Search

Minggu, 06 Juni 2010

Sengketa Batas Berujung Konflik

Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Sambas

Ombak laut terlihat tenang. Cuaca cerah dan terang. Nelayan menyambutnya dengan mempersiapkan peralatan. Ada perahu, jaring, dan berbagai peralatan melaut dan persediaan bahan bakar. Begitu juga Ardi (46) dan anaknya, Endo (23). Sudah belasan tahun, keduanya mengantungkan hidup pada laut. Mereka menggunakan kapal motor sepanjang 15 meter dengan lebar dua meter. Alat tangkap itu diberi nama “Kapal Novella”. Mereka merupakan nelayan lamparan dasar, asal Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas. Lamparan dasar adalah jenis pukat harimau yang sudah dimodifikasi.

Sebagai nelayan, mereka tak punya jadwal libur. Libur dilakukan bila cuaca tak bersahabat. Hari itu, Minggu, 10 Agustus 2008, seperti biasanya, mereka melaut. Sudah sedari pagi, keduanya mengelilingi laut Pemangkat. Namun, hasilnya belum maksimal. Keduanya terus berputar dan menjelajah. Tanpa sengaja, kapal motor meninggalkan perairan Pemangkat, menuju perairan di Kecamatan Jawai. Wilayah ini jaraknya tiga mil dari garis pantai Jawai.

Waktu beranjak naik. Matahari terletak di sepengalah kepala. Jarum jam menunjuk pukul 08.00 Wib. Dari jarak yang terlihat mata, sebuah perahu motor mendekat. Di perahu itu, ada tiga orang. Postur badannya kekar. Setelah mendekat, ketiga awak perahu motor tersebut, merapatkan perahu motornya. Salah satu awak perahu motor bernama Dollah.

Terjadi dialog. Ketiganya minta ikan hasil tangkapan Ardi dan Endo. Ardi memberikan beberapa ikan pada ketiga awak kapal tersebut. Namun, setelah diberi, ketiganya bukannya menerima, malah menyandera Ardi dan Endo. Akibatnya, terjadi perkelahian. Tiga lawan dua. Akibat kalah jumlah, akhirnya Ardi dan Endo tak berkutik.

Peristiwa tak berhenti di situ. Ardi dan Endo dijeburkan ke laut. Kapal miliknya dibawa lari ketiga nelayan tadi. Keduanya menyelamatkan diri dengan berenang dan mengapung di laut.

“Syukurlah, pada saat kami mengapung di laut, beberapa menit, ada sebuah kapal nelayan tradisional yang kebetulan melintas langsung menolong,” kata Ardi.

Selepas itu, nelayan yang menolong ini, membawa keduanya darat. Tepatnya di Desa Bakau, Kecamatan Jawai. Sesampainya di darat, naas menimpa keduanya. Ternyata ketiga awak kapal yang memukul dan mengambil kapal, juga berada di sana. Tak hanya bertiga, mereka bersama puluhan warga desa.

Belum sempat Ardi dan Endo menarik napas lega, karena kelelahan di laut, puluhan warga di desa tersebut, menggiring keduanya ke kantor Balai Desa Bakau. Di sana, warga desa mendesak keduanya menyerahkan uang tebusan sebesar Rp 6 juta. Alasannya, kapal motor mereka melewati batas teritorial jalur mengambil ikan, yang semestinya bagi nelayan tradisional.

Warga juga mengancam, jika uang tebusan tidak dibayar, keduanya tidak diperkenankan pulang. Perundingan berlangsung alot. Kepala desa dan kepolisian menyaksikan dan menengahi pertemuan. Merasa tidak ada uang sebanyak itu, Ardi minta kelonggaran waktu hingga besok hari. Tak terasa, waktu sudah beranjak petang atau pukul 17.00 Wib. Keduanya diperkenankan pulang.

Senin (11/8), Ardi mendatangi balai Desa Bakau. Puluhan warga sudah menunggu kehadirannya. Merasa tidak aman, ia minta pertemuan tidak berlangsung di balai desa, melainkan di Polsek Jawai. Sesampainya di sana, puluhan warga juga mengikuti.

“Lagi-lagi, saya mendapat desakan,” kata Ardi.

Ardi mengatakan pada warga, ia belum sanggup memberikan uang tersebut. Jumlah Rp 6 juta, terlalu besar. Apalagi bagi dirinya yang hanya nelayan. Suasana makin panas. Warga terus mendesak dan mulai berteriak-teriak. Kemudian, salah seorang polisi tiba-tiba ikut memutuskan denda, yakni sebesar Rp 4,5 juta. Merasa terus didesak, Ardi menandatangani perjanjian itu. Kepala desa dan polisi sebagai saksi.

Apa boleh buat. Ardi pun tanda tangan. Apalagi kapal motor miliknya masih disandera. “Tapi, itu hanya sebatas tanda tangan saja, mengingat pada waktu itu, saya tidak membawa uang,” kata Ardi.

Kasat Reskrim Polres Sambas, AKP Puji Prayitno dalam suatu kesempatan menanggapi permasalahan tersebut. “Kasus penangkapan kapal Ardi oleh Dollah, bisa diselesaikan dengan hukum kelautan,” kata Puji. Yakni, Undang-Undang Kelautan Nomor 31 Tahun 2004, tentang Penggunaan Alat Tangkap. Namun, UU belum diterapkan secara maksimal.

Baginya, perjanjian antara nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001, tidak berlaku karena isi dari UU Kelautan sudah jelas bagi pengaturan pengembangan kelautan. Termasuk larangan menggunakan alat tangkap pukat trawl.

Kedua belah pihak melapor ke polisi. Ardi dan Endi melaporkan bahwa, ketika melaut, tiba-tiba kapal mereka didatangi Dollah beserta temannya, dan dilakukan penyanderaan. Dollah juga membuat laporan yang sama pada Polsek Jawai. Dollah merasa dianiaya oleh Ardi dan Endo.

Polisi melakukan penyidikan dari dua laporan tersebut. Hasilnya, polisi menemukan barang bukti berupa sebuah kapal dan alat tangkap trawl mini milik Ardi. Alat ini dianggap telah melanggar UU Kelautan No 31 Tahun 2004.

Polisi juga melakukan penyidikan terhadap Dollah. Hasilnya, Dollah terbukti melakukan penyanderaan kapal, dengan niat memiliki kapal tersebut.

“Keduanya bisa dikenakan sanksi, yakni Pasal 351 KUHP, Ayat (1) dan (4),“ kata Puji, “dalam hal ini, polisi bertugas sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Upaya hukum adalah jalan terakhir,” kata Puji.

Kejadian itu berbuntut panjang. Sekumpulan nelayan yang mengatasnamakan nelayan lamparan dasar (Lamdas), Kecamatan Pemangkat, mendatangi gedung DPRD Kabupaten Sambas. Ketua DPRD Kabupaten Sambas, Uray Barudin Idris, langsung menyambut rombongan ini. Selain itu, ada Ferry Solihin Imran, Ketua Komisi A, membidangi Hukum dan Pemerintahan. Rusli M. Yusuf, Ketua Komisi D, membidangi Kesejahteraan Rakyat, dan anggota Komisi Pembangunan, Suparto. Sementara perwakilan nelayan Lamdas, Heri dan Junjung, termasuk korban penyanderaan, Ardi dan Endo.

Nelayan ingin ada jalan keluar, berkaitan dengan kapal motor milik Ardi. Mereka juga minta, pelaku penyanderaan diusut tuntas.

Ketua Komisi D, DPRD Kabupaten Sambas, Rusli M Yusuf berkata, kasus nelayan Lamdas ini ibarat mendirikan pabrik rokok. “Disatu sisi merusak kesehatan, disisi lain banyak menyedot tenaga kerja,” kata Rusli.

Begitu juga dengan nelayan Lamdas. Menangkap ikan dengan trawl dapat merusak ekosistem laut di sekitarnya. Sementara disisi lain, mereka juga butuh makan bagi anak dan keluarga, kata Rusli.

Untuk itu, perlu suatu kebijakan ulang yang mengatur bagi kepentingan nelayan tradisional maupun Lamdas. Agar, keduanya sama-sama bisa mencari ikan dengan tenang, kata Rusli.

Pemkab Sambas juga mesti melakukan pembinaan terhadap nelayan. Misalnya, menyediakan alat tangkap baru yang tidak merusak ekosistem laut. Juga memberikan pinjaman kredit bagi nelayan tradisional, dalam mengembangkan usaha tangkapannya.

Junjung, Ketua Perwakilan Lamdas menyatakan, kejadian penyanderaan kapal motor Lamdas di Jawai, sudah terjadi tiga kali. Pelakunya orang yang sama. Namun, sampai hari ini, tidak diusut tuntas pihak kepolisian. “Jika ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan, kasus serupa kembali terjadi,” kata Junjung.

Ia menyesalkan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DPK) Kabupaten Sambas, tidak memberi tanggapan terhadap kejadian yang sudah berlangsung lama ini. Junjung menganggap, DKP sampai saat ini, lebih pengacu pada perjanjian nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001.

Dalam salah satu pasal dan isi perjanjian, membagi daerah penangkapan ikan yang dilakukan nelayan menggunakan trawl atau dikenal pukat harimau, dengan nelayan kecil yang beroperasi di laut Kabupaten Sambas sebelah utara. Atau, dengan Pulau Pontianak, Kecamatan Jawai, dengan garis vertikal ke arah laut lepas. Dan, sebelah selatan dengan batas wilayah Kabupaten Sambas dengan Kabupaten Bengkayang dan Singkawang Kota, dengan arah vertikal laut lepas.

Menurutnya, jika mengacu pada perjanjian ini, tentu akan mengekang keberadaan nelayan mencari ikan. Artinya, ada pengkaplingan daerah di laut. Hal itu, tentu saja bertolakbelakang dengan Undang-Undang, bahwa laut milik masyarakat. Siapapun boleh mengangkap ikan di laut.

Kepala Bidang Perlindungan dan Pengawasan, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Sambas, Slamet Raharjo menanggapi hal itu. Kesepakatan antara nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001, sebenarnya kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk membagi perairan dan penangkapan ikan.

Nelayan Lamdas mengambil ikan dengan menggunakan trawl di perairan nelayan tradisional. Nah, disisi lain, nelayan tradisional menjaga ekosistem laut di teritorial tempat mereka menangkap ikan.

Pada waktu itu, DKP memfasilitasi pertemuan. Sehingga terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Tujuannya, membagi daerah teritorial penangkapan. Agar, keberadaan nelayan tradisional, tidak terisolir dengan nelayan besar. Apalagi nelayan tradisional hanya bisa mencari ikan dengan jarak satu mil dari garis pantai. Lewat dari itu, sudah bagian dari nelayan Lamdas.

“Kejadian itu sudah cukup lama, dan sudah kita anggap selesai. Namun, siapa sangka peristiwa itu akhirnya terjadi lagi,” kata Slamet.

Agar kasus tidak terulang, nelayan Lamdas maupun tradisional harus memiliki tenggang rasa, sesuai dengan isi kesepakatan yang ada. Apalagi, jalur tangkap nelayan tersebut, sudah diatur sesuai dengan Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, tentang Penggunaan Alat Tangkap. Ia yakin, jika peraturan tersebut disepakati dan dijalankan, kasus serupa tidak akan terulang.

DKP tidak menutup mata bahwa, masih banyak nelayan Lamdas menggunakan alat tangkap yang dilarang. Yaitu, menggunakan trawl atau pukat harimau. DKP sering menemukan pemakaian alat tersebut, saat melakukan patroli di laut. Juga, seringkali nelayan Lamdas masuk wilayah Jawai. Apalagi perairan tersebut banyak terdapat ikan dan udang, karena adanya hutan bakau dan terumbu karang yang masih terjaga. Ini berbeda dengan perairan Pemangkat, ekosistem perairan sudah rusak, akibat pengambilan ikan menggunakan pukat harimau.

Namun, patroli masih minim dilakukan, karena dana sangat minim. Hanya Rp 75 juta setahun. Karenanya, melakukan patroli bisa dilakukan sebanyak delapan kali saja. Berbeda dengan tahun sebelumnya, bisa melakukan patroli sebanyak 50 kali. Saat itu, anggaran sebesar Rp 250 juta.

Kepala Camat Jawai, Suardi membantah bahwa warga Jawai melakukan tekanan pada Ardi. Baginya, kasus penyanderaan sudah dianggap selesai. Masyarakat Jawai dan Ardi sudah membuat surat pernyataan di hadapan kepolisian dan kepala desa. Isinya, menyetujui denda sebesar Rp 4,5 juta pada Ardi, karena dianggap telah mengambil ikan menggunakan alat tangkap trawl.

Lalu, bagaimana dengan para penyandera yang selalu melakukan aksinya?
Ia beranggapan, Dollah, salah satu penyandera, yang berani menahan kapal nelayan Lamdas, jika ditemukan menangkap ikan di perairan Jawai. Tujuannya, ingin melindungi laut mereka dari kerusakan. Nelayan Lamdas menangkap ikan menggunakan trawl atau pukat harimau.

“Jika dibiarkan, ekosistem di laut Jawai akan punah. Sekali lagi, Dollah hanya menahan, tidak melakukan kekerasan,” kata Suardi.

Wah, bagaimana kalau Ardi dan Endo tidak ditolong perahu nelayan? Tentu bakal tenggelam di laut. Toh, kekuatan orang berenang di laut, ada batasnya.

Suardi berkata, jika kejadian itu dibiarkan, nelayan Jawai yang umumnya nelayan tradisional, akan mengalami kekurangan hasil tangkapan.

Sebenarnya, nelayan Jawai bukannya tidak mampu membeli kapal besar, seperti milik nelayan Lamdas. Hanya saja, nelayan Jawai sudah sadar, betapa pentingnya menjaga kelestarian laut untuk anak cucu kedepannya. Laut Jawai masih kaya terumbu karang dan hutan manggrove, yang merupakan tempat berkumpulnya udang dan ikan. Jika itu sudah rusak, mata pencaharian nelayan Jawai akan hilang.

Hal itu sangat kontras dengan laut di Pemangkat. Ekosistemnya sudah rusak, karena terkikis trawl. Karenanya, banyak nelayan Lamdas mencoba cari ikan di laut Jawai.

Ia berharap, DKP Kabupaten Sambas, cepat dan tanggap dalam menyelesaikan permasalahan itu. Sehingga tidak terulang kembali. Misalnya, mengaktifkan patroli di laut. Patroli tidak mesti tiap hari. Hanya pada waktu musim tangkap ikan saja, misalnya musim laut tenang. Dengan demikian, tentu nelayan Lamdas akan menangkap ikan di luar laut Jawai.

Konflik antarnelayan memang sudah berlangsung lama, sejak 2001. Dari data kepolisian tercatat, lama kelamaan konflik berkepanjangan ini, terus merambah hingga di kecamatan lain. Salah satunya Kecamatan Paloh. Yang perairannya berbatasan langsung dengan Kecamatan Jawai.

Ketua Kelompok Nelayan, Desa Liku, Kecamatan Paloh, Ismail Ikram (51) bercerita, di perairan Paloh, tercatat sudah dua kapal nelayan Lamdas yang ditangkap nelayan Paloh. Kedua kapal tadi, ditangkap di lokasi perairan sama. Yakni, Laut Selimpai. Kejadian berlangsung pada 1994 dan 2003.

Kedua kapal tersebut ditangkap, karena aktivitasnya menangkap ikan, menggunakan trawl atau pukat harimau. Demi menjaga ekosistem laut tempat nelayan setempat mencari ikan tetap terjaga, nelayan setempat terpaksa membakar kapal tadi. Sebelumnya, awak kapal dibebaskan. Ini terjadi pada 1994.

Selang beberapa tahun, kejadian serupa kembali terulang. Yakni, pada 2003. Nelayan Paloh yang mengetahui ada nelayan Lamdas masuk perairannya, langsung mendatangi kapal tadi. Kemudian memaksa kapal masuk ke Pelabuhan Rakyat, Paloh. Kapal tidak lagi dibakar, tetapi pemilik kapal dipaksa ganti rugi, atas kerusakan laut yang diakibatkan penggunaan alat tangkap trawl. Pemilik kapal menyanggupi ganti rugi sebesar Rp 15 juta, untuk dibagikan pada nelayan.

Uang sebesar itu, tentu tak cukup dibagikan pada nelayan setempat yang jumlahnya ratusan. Akhirnya, disaksikan Muspika setempat, warga menyepakati bahwa uang tersebut, bakal digunakan, untuk mendatangkan group band lokal, demi menghibur warga desa. Sebagian lagi, dibelikan pukat bawal dan udang, untuk kebutuhan nelayan yang membutuhkan.

Untuk membedakan antara nelayan Lamdas, yang menggunakan trawl, tidak terlalu sulit. Ibaratnya, sepeda motor bermesin 4 tak. Pada saat dijalankan, knalpot mengeluarkan asap. Begitu juga dengan kapal motor. Saat dijalankan, ada asap tebal keluar dari cerobong asap kapal tebal. Tanda lainnya, kapal tersebut berjalan lambat. Di badan kapal juga terbentang dua sayap dari tiang penyangga, untuk menarik pukat.

“Nah, dari tanda tadi, sudah bisa ketahuan, kapal tadi menggunakan pukat trawl,” kata Ismail.

Sekretaris Camat Tangaran, Sunardi menanggapi hal sama. Banyak nelayan tradisional, Desa Arung Parak, Kecamatan Tangaran, mengeluhkan keberadaan nelayan yang menggunakan kapal besar dan beroperasi di perairan Kecamatan Tangaran. Pasalnya, kapal–kapal besar tadi, dalam penangkapan ikan, menggunakan pukat harimau. Ini, tentu saja berdampak pada hasil tangkapan nelayan tradisional.

Kapal-kapal besar yang beroperasi di wilayahnya, sudah berlangsung lama. Namun, sampai saat ini, belum ada tindakan dari Pemkab, melalui Dinas Perikanan. “Apalagi dengan adanya kenaikan harga BBM, dan berkurangnya hasil tangkapan yang mencapai 60 persen, banyak nelayan memutuskan untuk tidak melaut,” kata Sunardi.

Ia berkata, batas daerah teritorial nelayan kapal besar, biasanya 6 mil dari garis pantai. Tapi, kenyataannya kapal-kapal tadi beroperasi 2 mil dari garis pantai. Sehingga jika dibiarkan terus, kelangsungan hidup nelayan tradisional akan terancam.

Kepala Resort atau Tenpat Pelelangan Ikan (TPI) Kecamatan Paloh dan Tangaran, Kamal, membenarkan adanya penangkapan kapal nelayan Lamdas yang menggunakan pukat trawl. “Di sini, nelayan sangat menjaga sekali ekosistem laut,” katanya. Tujuannya, agar keberlangsungan penangkapan ikan kedepan.

Untuk patroli di laut, memang jarang dilakukan DKP. Nelayan yang melakukan patroli dan tergabung dalam Sistem Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Berbasis Masyarakat (Siswasmas).

Kelompok ini dibentuk dari proyek DKP. Modelnya, merupakan sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat, dalam mengawasi dan mengendalikan pengolahan dan pemanfaatan sumber kelautan dan perikanan secara bertanggungjawab.

Dalam kelompok ini, ada berbagai peralatan penunjuk arah atau Global Positioning System (GPS), dan radio komunikasi. Sehingga nelayan bisa selalu berkomunikasi dengan nelayan lainnya.

Pengamat Hukum Universitas Tanjungura, Rousdy Said mengatakan, kasus nelayan Lamdas dan tradisional yang terjadi di Kabupaten Sambas, sebenarnya tidak perlu terjadi, jika aparat penegak hukum tegas dan menindak penyimpangan yang dilakukan nelayan.

“Salah satunya menggunakan pukat trawl, karena sudah diatur dalam Undang-Undang Kelautan,” kata Rousdy.

Ia mengatakan, masalah penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut, diperlukan perhatian yang besar dan serius. Sebab, peningkatan kemampuan penegakan hukum dan pengamanan, harus mencakup suatu kerjasama antara kegiatan di darat, laut dan udara.

Disamping itu, harus ada berbagai usaha meningkatkan pengawasan, kontrol, penjagaan, serta kegiatan penyelidikan, penyidikan dan proses pengadilan yang ditata dengan baik.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah, setelah putusan pengadilan diberikan, ada kemampuan menampung para terhukum di penjara. Sehingga si terhukum tidak mudah menghindari hukuman. Karenanya, effektivitas dan kepastian hukum, harus dijadikan prioritas bagi penegakan dan pengamanan laut Indonesia.

Peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pengamanan wilayah pesisir dan laut, memerlukan sinkronisasi aplikasi teknis bagi institusi penegak hukum dalam prosesnya, terhadap tindak pelanggaran yang berlaku secara internasional di sektor kelautan.

Dalam hubungan kewenangan dan kewajiban yang mengikat pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan penataan wilayah perbatasan darat dan laut, perlu pemasangan simbol negara, pemanfaatan administrasi kependudukan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terutama pemahaman geopolitik pemerintah daerah, harus berkaitan dengan kualitas pemahaman tentang masing-masing titik kordinat patok tapal batas darat dan laut. Baik antarprovinsi, kabupaten/kota, maupun antarnegara.

”Harus dimaksimalkan, demi integritas dan keutuhan bangsa,” kata Rousdy.

Sementara itu, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, Hasjim Djalal, dalam suatu acara seminar kelautan di Pontianak, menyatakan, sosialisasi konsekuensi geopolotik Indonesia sebagai negara kepulauan.

Saat berbagai negara di dunia berpikir dan bertindak untuk memperbesar persatuannya, seperti menyatunya Eropa menjadi satu kesatuan, Indonesia justru semakin menyempit. Ini akibat munculnya pemahaman semangat kedaerahan, kesukuan, keagamaan, kepartaian dan golongan.

”Kondisi itu muncul, akibat bangsa Indonesia tidak lagi memperhatikan tiga tiang utama republik Indonesia,” kata Hasjim.

Menurutnya, tiga tiang utama yang tidak diperhatikan bangsa Indonesia yaitu, kesatuan kejiwaan sebagai bangsa Indonesia. Kesatuan kenegaraan Indonesia. Dan, kesatuan kewilayahan. Ketiga tiang utama ini, selalu mendapat cobaan dan tantangan, dari dunia luar maupun dari bangsa Indonesia sendiri.

Tiang kesatuan kebangsaan mulai ditantang semangat kedaerahan dan kesukuan yang timbul. Tiang kesatuan kenegaraan juga ditantang unsur separatisme di beberapa daerah. Begitu juga kesatuan ke wilayahan, juga ditantang semangat otonomi daerah, yang semakin hari semakin ingin lebih memanfaatkan laut Indonesia, secara sendiri-sendiri.

“Pemanfaatan laut secara sendiri-sendiri setiap daerah, semakin berpotensi membagi-bagi wilayah laut Indonesia. Yang seharus menjadi milik bangsa dan dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia, secara keseluruhan,” kata Hasjim.

Padahal, bangsa Indonesia harus berpikiran maju ke depan. Yaitu, menambah hak-hak berdaulat dan kewenangan-kewenangan tertentu di luar laut wilayah Indonesia yang ada sekarang. Jika pada konvensi Jenewa 1958, yang dianggap sebagai landasan kontinen hanyalah daerah dasar laut sampai kedalaman air 200 meter, maka dalam Konvensi Hukum Laut 1982, hak-hak berdaulat Indonesia telah diakui sampai ke seluruh daerah dasar laut.

Konvensi HUKLA 1982, memungkinkan Indonesia mengklaim landasan kontinen di luar batas 200 mil, melalui berbagai kriteria yaitu 60 mil dari kaki kontinen atau 100 mil dari kedalaman air 2500 m. Atau, juga sampai sedimen yang tebalnya 1 persen dari jarak ke foot of the slope dan minimal sampai batas 200 mil dari garis-garis pangkal.

“Tapi kenapa Indonesia tidak melakukan hal ini. Justru Indonesia membagi pengelolaan lautnya ke daerah-daerah, sehingga sering terjadi perselisihan antar nelayan daerah,” katanya.

Ia berharap, mulai sekarang seluruh bangsa Indonesia, harus berpikir luas ke depan terhadap wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara mencakup laut, darat dan udara.

Dalam mengelola kekayaan laut Indonesia, Hasjim menegaskan pengelolaan laut harus memperhatikan pelestarian lingkungan laut. Selain itu, pengelolaan kekayaan laut harus juga diiringi oleh penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut.

Tapi, sayangnya, untuk mengamankan laut Indonesia yang luasnya 6 juta kilometer persegi, pemerintah hanya menganggarkan Rp35 triliun untuk anggaran pertahanan. Dan, Rp3,4 triliun untuk anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan.

Akibatnya, laut Indonesia yang mestinya dijaga minimal oleh 400 kapal perang TNI AL, sekarang hanya dijaga 120 kapal perang. ”Dampaknya, laut Indonesia sangat terbuka untuk dimasuki kapal-kapal asing yang mencuri ikan di laut kita,” katanya.

Ia menyayangkan anggaran untuk TNI dan DKP yang jika ditotal hanya Rp38,4 triliun, sangat jauh dibandingkan dengan anggaran untuk Pemilu yang mencapai Rp76 triliun.


Nelayan, Potret Masyarakat Terpinggirkan

Jumaini merupakan potret nelayan kebanyakan. Ia berasal dari Desa Jeruju, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Ia sudah menjalani profesi sebagai nelayan, puluhan tahun lamanya. Sejak masih bujang hingga punya dua anak yang masih kecil. Jumaini merupakan nelayan pesisir pantai. Alasannya? Karena dia hanya beroperasi mencari ikan sekitar 3-4 mil dari garis pantai.

Ia menggunakan perahu motor. Perahu itu memiliki panjang tujuh meter dan lebar 1,5 meter. Perahu motor dibeli dengan modal sendiri. Harganya sekitar Rp 7 juta.

Setiap hari, ia melaut di sepanjang garis pantai. Sedari pukul 02.00 Wib, dini hari, ia harus meninggalkan rumah dan berangkat melaut. Meski angin pantai dan dingin udara serasa menusuk tulang, ia mesti meneguhkan diri dan berangkar melaut. Bila tidak, dapur dan pendaringan keluarga tidak bakal mengepul.

Bermodal perahu motor dan pukat, ia mengitari laut sepanjang 3-4 mil dari garis pantai. Ia menggunakan pukat udang dan bawal. Sekitar pukul 14.00 Wib, ia pulang ke rumah. Meski sudah seharian mengitari laut, namun rezeki yang dibayangkan, tak seluas laut yang luas membentang.

Hasil tangkapan berfariasi. Tidak tetap. Ada ikan bawal dan udang. Pada hari bagus, ia bisa mendapatkan uang sekitar Rp 300-500 ribu. Itu masih pendapatan kotor, belum dipotong ongkos bahan bakar dan es balok, untuk penyimpanan ikan.

Biasanya, ikan dijual pada agen. Ikan bawal dijual pada agen Rp 10 ribu per kilo. Udang wangka Rp 50.000 per kilo. Udang sayur Rp 15.00 per kilo.

Ada lima agen di Desa Jeruju. Sebelum dijual, hasil 30 persen hasil tangkapan, dibagi pada agen. Alasannya, pukat yang digunakan untuk menangkap ikan, berasal dari agen. Sebagian besar nelayan menggunakan pukat dari agen ikan. Sebab, harga pukat cukup mahal bagi nelayan.

Misalnya saja harga pukat jenis bawal yang berkisar Rp 95 ribu, untuk panjang tiga meter. Masyarakat biasa menyebutnya per pis. Panjang pukat yang digunakan untuk melaut berkisar 100-300 meter. Kalikan saja, berapa yang harus dimiliki nelayan, untuk beli pukat tersebut. Katakanlah, nelayan butuh pukat sepanjang 300 meter. Berarti, dia harus ada uang sebesar Rp 28 juta. Uang sebesar itu, tentu sulit diusahakan para nelayan.

Begitu juga harga pukat udang Rp 145.000 per tiga meter. Uang yang harus dikeluarkan untuk membeli, kalikan saja sendiri.

Masyarakat menggunakan ukuran depa, untuk menandai sebuah ukuran. Ukuran itu diambil dari panjang dua tangan orang dewasa yang direntangkan. Satu depa sekitar 150-170 cm.

Efektifitas bekerja nelayan dalam setahun, hanya enam bulan. Sisanya, tergantung cuaca. Biasanya pada Pebruari-Juli, merupakan cuaca bagus untuk melaut. Sisanya cuaca buruk dan musim ombak besar. Pada musim ini, dalam seminggu paling bisa melaut 2-3 hari saja. Meskipun cuaca tak bagus, nelayan tetap memberanikan diri ke laut.

Sulitnya mendapatkan dana awal bagi membeli pukat, BBM atau peralatan melaut lainnya, membuat nelayan selalu tergantung pada agen atau tengkulak. Hasil yang mereka peroleh, harus dipotong buat agen, atau harus dijual pada tengkulak sang pemberi modal. Akhirnya, kehidupan nelayan hanya berputar dan tergantung pada para pemilik modal ini.

Peran pemerintah dalam mengatasi hal ini? Tak ada. Sejak belasan tahun menjadi nelayan, pemerintah tak pernah berikan bantuan pada nelayan, seperti dirinya.

Hal yang sama dirasakan Suhermi, nelayan pesisisr di Desa Sibubus, Paloh. Ia juga belum merasakan bantuan dari pemerintah. “Jangankan perahu motor, untuk pukat saja, belum sama sekali mencicipinya,” katanya.

Ia mendengar pembicaraan teman sesama nelayan, sebenarnya bantuan ada. Tapi, ia belum tahu kebenarannya.

Pimpinan Resort, Kamal, berkata, bantuan untuk nelayan tiap tahunnya ada. Yakni berupa fiber, tempat penyimpanan ikan, dan jaring pukat. Hanya saja jumlahnya tidak besar. Bantuan langsung diserahkan melalui kelompok nelayan. Kemudian, kelompok nelayan tersebut yang menentukan, nelayan mana yang berhak mendapatkannya.

Data yang diperoleh dari TPI Tangaran di Kecamatan Paloh terdapat sekitar 195 nelayan tradisional. Jumlah itu tersebar di tiga desa. Yakni, Desa Sebubus dengan jumlah 55 nelayan. Desa Jeruju, berjumlah 65 nelayan. Desa Liku, berjumlah 75 nelayan.

“Itu jumah nelayan yang terdata. Sementara yang belum, diperkirakan kurang lebih sama,” kata Kamal.

Berdasarkan data dari tempat yang sama, hasil tangkapan nelayan pada tahun 2008, juga bisa dilihat. Dari TPI Desa Liku, jumlah tangkapan mencapai 20.764 kilogram. TPI Desa Tanah Hitam, 17.808 kilogram. TPI Temajok, 15.405 kilogram. Dan, TPI Arung Parak, 13.320 kilogram.

Dari data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas pada 2008, jumlah dan nilai produksi penangkapan ikan perairan laut se-Kabupaten Sambas, sebesar 20.986,5 ton. Bila dirupiahkan sekitar Rp 125.049.295. Jumlah itu terbagi di lima kecamatan. Diantaranya, Kecamatan Selakau, 4.735,3 ton atau sekitar Rp 12.453.133. Pemangkat, 7.206.7 ton, seharga Rp 38.904.931. Jawai sebanyak 2.109,9 ton atau Rp 22.051.882. Jawai Selatan, 904,2 ton atau Rp 9.450.807. Tangaran, 2.199,7 ton atau Rp 18.127.305. Paloh, 3.812,7 atau Rp 24.061.237.

Berdasarkan data yang sama, jumlah kapal motor penangkapan ikan perairan laut, menurut jenis ukuran berjumlah 2.219 buah. Terbagi dalam beberapa ukuran. Yakni, perahu tanpa motor berjumlah 679 buah. Motor tempel 308 buah. Kapal motor GT berjumlah 1.232 buah, meliputi lima kecamatan. Yakni, Jawai, Jawai Selatan, Selakau, Paloh, Tangaran dan Pemangkat.

Berdasarkan jenis alat tangkap, berjumlah 2741. Meliputi pukat udang, 420 unit. Pukat pantai, 141 unit. Pukat cicin, 53 unit. Jaring isang hanyut, 539 unit. Jaring insang tetap, 351 unit. Trammel net, 361 unit. Rawai tetap, 232 unit. Bagan tancap atau togok, 166 unit. Serok dan songko, 52 unit. Bubu, 242 unit. Alat penangkap kepiting, 29 unit. Jala tebar, 59 unit.

Dari reportase dan penelusuran yang dilakukan, mayoritas kawasan desa pesisir di wilayah perbatasan antarnegara di Indonesia dan Malaysia, masih merupakan kawasan tertinggal. Kondisi tersebut tercermin dari sarana dan prasarana fisik, sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas.

Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri tahun 2007, lebih memberikan gambaran bahwa, sebagian besar kawasan perbatasan antarnegara belum tersentuh oleh proses dan hasil pembangunan.

Ketidakterjangkauan pada sarana prasarana ekonomi dan sosial, mengkondisikan mayoritas masyarakat pesisir di wilayah perbatasan antarnegara, dalam kondisi kemiskinan. Padahal, masyarakat pesisir di perbatasan Sambas, memiliki nilai strategis.

Wilayah ini, secara geografis terletak di perbatasan antara Indonesia-Malaysia. Masyarakat pesisir di wilayah perbatasan antarnegara, secara umum dicirikan dengan kompleksitas masalah yang dihadapi. Hal tersebut menyangkut, tidak saja adanya karakteristik yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, melainkan jenjang masalahnya pun berbeda-beda.

Masalah tersebut dapat muncul dalam tingkatan individual, keluarga, komunitas, tingkat kabupaten, provinsi hingga nasional. Masalah dapat juga dilihat dan dikategorikan dari sudut kondisi geografis, ekonomi, politik, budaya, dan hubungan bilateral dengan negara tetangga maupun masalah yang terjadi di negera itu. Yang secara signifikan mempengaruhi dinamika pembangunan masyarakat pesisir di wilayah perbatasan.

Faktanya, masyarakat pesisir di wilayah ini, hidup dalam kesenjangan ekonomi yang sangat tajam dengan Malaysia. Ironisnya, kondisi kesenjangan ekonomi masyarakat di wilayah pesisir di Kabupaten Sambas, ada dalam wilayah dengan basis sumberdaya alam, berupa potensi perikanan dan kelautan cukup melimpah.

Wujud kesenjangan ekonomi dari masyarakat pesisir ini, terlihat dari tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat pada 2007-2008, memperlihatkan bahwa, jumlah penduduk miskin provinsi Kalbar, tertinggi dibandingkan provinsi di Kalimantan lainnya.

Berdasarkan data tersebut, angka kemiskinan di Kalimantan, berturut-turut sebagai berikut: Kalbar dengan 584.300 penduduk miskin atau 12,91 persen. Kaltim dengan 324.800 jiwa atau 11,04 persen. Kalteng dengan 210.300 atau 9,38 persen. Kalsel dengan 233.500 jiwa atau 7,01 persen.

Meskipun data statistik pada 2007-2008, menunjukkan terjadinya pengurangan pada angka kemiskinan di Kalbar, namun Kalbar masih tetap menjadi provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak di Kalimantan. Jika ditempatkan dalam konteks nasional, tingkat kemiskinan di Kalbar, menduduki peringkat ke 14 dari seluruh provinsi di Indonesia.

Data dari peneliti dosen UI, bekerjasama dengan mitra lokal, temanya Meneliti Masyarakat Nelayan Pesisir Perbatasan, awal Desember 2008. Kondisi kemiskinan masyarakat pesisir di wilayah perbatasan, bertambah parah dengan penerapan beberapa kebijakan ekonomi di tingkat nasional. Misalnya, kebijakan kenaikan harga bahan bakar. Meskipun, pada perkembangannya, BBM diturunkan lagi.

Dampak nyata dari kenaikan harga bahan bakar, mengakibatkan besaran pendapatan mereka menurun tajam. Sehingga nelayan harus mengurangi intensitas melautnya. Kemiskinan masyarakat pesisir semakin parah juga harus menanggung kenaikan harga kebutuhan barang-barang pokok.

Secara politik, masyarakat di wilayah perbatasan, juga ditandai dengan potensi terjadinya kekerasan komunal. Yaitu, kekerasan sosial yang terjadi antara dua kelompok masyarakat atau komunal. Kekerasan itu bisa berupa penyerangan yang dilakukan satu kelompok, terhadap kelompok yang lain.

Beberapa faktor yang diindentifikasi memicu kekerasan komunal, diantaranya karena faktor etnis, agama, kesenjangan sosial, dan afiliasi politik. Hal inilah yang ditengarai terjadi di wilayah Sambas. Dan, secara budaya, masyarakat pesisir pada umumnya, termasuk di wilayah perbatasan, dicirikan dengan persoalan dan rintangan budaya. Ciri itu berupa, sikap tradisional, pasrah pada nasib, dan ketergantungan secara individual maupun kolektif.

Melihat permasalahan tersebut, Pemkab Sambas memberikan alternatif dan penyelesaian, untuk menyejahterakan masyarakat pesisir. Salah satunya, dengan mengembangkan Minapolitan Jawai Selatan.

Pemkab Sambas menjadikan Jawai Selatan sebagai contoh proyek Minapolitan. Pemkab menyediakan luas lahan sekitar 448,3 hektar. Terdiri dari Desa Jawai Laut seluas 248,3 hektar, dan Desa Jelu Air seluas 200 hektar.

Pemkab juga membuat kawasan Hinterland Minapolitan Jawai Selatan yang meliputi, kawasan tambak Sebangkau seluas 1.219 hektar di Kecamatan Pemangkat, dan kawasan tambak Sarang Burung Danau, seluas 1.300 hektar di Kecamatan Jawai.

Bupati Kabupaten Samabas, Burhanuddin A Rasyid mengatakan, Kabupaten Sambas merupakan salah satu daerah pertanian Kalbar. Sambas memiliki potensi budidaya udang atau bandeng dalam tambak. Di Selakau, luas dan potensinya mencapai 352,8 hektar, dengan estimasi produksi 105,84 ton per tahunnya. Pemangkat sekitar 1.219,0 hektar, dan estimasinya mencapai 365,70 ton per tahun. Jawai, luas potensi sektar 1.300,3 hektar, dengan estimasi produksi mencapai 524,49 ton per tahun. Teluk Keramat luas 500,0 hektar, dengan estimasi produksi 150,00 ton per tahun. Paloh luas potensi mencapai 2.637,5 dengan esetimasi produksi tiap tahunnya mencapai 791,25 ton.

Kawasan Minapolitan Desa Jawai Laut, awalnya merupakan kawasan TIR-Trans Jawai. Dari 310 petak tambak yang ada, sebanyak 58 petak masih beroperasi dengan kondisi sarana dan prasarana seadanya.

Burhanuddin menjelaskan, sekarang ini, pengelolaan tambak terbatas pada pola tradisional, karena terajdi pendangkalan di saluran air dan petak tambak. Dari segi keterampilan, pengelolaan secara intensif petani tambak, sudah cukup berpengalaman. Pada awal operasi tambak TIR-Trans, pola budidaya yang diterapkan adalah pola intensif, sesuai dengan konstruksi petakan dengan luas 0,5 hektar per petaknya.

Burhanuddin tidak menampik, kondisi infrastruktur kawasan Minapolitan di kawasan tambak sangat terbatas. Misalnya, mayoritas jalan masih berupa tanah. Sarana air bersih belum ada. Sebagian besar saluran tambak sudah dangkal. Sehingga pemasukan air hanya bisa dilakukan, pada saat pasang tinggi.

Namun, pemerintah daerah juga sudah berupa melakukan perbaikan pada pembangunan sektor ini. Diantaranya, pada 2006, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sambas, membangun Balai Benih Udang (BBU) di Desa Jawai Laut, Kecamatan Jawai Selatan. BBU ini sudah mulai produksi benur windu pada 2007. Pemkab juga membangun fasilitas pembenihan ikan bandeng di lokasi BBU tersebut, pada 2007. Untuk menangani pendangkalan tambak, Pemkab bekerjasama dengan bidang Cipta Karya.

Keberadaan tambak merupakan potensi besar, guna memajukan Minapolitan Kabupaten Sambas. “Hanya saja, masih diperlukan optimalisasi kawasan Minapolitan yang ada,” kata Burhanuddin. Seperti, Jawai selatan dengan daerah Hinterland-nya, Kecamatan Pemangkat dan Jawai, sangat potensial dikembangkan.

Optimalisasi bisa dilakukan dengan normalisasi saluran dan penyediaan fasilitas lainnya, guna mendukung kegiatan tambak dan budidaya perikanan. Salah satunya dengan menindaklanjuti dan membentuk tim seleksi ini, melalui Surat Keputusan (SK) Bupati, untuk pendangkalan sungai dapat bekerjasama dengan bidang pengairan atau Cipta Karya.

Dalam menangani masalah konflik batas laut, pemerintah daerah memang sudah berusaha membuat terobosan dengan pengembangan perikanan darat. Namun, apakah “cara penyelesaian” itu, sudah menjadi substansi dari kasus-kasus yang sudah pernah terjadi, dan mencegah peristiwa yang sama kedepannya? Mengingat, wilayah Sambas merupakan “zona panas” yang pernah menjadi medan tempur, dan menimbulkan peristiwa kemanusiaan dan konflik sosial yang luar biasa besar.
read more...

Banjir Sambas Bukan Takdir

Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Sambas

SUNGAI Sambas kebanjiran, tujuh hari tujuh malam, nak bejalan kepayahan.
Geratak Sabuk bepatahan, dilanggar lanting, dari sembarang. Urang sabuk kebabangan, nak nyebarang kepayahan.
Oooo ngape tang gaye.. jikube..jikube …
Gimane lah udek.. jak udah takdir Tuhan.

Kalimat di atas adalah sepenggal bait lagu "Sungai Sambas Kebanjiran" yang dirilis tahun 1960-an. Lagu itu menggambarkan kisah, dimana Geretak Sabuk, salah satu jembatan peninggalan jaman penjajahan Belanda putus diterjang banjir. Dan sekarang lagu ini sudah melekat di hati masyarakat Sambas. Bahkan sebelum Kabupaten Sambas memisahkan diri dari Kota Singkawang. Dan hingga kini lagu musibah itu masih melekat di Kabupaten Sambas.

Banjir mengakibatkan aktivitas lumpuh. Para pegawai dan karyawan harus berpisah dari kantornya. Nelayan menjadi jauh dari kapalnya. Pelaku usaha kesulitan menjalankan usahanya. Begitu juga dengan nasib petani, harus rela berpisah dari lahannya.
Jika ditanya perasaan mereka karena banjir, yang ada tentu cemas, gundah, gelisah. Semua bercampur. Terutama bagi petani, berladang satu-satunya keterampilan yang dimiliki. Dengan berladang ia menghidupkan anak dan istrinya. Dengan kedatangan banjir pula, petani harus mengungsi.

Itulah yang dialami Hanafi, korban banjir, warga Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau, selama dipengungsian, akhir Desember lalu.
Ia terpaksa mengungsi bersama kelurganya dan 78 kepala keluarga (KK) lainnya, di Balai Pelatihan Pertanian, Desa Sungai Daun, Kecamatan Selakau. Waktu itu ketinggian air mencapai satu meter dari lantai rumah. Puluhan anggota Tagana datang dengan perahu motor. Dan mengangkut ratusan warga. Seketika itu desanya menjadi sepi.
Harta benda ditinggalkan. Rumahnya tergenang. Sementara padi sawah baru saja ia semai seluas dua borong dibiarkan tenggelam. "Gagal panen sudah pasti," cerita Hanafi.

Hanafi merupakan satu dari sekian petani padi asal Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau yang sudah belasan tahun menggarap lahan pertaniannya. Setiap mamasuki akhir tahun itu juga, ia selalu berada di pengungsian, jika air sudah naik ke permukaan rumahnya, ketinggian mencapai satu meter.

Selama di pengungsian, setiap harinya harus menjalankan aktivitas gotong royong. Ada yang membelah kayu untuk memasak. Mencuci beras. Memotong sayuran. Menyiangi ikan. Bahkan beberapa ibu-ibu sedang menyapu halaman.

Sementara anak-anak yang ikut orang tuanya mengungsi. Rata-rata masih duduk di bangku SD dan SMP. Mereka hanya bisa bermain bersama beberapa anak lain di seputar halaman. Beberapa dari mereka memperhatikan para ibu dan bapak mereka saling membagi tugas.

"Kebiasaan itu sudah dimaklumi warga yang mengungsi," kata Hanafi. Sebagai warga korban banjir yang menumpang.
Memang, disana untuk luas penampungan sangat cukup. Ada tiga barak yang tersedia. Masing-masing barak bisa menampung tiga ratusan orang. Jika menjelang siang, suasana terlihat ramai. "Maklum saja, tidak sedikit anak-anak ikut mengungsi. Teriakan, tangisan dan candanya ikut menggema. Lengkaplah sudah suasana pengungsian, kata Ruslan, juga korban banjir yang ikut mengungsi.

"Disini warga yang mengungsi rata-rata berwajah lama," kata Ruslan.
Tanpa disuruh pun, mereka sudah bisa menempatkan posisinya untuk membagi tugas. Karena dari pengalaman sebelumnya, paling cepat lima belas hari sampai sebulan.
Bagi Ruslan, banjir melanda Desa Dayung Bersambut berbeda dengan banjir di daerah lain, karena banjir ini, banjir kiriman. Sementara daerah lain karena disebabkan air pasang laut dan curah hujan tinggi.

Di desa kami hanya ada satu aliran sungai, yang menghubungkan langsung dengan Kabupaten Bengkayang. Sementara desa kami berada ditengahnya. Sungai tadi memang sudah dibangun dua pintu air, setinggi lima meter, yang ditempatkan di perbatasan Bengkayang dan kecamatan Selakau.

Nah, mengingat pintu airnya dekat dengan Kabupaten Bengkayang yang merupakan dataran tinggi, mungkin pintu air disana sengaja dibuka. Untuk mengurang debit air disana yang juga ikut terendam. Sehingga aliran air tadi sampai di desa kami yang berada ditengahnya. “Butuh waktu lama menantikan air kembali surut,” kata Ruslan.

Setelah itu, air kembali surut , tepatnya (30/12), baik Hanafi maupun Ruslan beserta warga lainnya pulang dari tempat pengungsian. Kembali ke rumah. Seperti biasa, sesampainya di rumah, mereka membersihkan seisinya dari lumpur yang menempel, di dinding dan lantai, sisa banjir. Lemari kayunya lapuk dan mengelupas. Yang tersisa hanya barang-barang rusak yang terendam air lumpur berhari-hari, kata Hanafi.

Syukurlah, pulang dari pengungsian, Hanafi dibekali 5 kilo beras dan satu dus mie instan hasil pembagian dari Pemerintah Sambas. Jadi pulang ke rumah masih bisa makan bersama keluarga.

”Sudah dua minggu saya tidak berladang, pastinya pendapatan tidak ada.” Memang penghasilan berladang tidaklah cukup untuk kebutuhan sehari- hari. Istrinya bernama Nurmala hanyalah ibu rumah tangga saja. Sementara kedua anaknya baru duduk
Di bangkus SMP dan SD.

Sebagai penghasilan sampingan, saya mencari kayu cerucuk di hutan. Memakan perjalanan tiga hingga empat kilo. Satu hari ia bisa dapat lima hingga sepuluh batang. Untuk satu batangnya ia jual di penampungan seharga Rp 2.500 per batang.
“Pekerjaan sampingan itu juga diikuti petani disini.” Untuk mencukupi kebutuhan dapur dan ketiga anaknya yang masih sekolah.

Jika banjir sudah datang, aktvitas pun lumpuh total. Tidak bisa mencari kayu di hutan dan tidak bisa berangkat keladang. Sambil menunggu air naik, yang bisa dilakukan hanya memancing ikan di sungai terdekat. Itu juga diikuti warga lain. “ Lumayan satu dua kilo bisa ia dapat. Ikan betok dan ikan gabus.

Setelah itu, ia dipertemukan lagi dengan sawahnya seminggu lebih ia tinggalkan. Lalu menyemai kembali padi yang mati. Untuk bibit, ia dan 78 KK lainnya mendapat bantuan dari kecamatan untuk menanam kembali padi yang rusak akibat banjir. Baru saja disemai, memasuki, Senin (5/1), hujan kembali mengguyur, hampir merata di 19 kecamatan, kabupaten Sambas. Itu berlangsung tiga tanpa berhenti. Hampir semua warga menduga. “ Banjir datang lagi.” Dan itu terbukti adanya, sawahnya kembali tergenang, padi puso tak dapat dihindari.

“Jika sudah begini, sumber penghasilan kembali akan lenyap,” tuturnya.


Puncaknya, Jumat (16/1), Tiga ratus tujuh puluh satu jiwa korban banjir, Desa Dayung Bersambut, Kecamatan Selakau dievakuasi. Dan aktivitas pertanian kembali lumpuh total. 998 rumah di kecamatan Selakau terendam. dengan ketinggian air rata-rata 10 sampai dengan 30 centimeter dari lantai rumah. Ini melanda di beberapa titik titik desa, diantaranya, Semelagi Besar, Sui Daun, Twi Mentibar dan Bentunai.
Banjir juga melaus di kecamatan lainnya dengan tinggi air mencapai 200 centimeter dari lantai rumah.

Dari data Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana Kabupaten Sambas per (15/1), Banjir paling parah melanda Kecamatan Teluk Keramat. Di kecamatan itu, 1.522 KK rumahnya terendam banjir hingga satu meter di 14 desa Desa yang tergenang meliputi Desa Kp Keramat, Mekar Sekuntum, Samustida, Teluk Kembang, Pipiteja, Lela, Tanjung Keracut, Sungai Kumpai, Tambatan, Sungai Baru, Teluk Kaseh, Berlimang, Sengawang, dan Puringan.

Di kecamatan Sebawi, sebanyak 911 jiwa dari 217 KK diungsikan diantaranya di SDN 05 Sebawi, SDN 04 Spuk Tanjung dan SDN3 Sungai Sebedang.
Sementara di kecamatan Salatiga, 354 KK dari lima desa terendam banjir, dan semuanya diungsikan di rumah keluarga dan di posko desa. Lima desa tadi diantaranya, Desa Salatiga, Sungai Toman, Serunai, Serumpun dan Parti Baru. Untuk kecamatan Pemangkat, desa Harapan sebanyak 95 orang dievakuasi di SMAN 1 Pemangkat.

Dan kecamatan yang mengalami banjir, diantaranya, Kecamatan Selakau, Semparuk, Sajad, Teluk Keramat, Sejangkung, Tebas, Salatiga, Jawai Selatan, Pemangkat, Galing, Sajingan Besar, Selakau Timur, Sambas, dan Jawai.

Segalanya terjadi dengan mendadak. Bibit padi baru saja disemai. Tenaga dan keringat dipertaruhkan. Untuk menggarap ratusan meter persegi petak sawah. Tiba- tiba hujan deras mengguyur. Perlahan, air mulai naik. Dari satu centimeter hingga satu meter. Lalu menenggelamkan semuanya. Padi dan rezeki petani.

Memang, jauh sebelumnya, tepatnya, Selasa (7/10) lalu. Sekretaris Daerah Kabupaten Sambas, Tufitriandi memprediksi bahwa Sambas memasuki akhir tahun akan mengalami bencana yang banjir yang cukup besar secara merata.

Kemudian ia membuat surat edaran isinya berupa himbauan dan menyiagakan kembali Satlak BP. Namun himbauan tadi memang realistis sekaligus menunjukan ketidakmampuan dan rasa frustasi pejabat daerah dalam menanggulangi banjir.


Bencana banjir yang terjadi di sejumlah kecamatan tersebut, telah menyebabkan para petani mengalami kerugian yang cukup besar.
“Rata- rata kerugian tiap petani akibat banjir bisa mencapai Rp 5-7 jutaan,” kata Armawi, Kepala Desa, Gayung Bersambut.

Ia mencontohkan, rata- rata petani di desanya memiliki sawah seluas 200 meter persegi. Dan bisa menghasilkan setengah ton padi. Jika dihitung satu kilo Rp 2400-2500, berkisar 5 jutaan bisa petani dapatkan. Hasil panen itu bisa dilakukan setahun dua kali. Mengingat setiap akhir tahun selalu banjir, jadi petani hanya bisa menikmati setahun sekali.

Sementara data dari Kasi Tanaman Pangan dan Holtikultura, Dinas Pertanian Sambas, Nazimi, tahun 2008 dilaporkan, akibat banjir yang melanda sebanyak 3069 hektar padi gagal panen karena puso. Kerugian petani terutama pada biaya tanam, pupuk dan benih yang telah dikeluarkan.

Jika dihitung satu hektare saja, untuk biaya sarana produksi pertanian sekali musim tanam termasuk keuntungan yang didapat sebesar Rp10 juta lebih, maka total kerugian petani kita akibat banjir mencapai Rp 30 miliar.” Dengan asumsi, 1 hektar bisa menghasilkan 3,5 ton dikalikan satu kilo padi seharga Rp 2.400-2.500. “ Itu belum termasuk biaya produksi, seperti pupuk dan bibit padi, kata Nazaimi.

Untuk tanaman lainnya, yakni jeruk, per petani juga mengalami kerugian hingga Rp 6 juta akibat banjir, karena buah yang siap panen mengalami keguguran akibat terlalu lama terendam air. Dengan asumsi hasil panen jeruk 50 keranjang, satu keranjang 40 kilogram atau 2.000 kilogram dikali Rp 3.000 perkilonya, kata Fahmi, kepala Desa Sempalai, Kecamatan Tebas.

Sementara untuk perkebunan, dari data Satlak PB, per (15/1), di Kecamatan Teluk Kramat, seluas 4.073 hektar kebun karet milik rakyat, sementara ini tidak bisa ditoreh, karena terendam banjir.

Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas, Ateng Hartono mengatakan, tahun 2006 saja, luas panen padi sebesar 75.109 Ha, pada tahun 2007 meningkat sebesar 4,53 persen, dimana luasnya menjadi 78.515 Ha.

Sementara untuk produktivitas tanaman padi, tahun 2006 sebesar 31 ku/ha, sedangkan tahun 2007 meningkat menjadi 32,43 ku/ha.

Dan untuk tanaman padi sawah memberi kontribusi terbesar terhadap produksi padi di Kabupaten Sambas. Berdasarkan data 2007, dari total produksi padi yang mencapai 254.610 ton, sekitar 96,98 persen berasal dari padi sawah dan hanya 3,02 persen dari padi ladang.

Dan untuk luas areal jeruk Siam Sambas, saat ini mencapai 6.928,07 hektar. Areal tanaman yang sudah berproduksi mencapai 3.389, 39 Ha dengan produksi mencapai 13.595, 17 ton. Pada tanaman yang telah berumur antara 3-4 tahun, rata- rata produktivitas tanaman berkisar 10 kg-15 kg per pohon.


Semakin terpuruknya petani padi di kabupaten Sambas yang sering dilanda banjir, Ketua Ikatan Sarjana Pertanian, Misni Safari berkata, pemerintah Kabupaten Sambas perlu menciptakan sistem pertanian modern, karena sistem bercocok tanam yang ada sekarang dinilai kurang dalam peningkatan produktivitas hasil pertanian, khususnya padi.

Sistem pertanian modern yang dimaksud, dengan menerapkan jenis pertanian yang disesuaikan dengan iklim. Karena pertanian yang ada masih tergantung dengan iklim.

Ia mencontohkan, banyak petani saat menyemai padi, memasuki akhir tahun selalu kandas karena padinya terendam air. Itu disebabkan petani kita tidak tahu kapan banjir datang. Karena banjir tidak bisa diprediksi. Dan diperparah lagi, baik Dinas Pertanian maupun penyuluh pertanian seakan berdiam diri tanpa ada suatu langkah yang nyata untuk petani. “Kapan waktu harus menyemai dan kapan waktu panen.”

Ia mencontohkan seperti negara Jepang, dimana petaninya menanam jenis tanaman yang disesuaikan dengan iklim, seperti daerah yang beriklim salju, maupun tropis. Dan pemerintah Jepang sendiri sudah memetakan daerah pertanian yang dimaksud.

Untuk Pemerintah Kabupaten Sambas perlu meniru seperti pertanian Jepang. Selalu memetakan daerah, mana yang cocok lahan pertanian dan mana yang cocok untuk lahan perkebunan.

Itu artinya, jika banjir sudah menjadi agenda tahunan, pemerintah daerah harus cepat tanggap dengan cara mengalihkan masih memungkinkan untuk pertanian atau tidak.

Akibat Banjir, beberapa aktivitas produksi dunia usaha kecil menjadi terganggu mengakibatkan tidak bisa produksi dalam beberapa hari, salah satunya, Anen, pemilik kengrajin keranjang bambu, desa Sempalai, kecamatan Tebas.

Sejak (5/1), hujan mengguyur daerahnya, mengakibatkan tempat produksinya mengalami genangan air, sehingga empat hari usahanya tidak berproduksi. Sehingga ia alami kerugian berkisar Rp 5 jutaan. Asumsinya, dalam sehari ia memproduksi 150 keranjang dan ia jual dengan harga Rp 15.000. Hasil tadi jika dikalikan tiga hari saja alami banjir. Kerugian tadi belum ditambah dengan pengrajin keranjang bambu lainnya. Untuk desa Sempalai sendiri , kurang lebih ada 20 usaha serupa seperti Anen.

Belum lagi kerugian kendaraan bermotor alami mogok akibat beberapa ruas jalan terendam hingga ketingian air mencapai 50 centimeter.
Toto, pria yang bekerja di bengkel “Murni Motor “Jalan Gusti Hamzah, Sambas, mengatakan, dalam sehari, setidaknya 40 motor singgah di bengkelnya. Penyakit sepeda motor tersebut sama, mogok gara-gara banjir.
“Kalau hari biasa, hanya 10 sampai 15 motor saja yang datang ke sini, tapi sekarang jauh lebih banyak,” ungkap Toto.

Kebanyakan motor yang mogok itu, gara-gara nekat menembus banjir. Dan rata-rata sepeda motor yang mogok karena busi, karburator, dan saringan udara yang terendam air. Untuk tarif rata- rata dikenakan pada pemiik kendaraan berkisar Rp 10 ribu sampai 30 ribu. Itu belum termasuk jumlah bengkel lainnya yang mengalami ketiban rezeki, lagi- lagi akibat banjir.

Itu belum ditambah dengan berapa kerugian bagi pelaku usaha budidaya udang dan bandeng dalam tambak, kemungkinan tambaknya jebol akibat banjir, meskipun belum ada data resmi dari Dinas Perikanan Sambas.

Di kecamatan Selakau misalnya, jumlah areal budidaya tambak mencapai 352,8 hektar dengan estimasi produksi 105,84 ton per tahunnya. Pemangkat sekitar 1.219,0 hektar dan estimasinya mencapai 365,70 ton pertahun, di Jawai, luas potensi 1.300,3 hektar, estimasi produksi mencapai 524,49 ton pertahun, Teluk Keramat luas 500,0 hektar, estimasi produksi 150,00 ton pertahun, dan Paloh luas potensi mencapai 2.637,5 dengan esetimasi produksi tiap tahunnya mencapai 791,25 ton pertahun.

Banjir juga mengakibatkan kerugian non fisik, salah satunya terjadi penambahan jumlah pengangguran di Kabupaten Sambas. Kepala BPS Sambas, Ateng menyebutkan, sebagian besar, yakni 71,43 persen atau 255.241 orang penduduk usia 15 tahun ke atas di kabupaten Sambas bekerja di sektor pertanian. Jika banjir kali ini melanda hampir merata di sejumlah kecamatan kabupaten Sambas, kurang lebih 255.141 sudah bisa dipastikan menganggur.

Bagi Ateng, sektor pertanian, selain memberi pangsa pasar tertinggi terhadap prekonomian kabupaten Sambas, juga memberi kontribusi terbanyak penyerapan tenaga kerja.

Hasil Sakernas, kondisi Agustus 2007, menunjukkan sebagian besar pekerja yaitu 32,37 persen status pekerjaannya adalah sebagai pekerja tak dibayar. Sekitar 29,85 persen merupakan pekerja dengan status berusaha dibantu buruh tidak tetap. Sekitar 16,98 persen status berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan sekitar 15,31 persen status pekerjaannya sebagai buruh, karyawan dan pegawai.

Itu artinya Tingkat Produktif Relatif (TPR) yakni perbandingan antara kontribusi sektor pertaian terhadapap prekonomian dengan kontribusi tenaga kerja terhadap total tenaga kerja sebesar 43,10 persen. “ Angka yang cukup besar,” kata Ateng.

Jika ditanya berapa keseluruhan total kerugian akibat banjir, ternyata Pemerintah Daerah tidak ada yang bisa menjawab, meskipun banjir yang melanda bukan yang pertama kali.

Buktinya, pada saat saya bertanya pada wakil Bupati Kabupaten Sambas, Juliarti yang juga Ketua Satlak PB Sambas tak bisa menjawab, berapa sebenarnya total kerugian akibat banjir.

Hal senada juga dilontarkan Kepala Badan Perencanaan Daerah Sambas, Sanusi, ia hanya berkata, “Bapeda tidak punya data total kerugian banjir tahun 2009 dan tahun sebelumnya. “ Coba tanyakan pada Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi.

Lalu saya tanyakan pada kepala Dinas Nakertransos, Abdul Gafar, dan ia mengatakan, “Coba tanyakan pada kasi sosial, Muhaimin.” Jawabannya juga sama dengan Bapeda. Pihaknya tidak pernah mendata kerugian banjir sebelumnya. Yang dilakukan hanya berkoordinasi penanggulangan dan memberikan bantuan.

Begitu juga saat saya konfirmasi kepada Dinas Pekerjaan Umum, Kasi Sumber Daya Air dan laut, Abdul Latif, lagi- lagi jawabannya sama, tidak penah melakukan pendataan kerusakan infrastruktur akibat banjir.

Belum sampai disitu, saya kemudian bertanya kembali pada Dinas Pertanian, dari pengakuan Kasi Tanaman Pangan dan Holtikultura, Nazimi, dia hanya punya data luas areal lahan pertanian yang terendam tahun 2008, yakni 3069 hektar padi alami puso.”
Sementara tahun- tahun sebelumnya tidak pernah didata.


Hal senada juga dikatakan kepala Badan Pusat Statistik Sambas, Ateng Hartono, instansinya belum pernah mendata berapa kerugian sebenarnya, setiap banjir melanda kabupaten Sambas.

Namun ia berkilah, sebenarnya kerugian banjir bisa ditafsir dengan menggunakan tabel Input Output. Lama penghitungannya bisa dilihat dalam seminggu.

Namun untuk di Sambas sendiri, mutu SDM BPS masih rendah. “ Kita belum mampu untuk kesana, “ kata Ateng.

Dan terakhir, jawaban yang sama juga terlontar dari pengurus Satuan Penangulangan Bencana (Satlak PB) Kabupaten Sambas, Erwin, katanya data sebagian kerugian banjir sudah terbakar pada waktu sekretariat masih di kantor bupati yang terbakar beberapa tahun silam.

Senin (12/1) lalu, Bupati Sambas, Burhanuddin A Rasyid memantau lokasi terendam banjir. Ia tidak sendirian, beberapa instansi terkait juga ikut mendampingi. Sebut saja, Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Transmigrasi, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan. Dengan menggunakan 3 kapal motor. Rombongan bertolak dari rumah Bupati Sambas menuju Desa Jambu dan beberapa desa di Kecamatan Sajad, Sejangkung, dan Kecamatan Tebas yang merupakan titik banjir.

Sebuah pemandangan biasa, seorang pejabat mengunjungi warganya yang tertimpa musibah. Dan pemandangan itu bukanlah yang pertama kali. “Setiap ada banjir, selalu ada kujungan dari pejabat.”

Namun yang mengherankan, saat ditanya berapa total kerugian banjir untuk Kabupaten Sambas. “ Tidak ada yang bisa menjawabnya.”

Jadi, jelaslah sudah, kunjungan yang dilakukan pejabat hanya bersifat seremonial saja. buku dan balpoin memang dibawa, tapi tak pernah untuk dicatat.
“Berapa kerugian banjir.” Pertanyaan yang gampang- gampang susah, Bukan?

Aktivis lingkungan, juga sebagai Direktur Lembaga Pengkajian Arus Informasi Regional, Deman Huri menyimpulkan, sebab banjir yang melanda Kabupaten Sambas dan daerah lain karena kerusakan hutan.

Apabila kita melihat lebih seksama, banjir bukan semata-mata proses alamiah karena meningkatnya intensitas hujan, tetapi bencana banjir karena semakin meningkatnya eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan dan tidak terkendali. Banjir yang terjadi merupakan dampak atas kebijakan pembangunan yang belum memberikan sentuhan positif terhadap tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam.

Sekjen Serikat Tani Serumpun Damai, Syahrial berkata, Pemda tidah pernah mau belajar, karena banjir ini telah terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun, maraknya penerbitan izin tambang dan konversi hutan menjadi perkebunan sawit skala besar menjadi penyebab utama bencana banjir ini.

Selain itu, rendahnya tingkat kemampuan hutan sebagai kawasan penyerap air, penyimpan air, dan mendistribusikannya secara alamiah menyebabkan banjir tersebut. Kondisi hutan yang semakin rusak akibat adanya penghancuran sumber daya alam yang menjadi penyebab semua ini.

Jadi, jelaslah bahwa kesalahan dari pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kemampuan daya dukung atas lingkungan merupakan penyebab utama dari bencana banjir tersebut. Juga jelas terlihat bahwa eksploitasi sumber daya alam tidak pernah memperhatikan aspek ekologis serta sosial.

Kembai ke Deman, kita melihat hutan selalu dipadang dari kacamata draiven market (dorongan pasar), sehingga masyarakat dan pemerintah berlomba-lomba mengekplotasi hutan secara besar-besaran tanpa memerhatikan kelestarian dan nasib generasi akan datang.

“Sesuai dengan teori ekonomi, mengeluarkan modal sekecil-sekecilnya dan mengambil untung sebesar-besarnya.” Begitu juga dalam pengelolaan di sektor kehutanan. “Para pengekplotasi hutan enggan mengembalikan hutan ke bentuk semula, karena akan mengeluarkan modal yang besar,” katanya.

Ketika melihat sektor kehutanan hanya dari sisi draiven market, maka menyebabkan konversi lahan berlebihan, misalnya mengubah lahan hutan menjadi perkebunan dan pertambangan seperti yang dilakukan oleh perusahaan di sektor perkebunan di Kalbar.

Salah satu indikasi, Deman menyebutkan, karena saat ini selalu adanya benturan kepentingan, antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Benturan kepentingan ini menyebabkan terjadinya mismanajemen dalam penggelolaan sumber daya hutan. Ia mencontohkan, pemerintah pusat memplot kawasan hutan A menjadi kawasan konservasi, sementara pemerintah provinsi dan kabupaten memplot kawasan hutan tersebut dijadikan kawasan perkebunan, sehingga konflik berkepanjang antara pemerintah pusat dan daerah ini juga ambil andil dalam perusakan hutan.

Yang jelas kesemua faktor tersebut telah menyebabkan kerusakan di sektor kehutanan, sehingga terjadi prahara di sektor tersebut. Yang lebih dikenal dengan prahara ”mahkota hijau”, sektor kehutanan yang dahulu kala menjadi salah satu sektor dominan dalam memenuhi kebutuhan rakyat di sekitar hutan dan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan devisa negara. Namun sekarang, sebaliknya setelah terjadi prahara di sektor kehutanan, bencana akan selalu menghantui republik dan daerah ini. Pemerintah harus menanggung biaya sosial dan ekologis yang tidak terhitung nilainya.

Jika ini tidak ditanggapi dengan serius, bencana akan selalu menghantui daerah ini. Seperti, banjir, kemiskinan, musnahnya ribuan keanekaragaman hayati, kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan berbagai bencana lainya.

“Bencana yang terjadi saat ini tidak akan hanya dirasakan oleh generasi saat ini saja, tetapi bencana ini akan berlanjut dan dirasakan oleh anak cucu kita. Apabila prahara Mahkota Hijau terjadi terus menerus dan tidak diatasi secara serius, ungkap Deman.

Kasi Pemantauan dan Pengawasan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sambas, Jimmi membenarkan, hutan memberikan pengaruh pada sumber alam lain melalui tiga faktor yang berhubungan, yakni iklim, tanah dan pengadaan air di berbagai wilyah. Apabila hutan ditebang atau rusak maka pengaruh hutan dan belukar terhadap iklim sangat terasa, misalnya, pohon- pohon semakin tidak mampu mengurangi kecepatan angin sehingga akan mengurangi penguapan air dari tumbuhan. Hutan juga berpengaruh terhadap struktur tanah, erosi, dan pengadaan air di lereng- lerang. Secara umum, adanya hutan dapat mengurangi banjir, karena hutan mampu menyimpan dan menahan air dalam tanah, mempertahankannya serta memperbaiki permeabilitas tanah dan ruang pori-pori dalam tanah. Akibat pengundulan hutan oleh penebangan kayu bertanggung jawab atas kira- kira 30 persen banjir yang terjadi.

Ini bisa dilihat daerah perbatasan Kabupaten Sambas, dimana kondisi penutupan lahan di wilayah itu menunjukkan trend penurunan dari tahun ke tahun. Akselerasi penurunan kualitas ini semakin meningkat sejak diberlakukannya otonomi daerah yang memberikan kesempatan luas pada masyarakat untuk mengelola lahan secara langsung, terutama pada kawasan hutan. Penurunan kualitas penutupan lahan pada umumnya berubah menjadi vegetasi kerapatan sedang- rendah (hutan sekunder), semak belukar, hingga lahan terbuka yang menjadi indikasi terbentuknya lahan kritis.

Ia menambahkan, faktor lain penyebab banjir, berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sambas tahun 2007. Berdasarkan kualifikasi iklim, wilayah kabupaten Sambas dikenal sebagai daerah penghujan dengan intensitas hujan di atas 2.000 mm pertahun. Pada tahun 2003 saja, rata- rata jumlah hari hujan bulanan adalah 16 hari dengan rata-rata curah hujan mencapai 358,17 mm perbulan. Intensitas hujan yang cukup tinggi ini, terutama dipengaruhi oleh daerahnya yang berhutan tropis dan disertai dengan kelembaban udara yang cukup tinggi, yakni berkisar antara 86-88 persen.

Kemudian, berasarkan topologi, Kabupaten Sambas pada umumnya landai hingga datar. Dilihat dari ketinggian tanah dan permukaan laut. Misalnya saja ketinggian antara 0-7 meter, terdapat di kecamatan Sejangkung, Sambas, Tebas, Selakau, Pemangkat , Jawai, Teluk Keramat, dan Paloh.

Dan tak kalah pentingnya penyebab banjir di Kabupaten Sambas adalah akibat pendangkalan muara sungai bagian hilir dari sebuah sungai, ini disebabkan kerusakan bibir pantai yang berhubungan dengan laut sehingga jika terjadi pasang surut air, sirkulasi aliran air menjadi terhambat.

Semestinya Pemda Sambas harus berkaca dari pengalaman. Banjir bukanlah musibah yang tidak ada obat penangkalnya. Menerjunkan ratusan tenaga relawan setiap tahunnya memasuki musim banjir tidaklah cukup mengobati penderitaan masyarakat yang menjadi korban. Meskipun ratusan bantuan logistik, baik itu sembako maupun obat- obatan didatangkan. Harus ada sebuah kebijakan untuk memerangi banjir dimulai dari sekarang, meskipun dana itu tidak sebanding dengan kerugian akibat banjir, kerugian tiap tahunnya mencapai ratusan miliyar lebih.

Menanggapi hal itu, Kepala Bidang Pengairan Sungai, Laut dan Air Baku, Dinas Kimraswil Kabupaten Sambas, Abdul Latif mengtakan, Pemda bukanlah tanpa usaha untuk memerangi banjir, salah satunya dengan menganggarkan dana untuk normalisai sungai. Tahun 2008 saja, alokasi dana yang digunakan sebesar sebesar Rp 21.828.027.000, dengan panjang sungai mencapai 470.910 meter di sembilan belas kecamatan. Normalisasi sungai ini berdasaarkan permintaan dari masyarakat melalui Musrembang di tiap desa.

Sementara Asbeni, Ketua Komisi B, DPRD Sambas, menilai, nomalisasi sungai tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi banjir yang terjadi, karena normalisasi hanya bersifat formalitas, artinya tidak melakukan kajian secara mendalam, titik-titik mana saja sungai yang mengalami pendangkalan.

Ia menyarankan agar pemerintah sudah saatnya membuat program kanalisasi yakni dengan membuat aliran air yang baru, dimana berfungsi untuk mengeluarkan air ke laut bagi daerah yang terendam banjir, seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta. “Ini lebih efektif, meskipun harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit,” katanya lagi.
read more...

Selasa, 01 Juni 2010

Berburu Ubur- Ubur di Pantai Terpanjang di Indoneisa

Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Sambas

Jika kita ditanya, sungai apa yang terpanjang d Indonesia. Kita sepakat, jawabanya adalah sungai Kapuas, ada di Pontianak.
Lain pertanyaan, pantai apa yang terpanjang di Indonesia? Jawabannya bukan pasir panjang, di Singkawang, tapi pantai Temajuk, di desa Temajuk, kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas.

Merupakan sebuah kawasan perbatasan, antara Temajuk dan Telum Melano Malaysia, memiliki pantai berpasir putih memanjang menebar panorama pantai bagi yang pernah berkunjung ke sana. Kawasan itu merupakan kawasan yang berpotensi dikembangkan menjadi daerah wisata bahari, karena suanasanya masih alami,ditemani dengan deretan pohon cemara berbaris rapi di tempi pantai dengan deburan ombak besar menjilat pantai.

Belum lagi habitat penyu hijau yang bertelur pada musin tertentu, merupakan penyu langka yang ada di dunia. Sunguh menakjubkan.
Tapi sayang, di Temajuk, telur penyu sangat bebas diperdagangkan. Di sana banyak warga memburu telur penyu pada malam hari pada saat penyu bertelur. Hal itu disebabkan disana tidak ada pengawasan ketat, bagaimana sebenarnya telur penyu dilarang untuk diperdagangkan.

Terlepas dari itu semua. Pengunjung yang sudah menginjakkan kaki ke sana, mereka berdecak kagum, ternyata ada pantai yang lebih indah di banding pantai Kuta, Bali, yakni pantai Temajuk.Percaya atau tidak, silahkan saja berkunjung ke sana.
Eiit…tunggu dulu.. pengunjung harus bersiap – siap menerima resiko dan tantangan. Karena daerah tersebut masih terisolir, hanya bisa mengunakan kendaraan roda, itupun harus menempuh jalan di bibir pantai menempuh perjalanan sepanjang 90 kilometer atau selama dua jam perjalanan. Itupun tergantung air laut surut, pada pukul 05.00 -11.00 atau 17.00-19.00. Tinggal memilih waktu yang tepat bagi pengunjung yang ingin menikmati keindahan panorama pantai Temajuk .

Meskipun medan perjalanan yang panjang dan melelahkan, akan terasa ringan menikmati perjalanan sampai ke desa Temajuk. Apalagi jika anda sudah bertemu dengan masyarakat perbatasan desa Temajuk yang terkenal dengan ramahnya setiap ada tamu yang datang.
Di desa Temajuk memang tidak disediakan hotel atau tempat penginapan umum. Bagi pengunjung yang bertandang ke desa itu, biasanya nginap di rumah warga sekitar atau di rumah kepala desa Temajuk.

Selama di penginapan rumah warga merupakan kesempatan bagi pengunjung untuk bertanya panjang lebar tentang kehidupan masyarakat perbatasan.
Masyarakat perbatasan Temajuk sangat menggantungkan hidup bertani dan nelayan. Dua bidang itu adalah sumber mata pencaharian selama ini, karena desa Temajuk memiliki hamparan lahan dan laut yang luas.

Ada yang menarik lagi di desa Temajuk. Ini karunia sang pencipta memberikan masyarakat Temajuk berbagai kelimpahan sumber dayanya, sebagai jasa kepada masyarakat Temajuk yang sudah berjasa menjaga sumber daya alam yang ada.
Salah satunya adalah kemunculan binatang laut yakni ubur – ubur di laut Temajuk. Biota laut itu muncul setahun sekali, yakni pada Maret sampai April.
Kejadian ini mirip dengan di kawasan pantai Selatan pulau Lombok. Dimana setiap tahunnya, masyarakat turun ke pantai untuk berburu cacing “ nyale” atau cacing laut yang bisa dikomsumsi, dengan berbagai khasiatnya.

Bagi masyarakat lombok, kehadiran cacing nyale adalah motos tubuh putri Mandalika di sepanjang pantai Selatan Lombok. Ia seorang wanita cantik penuh kebijaksanaan yang dipercaya jiwanya masih berdiam di kawasan pantai Selatan pulau Lombok. Kehadiran sang putri disambut setiap tahun dalam bentuk tradisi “Bau Nyale” (Bahasa sasak berarti dapat menyala).

Nah, di desa Temajuk sendiri, pada bulan itu Maret- April, juga mirip dengan kebiasaan masyarakat Lombok. Hampir setengah warga Temajuk memutuskan berburu ubur- ubur di tepian laut mengunakan perahu motor. Ubur-ubur termasuk salah satu hewan lunak yang tidak bertulang belakang hewan ini sering di jumpai di di laut. Cara mengambilnya pun cukup mudah. Pagi hingga sore hari ubur- ubur menampakkan diri di dasar laut, terlihat mengapung.

Jadi si pemburu cukup menyisir laut, jika ubur ubur sudah terlihat , cukup mengambilnya dengan cara menyauk dengan mengunakan tanggukan terbuat dari rajutan jaring tali senar. Satu hari, satu perhau motor bisa mendapatkan ubur- ubur sedikitnya 150-500 ekor. Satu ekor ubur- ubur beratnya sekitar 1,5 kilogram, di jual ke penampung per ekor seharga Rp 2.500.
Setelah hasil tangkapan ubur- ubur tadi langsung di jual kepada pemilik kilang ubur- ubur. Kilang ini berfungsi sebagai tempat pembersihan dan pengawetan ubur – ubur, sebelum dilempar ke pasaran.

Di desa Temajuk terdapat depalan belas kilang ubur- ubur. Pengusahanya dari penduduk lokal. Salah satunya adalah kepala desa Temajuk, Mulyadi, juga memiliki kilang ubur- ubur.

Mulyadi berkata, keberadaan kilang ubur- ubur baru sudah ada sejak delapan tahun lalu. Awalnya ada alah satu pengusaha dari Pontianak menawarkan kerjasama kepada masyarakat Temajuk untuk menampung ubur- ubur dalam jumlah bersar, kemudian dijual kepada pengusaha tersebut.

Pengusaha itu melihat bisni ubur-ubur sangat menjanjikan dan banyak permintaan di negara luar, seperti Jepang, Cina, Korea, Malaysia dan lainnya.

Dana pembangunan kilang ubur- ubur dibiayai oleh pengusaha, begitu juga dengan perahu motor sebagai kendaraan untuk menangkap ubur- ubur di laut.
Padahal dulu sebelum prospek bisnis ini menjanjikan, ubur- ubur hanya binatang laut yang tidak memiliki harga.

“Jadi banyak nelayan sekitar membiarkan ubur- ubur tetap mengapung di laut, “ kata Mulyadi.
Satu kilang biasanya memperkerjakan sekitar 15 karyawan, mulai dari pengangkutan ubur-ubur dari perahu motor, membersihkan ubur- ubur, hingga pengawetan.
Untuk pengangkutan ubur- ubur bisanya dilakukan oleh warga laki- laki, dengan mengangkut keranjang ubur-ubur hasil tangkapan di laut. Sementara kaum perempuannya juga kebagian peran, bertugas mencuci ubur- ubur dengan air bersih sebelum dilakukan proses pengawetan.

Upah yang didapat pekerja di kilang pun bervariasi. Pekerja yang membawa keranjang berisikan ubur – ubur dari perahu motor ke kilang mendapat upah Rp 300, karena jarak pikul tidak terlalu jauh dari kilang. Begitu juga dengan ibu - ibu yang bertugas sebagai pembersih ubur- ubur, mendapat upah Rp 500 per ekor.
Sementara untuk pengawetan, kata Mulyadi, ubur – ubur di tampung di dalam bak beralas terpal, kemudian direndam dengan air garam. Itu dilakukan secara berulang kal, agar ubur- ubur tetap awet dan tidak busuk, sebelum pembeli dari Pontianak datang mengambil ubur- ubur dari kilang.

Satu kilang ubur- ubur pada musim panen bisa mencapai 2-4 ton ubur- ubur. Satu ton ubur-ubur di jual ke agen di Pontianak Rp 15 juta. Dari Pontianak ubur- ubur langsung di ekspor ke luar negeri, seperti Cina, Japan, Korea, Malaysia, dan negara tujuan lainnya.

Setelah diolah secara khusus, ubur-ubur dapat dijadikan menu utama bernilai tinggi. Di restoran besar, khususnya yang menyajikan masakan China, menu berbahan baku ubur-ubur kerap dicari pelanggan.

Ubur-ubur yang telah dikeringkan juga bisa dijadikan camilan lezat. Ini biasa dijumpai di mal-mal di Jepang, tergantung ukuran kemasan. Camilan ini sangat digemari para remaja di Jepang.

Rasanya enak, sama sekali tak berbau anyir, mengandung protein hewani yang tinggi.
Menurut cerita dari agen, ubur- ubur yang di ekspor ke luar negeri untuk diolah menjadi alat kosmetik kecantikan. Selain itu, ubur- ubur juga dijadikan hidangan makanan karena kaya kandungan kalsium, yudium,dan protein, baik untuk kesehatan, dibanding jenis ikan laut.

Bagi masyarakat Temajuk, ubur- ubur juga biasa disantap untuk hidangan makan. “Paling nikmat dijadikan pecal atau rujak, “ kata Mulyadi.
Caranya, ubur- ubur terlebih dahulu direbus, lalu dipotong kecil- kecil, kemudian langsung dicamur aduk dengan bumbu pecal atau rujak.
“Jika disantap ramai- ramai, rasanya, maknyusss,” kata Mulyadi menirukan iklan di televisi.

Itulah salah satu daya tarik dari pantai Temajuk, pantai perbatasan beranda negara, menyimpan kekayaan alam yang tak ternilai. Salah satunya adalah perkembanganbiakan ubur- ubur dalam jumlah banyak, tidak didapat oleh pantai manapun.
Tapi sayang, ubur- ubur Temajuk tidak masuk dalam incam pendapatan asli daerah Sambas, karena pemerintah kabupaten Sambas belum melirik peluang usaha ini
Terlepas dari itu semua, masyarakat perbatasan Temajuk sangat menikmati hidup di sana,meskipun terisolir. Dan selalu tetap menjaga agar lingkungan laut Temajuk tidak tercemar dari orang- orang bertangan jahil yang ingin merusak lingkungan Temajuk hanya untuk keuntungan sesaat.
read more...

Melihat Sekolah Serba Gratis di Teluk Melano

Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Sambas

“Pendidikan Gratis” biasa kita dengar lewat iklan di televisi. Padahal kita tidak tahu, yang disebut gratis itu yang mana. Siswa masih dipungut biaya uang banguanan, buku dan tetek bengeknya.

“Perjuangkan Pendidikan Gratis” juga seringkali kita dengar setiap menjelang pemilihan kepala daerah, salah satu visinya itu. Padahal belum tentu bisa terlaksana.
Tapi “ Pendidikan Gratis” tanpa disuarakan dengan nyaring sekalipun, Malaysia sudah berbuat itu. Dan itu merata di seluruh daerah, termasuk daerah perbatasannya.
Seperti di daerah Teluk Melano, Malaysia, merupakan daerah berbatasan langsung dengan desa Temajuk, kecamatan Paloh, Sambas. Disana ada satu sekolah dasar. Bangunannya megah, berlantai empat, lengkap dengan asrama siswa dengan memiliki empat lantai juga. Bangunan itu berdiri berdampingan.
Saya berkesempatan menunjungi sekolah itu, dalam laporan perjalanan saya ke daerah perbatasan. Masyarakat Malaysia menyebutnya sempadan.

Dua bangunan megah berlantai empat berdiri gagah di daerah sempadan, Teluk Melano Malaysia. Itu adalah bangunan sekolah dasar yang didirikan kerajaan Malaysia, lima tahun lalu. Tujuannya agar anak - anak perbatasan Malaysia bisa menikmati pendidikan seperti daerah lainnya, menikmati pendidikan gratis lengkap dengan pelayanan fasilitas pendidikan.

Pada suatu kesempatan, Sabtu pekan lalu, saya berkunjung ke sekolah itu. Kebetulan saya mendapat undangan liputan dari mahasiswa perikanan Universitas Muhammadiyah Pontianak, di desa Temajuk, kecamatan Paloh. Lokasinya bersampingan dengan Teluk Melano, Malaysia. Daerah itu merupakan daerah perbatasan dua negara, hanya berjarak satu kilometer saja dari desa Temajuk.

Di sana saya diajak salat satu staf pengurus desa untuk jalan- jalan menikmati pemandangan daerah Teluk Melano. Mendadak saya terkesan dan terperangah. Ada dua bangunan berlantai empat dibangun berdampingan di lokasi itu. Ternyata bangunan itu adalah bangunan sekolah dasar untuk anak – anak perbatasan Malaysia.
“Sungguh mengesankan” gumanku. Bagaimana tidak, bangunan semegah itu, jangankan di desa Temajuk, ibukota Sambas sekalipun belum ada yang mampu mendirikan bangunan sekolah semegah itu.

Untuk mengobati rasa penasaran saya, di sana saja diketemukan dengan Jauhari. Ia salah satu guru agama Islam di sekolah itu, sejak sekolah itu difungsikan. Ia banyak bercerita tentang sekolahnya.

Dari ceritanya, sekolah ini sengaja dibangun oleh kerajaan Malaysia, untuk mencerdaskan anak- anak perbatasannya. Karena pendidikan bagi kerajaan Malaysia adalah yang utama.

Di sekolah ini , tidak saja bangunan yang megah, juga tersedia sarana dan prarsarana penunjang belajar. Seperti laboratorium komputer, internet, bahasa dan balai pelatihan wirausaha untuk siswa.

Khusus untuk lab pelatihan wirausaha, materi yang diajarkan, berupa service sepeda motor, service televisi, dan menggali potensi kekayaan alam yang ada untuk dijadikan barang jadi bernilai seni, seperti kerajinan tangan pengolahan kulit kerang menjadi pengias dinding dan meja. Jika dihitung sekolah itu ada 50 ruang kelas, terdiri ruang belajar, laboratorium, unit kegiatan sekolah, dan ruang guru.
Selain mengajarkan siswanya tentang ilmu pengetahuan, pihak sekolah tidak lupa menanamkan nilai-nilai keagamaan.

Setiap harinya, memasuki waktu sholat, siswa istirahat. Bahasa Malaysianya, rehat.
“ Bisa dibayangkan, materi belajar setingkat SD saja sudah diajarkan materi wirausaha, sementara di Indonesia, menikmati pendidikan wirausaha harus menempuh sekolah kejuruan, “ gumanku.
Tidak itu saja, kerajaan Malaysia memberlakukan bagi warganya wajib menyekolahkan anaknya. Jika tidak, orang tua bersangkutan akan dikenakan denda sekitar RM 1400 atau sekitar Rp 4 juta. Jadi tidak heran jika ada anak yang tidak ingin sekolah, orang tua selalu memaksa anaknya untuk bersekolah.

Adalah wajar jika kerajaan memberlakukan peraturan itu, mengingat sekolah yang disediakan semuanya tidak dipungtut biaa alias gratis.
Bahkan, setiap tahun, siswa disana diberi seragam sekolah, sepatu, buku, dan tas dengan cuma- cuma. Termasuk juga siswa disana ditanggung makan satu hari tiga kali. Juga disediakan tempat penginapan.

Tempat penginapan siswa selama menempuh belajar juga dibangun megah, dengan empat lantai juga, lengkap dengan tempat tidur tingkat dua. Disaana juga tersedia wc umum. Jika saya membandingkan, wc umum di sana sekelas dengan wc yang ada di mall kota Pontianak. Disana tersedia ruang makan dan ruang pertemuan yang luas, cukup menampung ratusan siswa. Di ruang itu terdapat dapur umum, ada enam pekerja yang membantu menyiapkan menu makan setiap harinya. Waktu makan, dimulai pagi hari , pukul 06.00. Siang pukul 12.00, dan malam pukul, 19.00.

“ Siswa disini semuanya terlayani, hanya buang air saja yang tidak dilayani,” celoteh Jauhari.

Kecuali hari Sabtu dan Minggu, siswa dizinkan pulang ke rumah masing –masing, untuk beristirahat bertemu keluarga di rumah. Senin, siswa masuk sekolah lagi, dan menginap lagi di asrama sekolah.

Belum sampai disitu, ada lagi yang membuat saya kaget. Ternyata siswa disana selain menjalankan pendidikan di sekolah, mereka setiap tahunnya diberi uang pembinaan dari pihak sekolah sebesar Rm 700 atau sekitar Rp 2 juta.
Jika bangunan sekolah megah nan lengkap segala fasilitas belajarnya, kira- kira berapa siswa yang bersekolah disini?

Jauhari berkata, “Tidak banyak, hanya 50 siswa saja, “ katanya. Disebabkan warga di sempadan Teluk Melano hanya berjumah sekitar 40 kepala keluarga. Dan tidak banyak warganya yang memiliki anak banyak.
“ Ini permasalahan yang dihadapinya saat ini, “ karena setiap tahunnya, jumlah siswa yang mendaftar terus berkurang,” katanya.

Berbeda dengan di desa Temajuk, sedikitnya berjumlah 467 kepala keluarga, di sana ada tiga bangunan sekolah dasar, satu sekolah menengah pertama (SMP) dan satu sekolah menengah atas (SMA) yang sedang dibangun. Tapi banyaknya sekolah di Temajuk, fisik bangunan sekolah tidak semegah di sekolah Teluk Melano.

Menariknya lagi pendidikan di Malaysia, ternyata tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional (UN). Jauhari berkata, kerajaan Malaysia tidak menggunakan sistem UN. Siswa hanya cukup mengikuti pelajaran oleh guru. Jika sudah masanya selesai sekolah, siswa dinyatakan lulus. Kebijakan kerajaan tidak adanya UN diberlakkan seluruh tingkat sekolah, mulai sekolah dasarsampai sekolah menengah atas.
Kenapa bisa demikian?

Jauhari punya alasan. Ia membandingkan sistem pendidikan yang di Indonesia, ia mengetahuinya melalui media televisi, bahwa setiap siswa harus mengikuti UN untuk menyelesaikan sekolahnya. Nah, di Malaysia tidak.

Untuk menentukan keberhasilan mutu pendidikan tidak mesti harus melalui UN. Dari setiap materi pelajaran yang diberikan kepada siswa setiap harinya, sudah cukup membantu mengukur keberhasilan mutu pendidikan. Tentunya harus ditunjang dengan sarana dan prasarana sekolah yang baik.

Karena kerajaan menilai, tidak ada siswa yang tidak cerdas dan pintar jika bersekolah, kecuali anak yang tidak sekolah.
Baginya, UN bukan tolak ukur bagi siswa itu berhasil dalam menjalani proses belajar di sekolah. Bisa saja, ada siswa yang pintar selama di kelas, ketika mengikuti UN ia tidak lulus. Bukan karena ia kurang belajar, tetapi karena konsentrasinya sedang drop. Karena tidak selamanya siswa bisa konsentrasi menerima menyerap mata pelajaran yang diberikan.mungkin bisa saja siswa sedang sakit atau ada masalah lain di pribadi siswa, sehingga tidak bisa maksimal mengikuti UN.

Ia mencontohkan, seperti atlet sepak bola kelas dunia sekalipun, belum tentu bisa bermain bola di lapangan dengan baik setiap pertandingan. Pasti ada penampilannya yang buruk.

Pertanyaan terakhir saya sampaikan kepada Jauhari, berapa gaji bapak sebagau guru di sekolah ini. Ia menjabab, “ tak banyak, sekitar delapan juta sebulan, jika dirupiahkan, “ katanya.
“Waoww” saya tersentak kaget.
Kemudian saya berguman dalam hati,” kapan Indonesia seperti Malaysia. Kapan mewujudkan sekolah gratis sampai ke perbatasan. Kapan ya, kapan?,”
read more...

Cerita tentang Pengojek Gula: Menikmati Manisnya Gula Illegal dari Malaysia

Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Sambas

Perbatasan Aruk siang itu terlihat ramai. Serombongan orang mengendarai motor melintasi perbatasan. Syahrudin (30) ada dalam rombongan itu. Di jok belakang ada enam karung gula diikat tali beladar, yakni tali yang terbuat dari ban bekas, dipotong memanjang. Di sebuah pos, lelaki itu berhenti dan menyerahkan dua lembar uang pecahan sepuluhribu rupiah kepada seorang petugas berseragam loreng. Ia lantas memacu motor memasuki wilayah Indonesia.
Syahrudin adalah warga desa Sepuk Tanjung, Kecamatan Sebawi, Kabupaten Sambas. Selama tiga tahun terakhir, lelaki ini bekerja sebagai ‘pengojek gula’. Pengojek gula adalah sebutan bagi mereka yang membeli gula di Malaysia dengan menggunakan sepeda motor, lantas menjualnya di sekitar Kabupaten Sambas, Indonesia. Meski lintas negara, tapi tentu saja ini bukan perdagangan resmi atau semacam kegiatan ekspor impor.
Para pengojek gula sudah punya akses pada para agen gula illegal di Malaysia. Di Biawak dan Lundu ada beberapa nama pemilik agen gula yang cukup dikenal, sebut saja, Bambang, Juang, Mak Boy dan Konsel. Mereka lah yang selama ini memainkan peran dalam perdagangan gula subsidi. Tanpa akses pada agen ini, mustahil bisa mendapatkan gula dalam jumlah besar.
“Subsidi gula itu khan sebenarnya hanya untuk warga Malaysia. Kita ini kan orang luar, sebenarnya ndak bisa beli gula di sana. Tapi karena ada permintaan, tetap saja ada orang yang mau jual,” cerita Syahrudin.
Harga gula di Malaysia relatif lebih murah dibanding di Sambas. Satu karung gula 50 kg dibeli dengan harga 153 ringgit atau setara Rp 419.220. Artinya per kilogram seharga Rp 8.384. Di Indonesia gula ini dijual Rp 9.000-10.000 per kilo. Jadi keuntungan satu karung gula sekitar Rp 60-80 ribu.
Bekerja sebagai pengojek gula bukanlah tanpa resiko. Mereka bisa sewaktu-waktu ditangkap Polisi Diraja Malaysia. Syahrudin punya pengalaman soal ini.
Suatu siang, di bulan Januari, Syahrudin bersama enam pengojek lain seperti biasa merangsek masuk ke Malaysia. Mereka melintasi pos lintas batas, melalui pintu masuk Border Aruk Sajingan. Tujuannya adalah daerah Lundu, sekitar 3 kilometer dari pintu perbatasan. Di sana seorang agen gula bernama Usman sudah menunggu. Seusai transaksi, Syahrudin dan kawan-kawannya hendak kembali ke Indonesia.
“Tapi tiba-tiba empat mobil patroli mendatangi kami dan langsung menangkap kami. Saat itu saya panik. Motor dan gula disita polisi sebagai barang bukti,” cerita Syahrudin yang tidak menyangka pada hari itu ada patroli polisi. Mereka lantas diadili di Malaysia. Syahrudin sendiri dihukum enam bulan penjara.
Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Imigrasi Kabupaten Sambas Agustinur mengatakan kebanyakan para pengojek gula tidak memiliki dokumen resmi dari imigrasi. “Banyak pengojek gula yang tidak punya paspor. Kalau kebetulan ada razia, mereka kena pasal berlapis. Membawa gula illegal dan tidak punya dokumen. Hukumannya jadi lebih berat,” ujar Agustinur.
Biasanya imigrasi berkordinasi dengan pemerintah Malaysia untuk memulangkan para pengojek gula yang tertangkap. Tapi upaya itu sering gagal.
“Saat ini ada puluhan pengojek gula yang masih ditahan di Malaysia. Kami masih berusaha melobi imigrasi Malaysia.”
Tokoh Masyarakat Perbatasan Petrus Atus menyatakan protes atas penangkapan para pengojek gula oleh polisi Malaysia. Menurut Petrus, para WNI yang ditangkap sudah biasa membeli gula, minyak goreng, bawang putih, bawang merah, dan garam di Malaysia. Sebaliknya, warga Malaysia bisa bebas membeli karet, lada, beras, daging binatang buruan, dan hasil bumi lainnya di Sajingan, Indonesia. Bahkan, warga Malaysia yang membeli barang di wilayah perbatasan Indonesia, mereka tidak perlu pakai pos lintas batas dan tidak ditangkap.
“Seharusnya warga kita juga jangan ditangkap jika belanja di sana,” kata Atus.
Kabupaten Sambas adalah daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di sana ada dua daerah perbatasan, yakni Desa Temajuk, Kecamatan Paloh yang berbatasan dengan Teluk Melano, Malaysia; dan Desa Aruk, Kecamatan Sajingan Besar yang berbatasan dengan Biawak, Malaysia.
Namun, akses jalan yang mudah untuk menjangkau daerah Malaysia adalah perbatasan Aruk Sajingan, karena daerah itu bisa dilalui kendaraan. Sementara daerah perbatasan desa Temajuk, akses jalan masih sulit dijangkau, karena harus menempuh jalur sungai dan bibir pantai untuk bisa menuju ke Teluk Melano, Malaysia.
Mengingat letak geografis ke dua negara, Indonesia dan Malaysia berdekatan, ada celah bagi pencari gula asal Sambas untuk mengambil gula di Malaysia. Meski beresiko, manisnya rasa gula Malaysia tetap menarik bagi para pengojek gula itu. Ini lantaran ada selisih harga gula Malaysia lebih murah dibanding dengan harga gula pasaran di kabupaten Sambas.
“Pemerintah kita masih belum bisa menyediakan sembako murah. Makanya kami di perbatasan masih mengandalkan barang dari Malaysia,” ujar Petrus Atus.
Kondisi itu sangat kontras dengan negara tetangga, Malaysia. Kerajaan memberikan harga sembako murah untuk warganya. Ketika kuota sembako untuk warganya berlebih, inilah yang dimanfaatkan warga Indonesia dengan membeli sembako subsidi tersebut, lantas menjualnya di tanah air.
Adi Kurniawan (35) pencari gula asal kecamatan Paloh, sudah menjalani aktivitas sebagai pengojek gula selama dua tahun. Sebelumnya ia bekerja sebagai buruh bangunan di Kuching, Malaysia. Lantaran kotrak kerja habis, ia memutuskan pulang kampung. Karena menganggur, seorang rekannya mengajaknya menjadi pencari gula di Malaysia. Adi menerima tawaran ini.
“Daripada nggak ada pekerjaan bang. Di sini (perbatasan) susah cari kerja,” katanya.
Jalur distribusi pengojek gula cukup rumit dan penuh resiko. Jarak tempuh untuk menembus daerah perbatasan antar dua negara medannya sangat menantang. Mereka harus melewati jalan yang terjal dan menanjak, dengan kondisi jalan masih tanah dan berbatuan sepanjang 90 kilometer dari pusat kota Sambas.
Kondisi jalan yang rusak membuat pekerjaan ini tambah berat. Adi pernah beberapa kali mengalami kecelakaan. Biasanya karena masuk lubang atau menabrak batu di jalan.
“Kaki dan tangan saya pernah patah waktu jatuh dari motor. Waktu itu saya bawa beberapa karung gula,” ingatnya.
Adi bercerita, seorang temannya pernah tewas karena kecelakaan saat membawa gula. Korban terjatuh ke jurang saat melintasi jalan rusak. Ia tak bisa menjaga keseimbangan karena beban yang dibawa sangat berat.
Dalam sehari para pengojek gula bisa membawa 5-6 karung gula atau setara 400 kilogram. Satu karung sekitar 50 kilogram. Untuk itu, sepeda motor sengaja dirancang khusus. Ada bagian fisik kendaraan yang sengaja dimodifikasi, seperti ban dan sokbeker belakang.
“Supaya motor kuat bawa beban berat,” kata Adi.
Situasi di sepanjang jalan menuju perbatasan sepi. Jumlah penduduk yang bermukim hanya beberapa kepala keluarga saja. Bengkel motor hanya satu dua tempat. Itupun jarak lokasinya cukup jauh. Jika rusak di jalan, tidak mungkin menyeret kendaraan sampai ke bengkel, karena muatan di kendaraan sangat banyak dan berat. Jika itu terjadi, mereka harus memperbaiki sendiri. Dalam situasi seperti itu, peran teman sangat penting.
“Makanya kami selalu pergi serombongan. Biasanya lima sampai sepuluh motor. Kalau satu rusak, yang lain masih bisa bantu.”
Jalan rusak bukan satu-satunya problem yang dihadapi para pengojek gula. Pungutan liar saat melintasi pos lintas batas menjadi masalah tersendiri. Iman, salah seorang pengojek gula mengatakan, setiap pos dirinya selalu dimintai uang Rp 20 ribu. Dalam sehari, kata Iman, ia mengeluarkan uang Rp.60.000.
“Katanya untuk uang pengamanan,” ungkap Iman.
Di perbatasan ada tiga pos penjagaan, yakni pos Malindo merupakan gabungan tentara Indonesia dan Malaysia; Pos Perintis yakni Polisi Sektor Sajingan Besar; dan Pos Libas yakni personil TNI di bawah bataliyon 642.
Sistem penyaluran upeti dilakukan cukup mudah. Di tiap pos penjagaan sudah ada petugas yang menunggu para pengojek gula. Setiap pengojek harus menyetor uang pada petugas. Dalam sehari sekitar 100-200 jumlah pasukan semut yang melintas. Artinya, dalam sehari sedikitnya Rp 4 juta masuk kas pos penjagaan.
“Kami ndak bisa apa-apa. Kalau melawan takutnya ndak dibolehkan bawa gula.”
Setelah dipotong uang pengamanan, jika dihitung para pengojek ini hanya membawa pulang 100 ribu rupiah.
“Itu pun harus dipotong dengan pengeluaran bensin dan makan. Belum lagi kerusakan yang diluar dugaan,” keluh Iman.
Biasanya mereka berangkat dari rumah sekitar pukul 06.00 pagi dan pulang ke rumah pada pukul 10.00 malam.
“Meskipun hujan kami tetap harus pulang. Kalau menginap, bisa-bisa kena razia polis,” ujarnya. Polis adalah sebutan warga perbatasan untuk Polisi Malaysia.
Aktivitas pengojek gula ini mampu mencukupi kebutuhan gula di Kabupaten Sambas. Dalam sehari sekitar 60 ton gula dibawa masuk ke Indonesia. Gula tersebut dipasarkan sendiri ke warung-warung atau toko sembako.
“Jika stok gula sudah habis, kami kembali lagi mencari gula ke agen, lalu dijual lagi ke daerah Sambas,” kata Iman.
Danrem 121 Alam Bana Wanawai waktu itu, Nukman Kosadi belum sepenuhnya tahu tentang kabar bahwa personilnya melakukan pungutan liar kepada pasukan semut. Kosadi hanya tahu bahwa gula itu berasal dari gula subsidi bagi masyarakat Malaysia.
Seingatnya ia memang pernah mendapat informasi itu dari jajarannya. Namun ia belum punya informasi akurat. Kosadi berjanji menurunkan tim investigasi untuk memastikan kejadian itu.
“Jika memang benar terjadi demikian kita akan tindak tegas oknum petugas yang bersangkutan,” janji Kosadi.
Kapolda Kalbar Erwin TPL Tobing mengatakan akan melakukan proses tindakan sesuai dengan aturan disiplin Polri kepada jajarannya yang menyalahi tugas di perbatasan.
“Selama bertugas di perbatasan tidak dibenarkan bagi anggota polisi melakukan pungutan liar, apalagi kepada para pengojek gula,” kata Erwin.
Tokoh masyarakat di perbatasan Petrus Atus menggugat peran pemerintah untuk menjamin kesejahteraan warga perbatasan. Menurutnya, warga perbatasan selama ini berjuang sendiri agar bisa makan. Salah satunya mengandalkan perdagangan sembako dari Malaysia.
Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Cristiandy Sanjaya menyatakan ia sama sekali belum mengetahui bahwa ada penangkapan warganya di Malaysia. Karena selama ini tidak ada laporan dari Pemkab Sambas perihal kejadian itu.
Beberapa waktu lalu, ia sempat melakukan diskusi kepada Konsulat Malaysia di Pontianak tentang permasalahan pengojek gulu di perbatasan. Dari penjelasan konsulat Malaysia, gula dari Malaysia sebenarnya boleh diperdagangkan di Indonesia asalkan tidak dalam jumlah besar.
“Kalau sekarung dua karung masih dibolehkan,” kata Cristiandy.
Bupati Sambas Burhanuddin A Rasyid berencana akan membangun pabrik gula di daerah perbatasan. Lokasinya sudah ditentukan, yakni di Desa Condong, Kecamatan Teluk Keramat. Ia sudah menyiapkan lahan seluas 17 hektare untuk petani tebu, sebagai penunjang bahan baku. Dengan adanya pabrik gula di Sambas tentu akan berdampak pada persaingan harga gula di Malaysia, sehingga pengojek gula asal Sambas juga berangsur akan hilang, karena tidak lagi membeli gula murah di Malaysia.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Pontianak, Andreas Acui mengatakan, keberadaan pengojek gula akan tetap ada selama pemerintah indonesia belum bisa memberi kesejahteraan bagi warga perbatasan.
“Jika tak ada gula masih banyak barang lain yang bisa diojekin misalnya bawang putih, lelong, kayu, dan lainnya. Selama harga barang luar negeri lebih murah dibanding dalam negeri, para pengojek ini masih akan tetap ada,” papar Andreas Acui.
Penyebab harga gula dalam negeri lebih mahal, diduga karena ada kartel atau kelompok yang memonopoli peredaran gula dalam negeri.
“Sistem distribusinya begitu buruk, mulai dari petani sampai distribusi. Ditambah lagi sistem jalur distribusi yang tidak terbuka,” kata Andreas.
Menurut Andreas keberadaan pengojek gula mengindikasikan kegagalan pemerintah menyediakan bahan pangan murah untuk rakyatnya.
“Pemerintah harus bisa mengendalikan harga gula dalam negeri minimal sama dengan produksi negara lain dan itu dimulai dari tingkat petani sebagai produsen. Jika pemerintah masih saja tidak mampu melakukan itu, maka harus dibuka kran seluas-luasnya dari luar, biar masyarakat dapat menikmati kebutuhan pangan pokok ini dengan harga yang wajar,” katanya, tegas.
read more...