membidangi Hukum dan Pemerintahan. Rusli M. Yusuf, Ketua Komisi D, membidangi Kesejahteraan Rakyat, dan anggota Komisi Pembangunan, Suparto. Sementara perwakilan nelayan Lamdas, Heri dan Junjung, termasuk korban penyanderaan, Ardi dan Endo.<br /><br />Nelayan ingin ada jalan keluar, berkaitan dengan kapal motor milik Ardi. Mereka juga minta, pelaku penyanderaan diusut tuntas. <br /><br />Ketua Komisi D, DPRD Kabupaten Sambas, Rusli M Yusuf berkata, kasus nelayan Lamdas ini ibarat mendirikan pabrik rokok. “Disatu sisi merusak kesehatan, disisi lain banyak menyedot tenaga kerja,” kata Rusli.<br /><br />Begitu juga dengan nelayan Lamdas. Menangkap ikan dengan trawl dapat merusak ekosistem laut di sekitarnya. Sementara disisi lain, mereka juga butuh makan bagi anak dan keluarga, kata Rusli.<br /><br />Untuk itu, perlu suatu kebijakan ulang yang mengatur bagi kepentingan nelayan tradisional maupun Lamdas. Agar, keduanya sama-sama bisa mencari ikan dengan tenang, kata Rusli.<br /><br />Pemkab Sambas juga mesti melakukan pembinaan terhadap nelayan. Misalnya, menyediakan alat tangkap baru yang tidak merusak ekosistem laut. Juga memberikan pinjaman kredit bagi nelayan tradisional, dalam mengembangkan usaha tangkapannya. <br /><br />Junjung, Ketua Perwakilan Lamdas menyatakan, kejadian penyanderaan kapal motor Lamdas di Jawai, sudah terjadi tiga kali. Pelakunya orang yang sama. Namun, sampai hari ini, tidak diusut tuntas pihak kepolisian. “Jika ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan, kasus serupa kembali terjadi,” kata Junjung. <br /><br />Ia menyesalkan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DPK) Kabupaten Sambas, tidak memberi tanggapan terhadap kejadian yang sudah berlangsung lama ini. Junjung menganggap, DKP sampai saat ini, lebih pengacu pada perjanjian nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001. <br /><br />Dalam salah satu pasal dan isi perjanjian, membagi daerah penangkapan ikan yang dilakukan nelayan menggunakan trawl atau dikenal pukat harimau, dengan nelayan kecil yang beroperasi di laut Kabupaten Sambas sebelah utara. Atau, dengan Pulau Pontianak, Kecamatan Jawai, dengan garis vertikal ke arah laut lepas. Dan, sebelah selatan dengan batas wilayah Kabupaten Sambas dengan Kabupaten Bengkayang dan Singkawang Kota, dengan arah vertikal laut lepas.<br /><br />Menurutnya, jika mengacu pada perjanjian ini, tentu akan mengekang keberadaan nelayan mencari ikan. Artinya, ada pengkaplingan daerah di laut. Hal itu, tentu saja bertolakbelakang dengan Undang-Undang, bahwa laut milik masyarakat. Siapapun boleh mengangkap ikan di laut.<br /><br />Kepala Bidang Perlindungan dan Pengawasan, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Sambas, Slamet Raharjo menanggapi hal itu. Kesepakatan antara nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001, sebenarnya kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk membagi perairan dan penangkapan ikan. <br /><br />Nelayan Lamdas mengambil ikan dengan menggunakan trawl di perairan nelayan tradisional. Nah, disisi lain, nelayan tradisional menjaga ekosistem laut di teritorial tempat mereka menangkap ikan. <br /><br />Pada waktu itu, DKP memfasilitasi pertemuan. Sehingga terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Tujuannya, membagi daerah teritorial penangkapan. Agar, keberadaan nelayan tradisional, tidak terisolir dengan nelayan besar. Apalagi nelayan tradisional hanya bisa mencari ikan dengan jarak satu mil dari garis pantai. Lewat dari itu, sudah bagian dari nelayan Lamdas.<br /> <br />“Kejadian itu sudah cukup lama, dan sudah kita anggap selesai. Namun, siapa sangka peristiwa itu akhirnya terjadi lagi,” kata Slamet. <br /><br />Agar kasus tidak terulang, nelayan Lamdas maupun tradisional harus memiliki tenggang rasa, sesuai dengan isi kesepakatan yang ada. Apalagi, jalur tangkap nelayan tersebut, sudah diatur sesuai dengan Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, tentang Penggunaan Alat Tangkap. Ia yakin, jika peraturan tersebut disepakati dan dijalankan, kasus serupa tidak akan terulang.<br /><br />DKP tidak menutup mata bahwa, masih banyak nelayan Lamdas menggunakan alat tangkap yang dilarang. Yaitu, menggunakan trawl atau pukat harimau. DKP sering menemukan pemakaian alat tersebut, saat melakukan patroli di laut. Juga, seringkali nelayan Lamdas masuk wilayah Jawai. Apalagi perairan tersebut banyak terdapat ikan dan udang, karena adanya hutan bakau dan terumbu karang yang masih terjaga. Ini berbeda dengan perairan Pemangkat, ekosistem perairan sudah rusak, akibat pengambilan ikan menggunakan pukat harimau.<br /><br />Namun, patroli masih minim dilakukan, karena dana sangat minim. Hanya Rp 75 juta setahun. Karenanya, melakukan patroli bisa dilakukan sebanyak delapan kali saja. Berbeda dengan tahun sebelumnya, bisa melakukan patroli sebanyak 50 kali. Saat itu, anggaran sebesar Rp 250 juta. <br /><br />Kepala Camat Jawai, Suardi membantah bahwa warga Jawai melakukan tekanan pada Ardi. Baginya, kasus penyanderaan sudah dianggap selesai. Masyarakat Jawai dan Ardi sudah membuat surat pernyataan di hadapan kepolisian dan kepala desa. Isinya, menyetujui denda sebesar Rp 4,5 juta pada Ardi, karena dianggap telah mengambil ikan menggunakan alat tangkap trawl.<br /> <br />Lalu, bagaimana dengan para penyandera yang selalu melakukan aksinya? <br />Ia beranggapan, Dollah, salah satu penyandera, yang berani menahan kapal nelayan Lamdas, jika ditemukan menangkap ikan di perairan Jawai. Tujuannya, ingin melindungi laut mereka dari kerusakan. Nelayan Lamdas menangkap ikan menggunakan trawl atau pukat harimau. <br /><br />“Jika dibiarkan, ekosistem di laut Jawai akan punah. Sekali lagi, Dollah hanya menahan, tidak melakukan kekerasan,” kata Suardi.<br /><br />Wah, bagaimana kalau Ardi dan Endo tidak ditolong perahu nelayan? Tentu bakal tenggelam di laut. Toh, kekuatan orang berenang di laut, ada batasnya. <br /><br />Suardi berkata, jika kejadian itu dibiarkan, nelayan Jawai yang umumnya nelayan tradisional, akan mengalami kekurangan hasil tangkapan. <br /><br />Sebenarnya, nelayan Jawai bukannya tidak mampu membeli kapal besar, seperti milik nelayan Lamdas. Hanya saja, nelayan Jawai sudah sadar, betapa pentingnya menjaga kelestarian laut untuk anak cucu kedepannya. Laut Jawai masih kaya terumbu karang dan hutan manggrove, yang merupakan tempat berkumpulnya udang dan ikan. Jika itu sudah rusak, mata pencaharian nelayan Jawai akan hilang. <br /><br />Hal itu sangat kontras dengan laut di Pemangkat. Ekosistemnya sudah rusak, karena terkikis trawl. Karenanya, banyak nelayan Lamdas mencoba cari ikan di laut Jawai. <br /><br />Ia berharap, DKP Kabupaten Sambas, cepat dan tanggap dalam menyelesaikan permasalahan itu. Sehingga tidak terulang kembali. Misalnya, mengaktifkan patroli di laut. Patroli tidak mesti tiap hari. Hanya pada waktu musim tangkap ikan saja, misalnya musim laut tenang. Dengan demikian, tentu nelayan Lamdas akan menangkap ikan di luar laut Jawai. <br /><br />Konflik antarnelayan memang sudah berlangsung lama, sejak 2001. Dari data kepolisian tercatat, lama kelamaan konflik berkepanjangan ini, terus merambah hingga di kecamatan lain. Salah satunya Kecamatan Paloh. Yang perairannya berbatasan langsung dengan Kecamatan Jawai.<br /><br />Ketua Kelompok Nelayan, Desa Liku, Kecamatan Paloh, Ismail Ikram (51) bercerita, di perairan Paloh, tercatat sudah dua kapal nelayan Lamdas yang ditangkap nelayan Paloh. Kedua kapal tadi, ditangkap di lokasi perairan sama. Yakni, Laut Selimpai. Kejadian berlangsung pada 1994 dan 2003.<br /><br />Kedua kapal tersebut ditangkap, karena aktivitasnya menangkap ikan, menggunakan trawl atau pukat harimau. Demi menjaga ekosistem laut tempat nelayan setempat mencari ikan tetap terjaga, nelayan setempat terpaksa membakar kapal tadi. Sebelumnya, awak kapal dibebaskan. Ini terjadi pada 1994.<br /><br />Selang beberapa tahun, kejadian serupa kembali terulang. Yakni, pada 2003. Nelayan Paloh yang mengetahui ada nelayan Lamdas masuk perairannya, langsung mendatangi kapal tadi. Kemudian memaksa kapal masuk ke Pelabuhan Rakyat, Paloh. Kapal tidak lagi dibakar, tetapi pemilik kapal dipaksa ganti rugi, atas kerusakan laut yang diakibatkan penggunaan alat tangkap trawl. Pemilik kapal menyanggupi ganti rugi sebesar Rp 15 juta, untuk dibagikan pada nelayan.<br /><br />Uang sebesar itu, tentu tak cukup dibagikan pada nelayan setempat yang jumlahnya ratusan. Akhirnya, disaksikan Muspika setempat, warga menyepakati bahwa uang tersebut, bakal digunakan, untuk mendatangkan group band lokal, demi menghibur warga desa. Sebagian lagi, dibelikan pukat bawal dan udang, untuk kebutuhan nelayan yang membutuhkan. <br /><br />Untuk membedakan antara nelayan Lamdas, yang menggunakan trawl, tidak terlalu sulit. Ibaratnya, sepeda motor bermesin 4 tak. Pada saat dijalankan, knalpot mengeluarkan asap. Begitu juga dengan kapal motor. Saat dijalankan, ada asap tebal keluar dari cerobong asap kapal tebal. Tanda lainnya, kapal tersebut berjalan lambat. Di badan kapal juga terbentang dua sayap dari tiang penyangga, untuk menarik pukat. <br /><br />“Nah, dari tanda tadi, sudah bisa ketahuan, kapal tadi menggunakan pukat trawl,” kata Ismail. <br /><br />Sekretaris Camat Tangaran, Sunardi menanggapi hal sama. Banyak nelayan tradisional, Desa Arung Parak, Kecamatan Tangaran, mengeluhkan keberadaan nelayan yang menggunakan kapal besar dan beroperasi di perairan Kecamatan Tangaran. Pasalnya, kapal–kapal besar tadi, dalam penangkapan ikan, menggunakan pukat harimau. Ini, tentu saja berdampak pada hasil tangkapan nelayan tradisional.<br /><br />Kapal-kapal besar yang beroperasi di wilayahnya, sudah berlangsung lama. Namun, sampai saat ini, belum ada tindakan dari Pemkab, melalui Dinas Perikanan. “Apalagi dengan adanya kenaikan harga BBM, dan berkurangnya hasil tangkapan yang mencapai 60 persen, banyak nelayan memutuskan untuk tidak melaut,” kata Sunardi.<br /><br />Ia berkata, batas daerah teritorial nelayan kapal besar, biasanya 6 mil dari garis pantai. Tapi, kenyataannya kapal-kapal tadi beroperasi 2 mil dari garis pantai. Sehingga jika dibiarkan terus, kelangsungan hidup nelayan tradisional akan terancam.<br /><br />Kepala Resort atau Tenpat Pelelangan Ikan (TPI) Kecamatan Paloh dan Tangaran, Kamal, membenarkan adanya penangkapan kapal nelayan Lamdas yang menggunakan pukat trawl. “Di sini, nelayan sangat menjaga sekali ekosistem laut,” katanya. Tujuannya, agar keberlangsungan penangkapan ikan kedepan.<br /><br />Untuk patroli di laut, memang jarang dilakukan DKP. Nelayan yang melakukan patroli dan tergabung dalam Sistem Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Berbasis Masyarakat (Siswasmas). <br /><br />Kelompok ini dibentuk dari proyek DKP. Modelnya, merupakan sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat, dalam mengawasi dan mengendalikan pengolahan dan pemanfaatan sumber kelautan dan perikanan secara bertanggungjawab. <br /><br />Dalam kelompok ini, ada berbagai peralatan penunjuk arah atau Global Positioning System (GPS), dan radio komunikasi. Sehingga nelayan bisa selalu berkomunikasi dengan nelayan lainnya.<br /><br />Pengamat Hukum Universitas Tanjungura, Rousdy Said mengatakan, kasus nelayan Lamdas dan tradisional yang terjadi di Kabupaten Sambas, sebenarnya tidak perlu terjadi, jika aparat penegak hukum tegas dan menindak penyimpangan yang dilakukan nelayan. <br /><br />“Salah satunya menggunakan pukat trawl, karena sudah diatur dalam Undang-Undang Kelautan,” kata Rousdy. <br /><br />Ia mengatakan, masalah penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut, diperlukan perhatian yang besar dan serius. Sebab, peningkatan kemampuan penegakan hukum dan pengamanan, harus mencakup suatu kerjasama antara kegiatan di darat, laut dan udara. <br /><br />Disamping itu, harus ada berbagai usaha meningkatkan pengawasan, kontrol, penjagaan, serta kegiatan penyelidikan, penyidikan dan proses pengadilan yang ditata dengan baik. <br /><br />Hal yang tak kalah pentingnya adalah, setelah putusan pengadilan diberikan, ada kemampuan menampung para terhukum di penjara. Sehingga si terhukum tidak mudah menghindari hukuman. Karenanya, effektivitas dan kepastian hukum, harus dijadikan prioritas bagi penegakan dan pengamanan laut Indonesia. <br /><br />Peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pengamanan wilayah pesisir dan laut, memerlukan sinkronisasi aplikasi teknis bagi institusi penegak hukum dalam prosesnya, terhadap tindak pelanggaran yang berlaku secara internasional di sektor kelautan. <br /><br />Dalam hubungan kewenangan dan kewajiban yang mengikat pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan penataan wilayah perbatasan darat dan laut, perlu pemasangan simbol negara, pemanfaatan administrasi kependudukan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terutama pemahaman geopolitik pemerintah daerah, harus berkaitan dengan kualitas pemahaman tentang masing-masing titik kordinat patok tapal batas darat dan laut. Baik antarprovinsi, kabupaten/kota, maupun antarnegara. <br /><br />”Harus dimaksimalkan, demi integritas dan keutuhan bangsa,” kata Rousdy. <br /><br />Sementara itu, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, Hasjim Djalal, dalam suatu acara seminar kelautan di Pontianak, menyatakan, sosialisasi konsekuensi geopolotik Indonesia sebagai negara kepulauan. <br /><br />Saat berbagai negara di dunia berpikir dan bertindak untuk memperbesar persatuannya, seperti menyatunya Eropa menjadi satu kesatuan, Indonesia justru semakin menyempit. Ini akibat munculnya pemahaman semangat kedaerahan, kesukuan, keagamaan, kepartaian dan golongan.<br /> <br />”Kondisi itu muncul, akibat bangsa Indonesia tidak lagi memperhatikan tiga tiang utama republik Indonesia,” kata Hasjim. <br /><br />Menurutnya, tiga tiang utama yang tidak diperhatikan bangsa Indonesia yaitu, kesatuan kejiwaan sebagai bangsa Indonesia. Kesatuan kenegaraan Indonesia. Dan, kesatuan kewilayahan. Ketiga tiang utama ini, selalu mendapat cobaan dan tantangan, dari dunia luar maupun dari bangsa Indonesia sendiri. <br /><br />Tiang kesatuan kebangsaan mulai ditantang semangat kedaerahan dan kesukuan yang timbul. Tiang kesatuan kenegaraan juga ditantang unsur separatisme di beberapa daerah. Begitu juga kesatuan ke wilayahan, juga ditantang semangat otonomi daerah, yang semakin hari semakin ingin lebih memanfaatkan laut Indonesia, secara sendiri-sendiri. <br /><br />“Pemanfaatan laut secara sendiri-sendiri setiap daerah, semakin berpotensi membagi-bagi wilayah laut Indonesia. Yang seharus menjadi milik bangsa dan dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia, secara keseluruhan,” kata Hasjim. <br /><br />Padahal, bangsa Indonesia harus berpikiran maju ke depan. Yaitu, menambah hak-hak berdaulat dan kewenangan-kewenangan tertentu di luar laut wilayah Indonesia yang ada sekarang. Jika pada konvensi Jenewa 1958, yang dianggap sebagai landasan kontinen hanyalah daerah dasar laut sampai kedalaman air 200 meter, maka dalam Konvensi Hukum Laut 1982, hak-hak berdaulat Indonesia telah diakui sampai ke seluruh daerah dasar laut. <br /><br />Konvensi HUKLA 1982, memungkinkan Indonesia mengklaim landasan kontinen di luar batas 200 mil, melalui berbagai kriteria yaitu 60 mil dari kaki kontinen atau 100 mil dari kedalaman air 2500 m. Atau, juga sampai sedimen yang tebalnya 1 persen dari jarak ke foot of the slope dan minimal sampai batas 200 mil dari garis-garis pangkal.<br /><br />“Tapi kenapa Indonesia tidak melakukan hal ini. Justru Indonesia membagi pengelolaan lautnya ke daerah-daerah, sehingga sering terjadi perselisihan antar nelayan daerah,” katanya.<br /><br />Ia berharap, mulai sekarang seluruh bangsa Indonesia, harus berpikir luas ke depan terhadap wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara mencakup laut, darat dan udara. <br /><br />Dalam mengelola kekayaan laut Indonesia, Hasjim menegaskan pengelolaan laut harus memperhatikan pelestarian lingkungan laut. Selain itu, pengelolaan kekayaan laut harus juga diiringi oleh penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut. <br /><br />Tapi, sayangnya, untuk mengamankan laut Indonesia yang luasnya 6 juta kilometer persegi, pemerintah hanya menganggarkan Rp35 triliun untuk anggaran pertahanan. Dan, Rp3,4 triliun untuk anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan.<br /><br />Akibatnya, laut Indonesia yang mestinya dijaga minimal oleh 400 kapal perang TNI AL, sekarang hanya dijaga 120 kapal perang. ”Dampaknya, laut Indonesia sangat terbuka untuk dimasuki kapal-kapal asing yang mencuri ikan di laut kita,” katanya.<br /><br />Ia menyayangkan anggaran untuk TNI dan DKP yang jika ditotal hanya Rp38,4 triliun, sangat jauh dibandingkan dengan anggaran untuk Pemilu yang mencapai Rp76 triliun.<br /><br /><br />Nelayan, Potret Masyarakat Terpinggirkan<br /><br />Jumaini merupakan potret nelayan kebanyakan. Ia berasal dari Desa Jeruju, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Ia sudah menjalani profesi sebagai nelayan, puluhan tahun lamanya. Sejak masih bujang hingga punya dua anak yang masih kecil. Jumaini merupakan nelayan pesisir pantai. Alasannya? Karena dia hanya beroperasi mencari ikan sekitar 3-4 mil dari garis pantai. <br /><br />Ia menggunakan perahu motor. Perahu itu memiliki panjang tujuh meter dan lebar 1,5 meter. Perahu motor dibeli dengan modal sendiri. Harganya sekitar Rp 7 juta. <br /><br />Setiap hari, ia melaut di sepanjang garis pantai. Sedari pukul 02.00 Wib, dini hari, ia harus meninggalkan rumah dan berangkat melaut. Meski angin pantai dan dingin udara serasa menusuk tulang, ia mesti meneguhkan diri dan berangkar melaut. Bila tidak, dapur dan pendaringan keluarga tidak bakal mengepul. <br /><br />Bermodal perahu motor dan pukat, ia mengitari laut sepanjang 3-4 mil dari garis pantai. Ia menggunakan pukat udang dan bawal. Sekitar pukul 14.00 Wib, ia pulang ke rumah. Meski sudah seharian mengitari laut, namun rezeki yang dibayangkan, tak seluas laut yang luas membentang. <br /> <br />Hasil tangkapan berfariasi. Tidak tetap. Ada ikan bawal dan udang. Pada hari bagus, ia bisa mendapatkan uang sekitar Rp 300-500 ribu. Itu masih pendapatan kotor, belum dipotong ongkos bahan bakar dan es balok, untuk penyimpanan ikan. <br /><br />Biasanya, ikan dijual pada agen. Ikan bawal dijual pada agen Rp 10 ribu per kilo. Udang wangka Rp 50.000 per kilo. Udang sayur Rp 15.00 per kilo.<br /><br />Ada lima agen di Desa Jeruju. Sebelum dijual, hasil 30 persen hasil tangkapan, dibagi pada agen. Alasannya, pukat yang digunakan untuk menangkap ikan, berasal dari agen. Sebagian besar nelayan menggunakan pukat dari agen ikan. Sebab, harga pukat cukup mahal bagi nelayan.<br /><br />Misalnya saja harga pukat jenis bawal yang berkisar Rp 95 ribu, untuk panjang tiga meter. Masyarakat biasa menyebutnya per pis. Panjang pukat yang digunakan untuk melaut berkisar 100-300 meter. Kalikan saja, berapa yang harus dimiliki nelayan, untuk beli pukat tersebut. Katakanlah, nelayan butuh pukat sepanjang 300 meter. Berarti, dia harus ada uang sebesar Rp 28 juta. Uang sebesar itu, tentu sulit diusahakan para nelayan. <br /><br />Begitu juga harga pukat udang Rp 145.000 per tiga meter. Uang yang harus dikeluarkan untuk membeli, kalikan saja sendiri.<br /><br />Masyarakat menggunakan ukuran depa, untuk menandai sebuah ukuran. Ukuran itu diambil dari panjang dua tangan orang dewasa yang direntangkan. Satu depa sekitar 150-170 cm.<br /><br />Efektifitas bekerja nelayan dalam setahun, hanya enam bulan. Sisanya, tergantung cuaca. Biasanya pada Pebruari-Juli, merupakan cuaca bagus untuk melaut. Sisanya cuaca buruk dan musim ombak besar. Pada musim ini, dalam seminggu paling bisa melaut 2-3 hari saja. Meskipun cuaca tak bagus, nelayan tetap memberanikan diri ke laut. <br /><br />Sulitnya mendapatkan dana awal bagi membeli pukat, BBM atau peralatan melaut lainnya, membuat nelayan selalu tergantung pada agen atau tengkulak. Hasil yang mereka peroleh, harus dipotong buat agen, atau harus dijual pada tengkulak sang pemberi modal. Akhirnya, kehidupan nelayan hanya berputar dan tergantung pada para pemilik modal ini. <br /><br />Peran pemerintah dalam mengatasi hal ini? Tak ada. Sejak belasan tahun menjadi nelayan, pemerintah tak pernah berikan bantuan pada nelayan, seperti dirinya.<br /> <br />Hal yang sama dirasakan Suhermi, nelayan pesisisr di Desa Sibubus, Paloh. Ia juga belum merasakan bantuan dari pemerintah. “Jangankan perahu motor, untuk pukat saja, belum sama sekali mencicipinya,” katanya. <br /><br />Ia mendengar pembicaraan teman sesama nelayan, sebenarnya bantuan ada. Tapi, ia belum tahu kebenarannya. <br /><br />Pimpinan Resort, Kamal, berkata, bantuan untuk nelayan tiap tahunnya ada. Yakni berupa fiber, tempat penyimpanan ikan, dan jaring pukat. Hanya saja jumlahnya tidak besar. Bantuan langsung diserahkan melalui kelompok nelayan. Kemudian, kelompok nelayan tersebut yang menentukan, nelayan mana yang berhak mendapatkannya. <br /><br />Data yang diperoleh dari TPI Tangaran di Kecamatan Paloh terdapat sekitar 195 nelayan tradisional. Jumlah itu tersebar di tiga desa. Yakni, Desa Sebubus dengan jumlah 55 nelayan. Desa Jeruju, berjumlah 65 nelayan. Desa Liku, berjumlah 75 nelayan. <br /><br />“Itu jumah nelayan yang terdata. Sementara yang belum, diperkirakan kurang lebih sama,” kata Kamal.<br /><br />Berdasarkan data dari tempat yang sama, hasil tangkapan nelayan pada tahun 2008, juga bisa dilihat. Dari TPI Desa Liku, jumlah tangkapan mencapai 20.764 kilogram. TPI Desa Tanah Hitam, 17.808 kilogram. TPI Temajok, 15.405 kilogram. Dan, TPI Arung Parak, 13.320 kilogram. <br /><br />Dari data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas pada 2008, jumlah dan nilai produksi penangkapan ikan perairan laut se-Kabupaten Sambas, sebesar 20.986,5 ton. Bila dirupiahkan sekitar Rp 125.049.295. Jumlah itu terbagi di lima kecamatan. Diantaranya, Kecamatan Selakau, 4.735,3 ton atau sekitar Rp 12.453.133. Pemangkat, 7.206.7 ton, seharga Rp 38.904.931. Jawai sebanyak 2.109,9 ton atau Rp 22.051.882. Jawai Selatan, 904,2 ton atau Rp 9.450.807. Tangaran, 2.199,7 ton atau Rp 18.127.305. Paloh, 3.812,7 atau Rp 24.061.237.<br /><br />Berdasarkan data yang sama, jumlah kapal motor penangkapan ikan perairan laut, menurut jenis ukuran berjumlah 2.219 buah. Terbagi dalam beberapa ukuran. Yakni, perahu tanpa motor berjumlah 679 buah. Motor tempel 308 buah. Kapal motor GT berjumlah 1.232 buah, meliputi lima kecamatan. Yakni, Jawai, Jawai Selatan, Selakau, Paloh, Tangaran dan Pemangkat.<br /><br />Berdasarkan jenis alat tangkap, berjumlah 2741. Meliputi pukat udang, 420 unit. Pukat pantai, 141 unit. Pukat cicin, 53 unit. Jaring isang hanyut, 539 unit. Jaring insang tetap, 351 unit. Trammel net, 361 unit. Rawai tetap, 232 unit. Bagan tancap atau togok, 166 unit. Serok dan songko, 52 unit. Bubu, 242 unit. Alat penangkap kepiting, 29 unit. Jala tebar, 59 unit.<br /><br />Dari reportase dan penelusuran yang dilakukan, mayoritas kawasan desa pesisir di wilayah perbatasan antarnegara di Indonesia dan Malaysia, masih merupakan kawasan tertinggal. Kondisi tersebut tercermin dari sarana dan prasarana fisik, sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. <br /><br />Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri tahun 2007, lebih memberikan gambaran bahwa, sebagian besar kawasan perbatasan antarnegara belum tersentuh oleh proses dan hasil pembangunan. <br /><br />Ketidakterjangkauan pada sarana prasarana ekonomi dan sosial, mengkondisikan mayoritas masyarakat pesisir di wilayah perbatasan antarnegara, dalam kondisi kemiskinan. Padahal, masyarakat pesisir di perbatasan Sambas, memiliki nilai strategis. <br /><br />Wilayah ini, secara geografis terletak di perbatasan antara Indonesia-Malaysia. Masyarakat pesisir di wilayah perbatasan antarnegara, secara umum dicirikan dengan kompleksitas masalah yang dihadapi. Hal tersebut menyangkut, tidak saja adanya karakteristik yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, melainkan jenjang masalahnya pun berbeda-beda. <br /><br />Masalah tersebut dapat muncul dalam tingkatan individual, keluarga, komunitas, tingkat kabupaten, provinsi hingga nasional. Masalah dapat juga dilihat dan dikategorikan dari sudut kondisi geografis, ekonomi, politik, budaya, dan hubungan bilateral dengan negara tetangga maupun masalah yang terjadi di negera itu. Yang secara signifikan mempengaruhi dinamika pembangunan masyarakat pesisir di wilayah perbatasan.<br /><br />Faktanya, masyarakat pesisir di wilayah ini, hidup dalam kesenjangan ekonomi yang sangat tajam dengan Malaysia. Ironisnya, kondisi kesenjangan ekonomi masyarakat di wilayah pesisir di Kabupaten Sambas, ada dalam wilayah dengan basis sumberdaya alam, berupa potensi perikanan dan kelautan cukup melimpah.<br /><br />Wujud kesenjangan ekonomi dari masyarakat pesisir ini, terlihat dari tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat pada 2007-2008, memperlihatkan bahwa, jumlah penduduk miskin provinsi Kalbar, tertinggi dibandingkan provinsi di Kalimantan lainnya. <br /><br />Berdasarkan data tersebut, angka kemiskinan di Kalimantan, berturut-turut sebagai berikut: Kalbar dengan 584.300 penduduk miskin atau 12,91 persen. Kaltim dengan 324.800 jiwa atau 11,04 persen. Kalteng dengan 210.300 atau 9,38 persen. Kalsel dengan 233.500 jiwa atau 7,01 persen. <br /><br />Meskipun data statistik pada 2007-2008, menunjukkan terjadinya pengurangan pada angka kemiskinan di Kalbar, namun Kalbar masih tetap menjadi provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak di Kalimantan. Jika ditempatkan dalam konteks nasional, tingkat kemiskinan di Kalbar, menduduki peringkat ke 14 dari seluruh provinsi di Indonesia.<br /><br />Data dari peneliti dosen UI, bekerjasama dengan mitra lokal, temanya Meneliti Masyarakat Nelayan Pesisir Perbatasan, awal Desember 2008. Kondisi kemiskinan masyarakat pesisir di wilayah perbatasan, bertambah parah dengan penerapan beberapa kebijakan ekonomi di tingkat nasional. Misalnya, kebijakan kenaikan harga bahan bakar. Meskipun, pada perkembangannya, BBM diturunkan lagi. <br /><br />Dampak nyata dari kenaikan harga bahan bakar, mengakibatkan besaran pendapatan mereka menurun tajam. Sehingga nelayan harus mengurangi intensitas melautnya. Kemiskinan masyarakat pesisir semakin parah juga harus menanggung kenaikan harga kebutuhan barang-barang pokok. <br /><br />Secara politik, masyarakat di wilayah perbatasan, juga ditandai dengan potensi terjadinya kekerasan komunal. Yaitu, kekerasan sosial yang terjadi antara dua kelompok masyarakat atau komunal. Kekerasan itu bisa berupa penyerangan yang dilakukan satu kelompok, terhadap kelompok yang lain.<br /><br />Beberapa faktor yang diindentifikasi memicu kekerasan komunal, diantaranya karena faktor etnis, agama, kesenjangan sosial, dan afiliasi politik. Hal inilah yang ditengarai terjadi di wilayah Sambas. Dan, secara budaya, masyarakat pesisir pada umumnya, termasuk di wilayah perbatasan, dicirikan dengan persoalan dan rintangan budaya. Ciri itu berupa, sikap tradisional, pasrah pada nasib, dan ketergantungan secara individual maupun kolektif.<br /><br />Melihat permasalahan tersebut, Pemkab Sambas memberikan alternatif dan penyelesaian, untuk menyejahterakan masyarakat pesisir. Salah satunya, dengan mengembangkan Minapolitan Jawai Selatan. <br /><br />Pemkab Sambas menjadikan Jawai Selatan sebagai contoh proyek Minapolitan. Pemkab menyediakan luas lahan sekitar 448,3 hektar. Terdiri dari Desa Jawai Laut seluas 248,3 hektar, dan Desa Jelu Air seluas 200 hektar. <br /><br />Pemkab juga membuat kawasan Hinterland Minapolitan Jawai Selatan yang meliputi, kawasan tambak Sebangkau seluas 1.219 hektar di Kecamatan Pemangkat, dan kawasan tambak Sarang Burung Danau, seluas 1.300 hektar di Kecamatan Jawai.<br /><br />Bupati Kabupaten Samabas, Burhanuddin A Rasyid mengatakan, Kabupaten Sambas merupakan salah satu daerah pertanian Kalbar. Sambas memiliki potensi budidaya udang atau bandeng dalam tambak. Di Selakau, luas dan potensinya mencapai 352,8 hektar, dengan estimasi produksi 105,84 ton per tahunnya. Pemangkat sekitar 1.219,0 hektar, dan estimasinya mencapai 365,70 ton per tahun. Jawai, luas potensi sektar 1.300,3 hektar, dengan estimasi produksi mencapai 524,49 ton per tahun. Teluk Keramat luas 500,0 hektar, dengan estimasi produksi 150,00 ton per tahun. Paloh luas potensi mencapai 2.637,5 dengan esetimasi produksi tiap tahunnya mencapai 791,25 ton. <br /><br />Kawasan Minapolitan Desa Jawai Laut, awalnya merupakan kawasan TIR-Trans Jawai. Dari 310 petak tambak yang ada, sebanyak 58 petak masih beroperasi dengan kondisi sarana dan prasarana seadanya. <br /><br />Burhanuddin menjelaskan, sekarang ini, pengelolaan tambak terbatas pada pola tradisional, karena terajdi pendangkalan di saluran air dan petak tambak. Dari segi keterampilan, pengelolaan secara intensif petani tambak, sudah cukup berpengalaman. Pada awal operasi tambak TIR-Trans, pola budidaya yang diterapkan adalah pola intensif, sesuai dengan konstruksi petakan dengan luas 0,5 hektar per petaknya. <br /><br />Burhanuddin tidak menampik, kondisi infrastruktur kawasan Minapolitan di kawasan tambak sangat terbatas. Misalnya, mayoritas jalan masih berupa tanah. Sarana air bersih belum ada. Sebagian besar saluran tambak sudah dangkal. Sehingga pemasukan air hanya bisa dilakukan, pada saat pasang tinggi.<br /> <br />Namun, pemerintah daerah juga sudah berupa melakukan perbaikan pada pembangunan sektor ini. Diantaranya, pada 2006, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sambas, membangun Balai Benih Udang (BBU) di Desa Jawai Laut, Kecamatan Jawai Selatan. BBU ini sudah mulai produksi benur windu pada 2007. Pemkab juga membangun fasilitas pembenihan ikan bandeng di lokasi BBU tersebut, pada 2007. Untuk menangani pendangkalan tambak, Pemkab bekerjasama dengan bidang Cipta Karya. <br /><br />Keberadaan tambak merupakan potensi besar, guna memajukan Minapolitan Kabupaten Sambas. “Hanya saja, masih diperlukan optimalisasi kawasan Minapolitan yang ada,” kata Burhanuddin. Seperti, Jawai selatan dengan daerah Hinterland-nya, Kecamatan Pemangkat dan Jawai, sangat potensial dikembangkan. <br /><br />Optimalisasi bisa dilakukan dengan normalisasi saluran dan penyediaan fasilitas lainnya, guna mendukung kegiatan tambak dan budidaya perikanan. Salah satunya dengan menindaklanjuti dan membentuk tim seleksi ini, melalui Surat Keputusan (SK) Bupati, untuk pendangkalan sungai dapat bekerjasama dengan bidang pengairan atau Cipta Karya.<br /><br />Dalam menangani masalah konflik batas laut, pemerintah daerah memang sudah berusaha membuat terobosan dengan pengembangan perikanan darat. Namun, apakah “cara penyelesaian” itu, sudah menjadi substansi dari kasus-kasus yang sudah pernah terjadi, dan mencegah peristiwa yang sama kedepannya? Mengingat, wilayah Sambas merupakan “zona panas” yang pernah menjadi medan tempur, dan menimbulkan peristiwa kemanusiaan dan konflik sosial yang luar biasa besar.aguswahyuni.blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/01199626389914779606noreply@blogger.com0