Search

Minggu, 06 Juni 2010

Sengketa Batas Berujung Konflik

Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Sambas

Ombak laut terlihat tenang. Cuaca cerah dan terang. Nelayan menyambutnya dengan mempersiapkan peralatan. Ada perahu, jaring, dan berbagai peralatan melaut dan persediaan bahan bakar. Begitu juga Ardi (46) dan anaknya, Endo (23). Sudah belasan tahun, keduanya mengantungkan hidup pada laut. Mereka menggunakan kapal motor sepanjang 15 meter dengan lebar dua meter. Alat tangkap itu diberi nama “Kapal Novella”. Mereka merupakan nelayan lamparan dasar, asal Kecamatan Pemangkat, Kabupaten Sambas. Lamparan dasar adalah jenis pukat harimau yang sudah dimodifikasi.

Sebagai nelayan, mereka tak punya jadwal libur. Libur dilakukan bila cuaca tak bersahabat. Hari itu, Minggu, 10 Agustus 2008, seperti biasanya, mereka melaut. Sudah sedari pagi, keduanya mengelilingi laut Pemangkat. Namun, hasilnya belum maksimal. Keduanya terus berputar dan menjelajah. Tanpa sengaja, kapal motor meninggalkan perairan Pemangkat, menuju perairan di Kecamatan Jawai. Wilayah ini jaraknya tiga mil dari garis pantai Jawai.

Waktu beranjak naik. Matahari terletak di sepengalah kepala. Jarum jam menunjuk pukul 08.00 Wib. Dari jarak yang terlihat mata, sebuah perahu motor mendekat. Di perahu itu, ada tiga orang. Postur badannya kekar. Setelah mendekat, ketiga awak perahu motor tersebut, merapatkan perahu motornya. Salah satu awak perahu motor bernama Dollah.

Terjadi dialog. Ketiganya minta ikan hasil tangkapan Ardi dan Endo. Ardi memberikan beberapa ikan pada ketiga awak kapal tersebut. Namun, setelah diberi, ketiganya bukannya menerima, malah menyandera Ardi dan Endo. Akibatnya, terjadi perkelahian. Tiga lawan dua. Akibat kalah jumlah, akhirnya Ardi dan Endo tak berkutik.

Peristiwa tak berhenti di situ. Ardi dan Endo dijeburkan ke laut. Kapal miliknya dibawa lari ketiga nelayan tadi. Keduanya menyelamatkan diri dengan berenang dan mengapung di laut.

“Syukurlah, pada saat kami mengapung di laut, beberapa menit, ada sebuah kapal nelayan tradisional yang kebetulan melintas langsung menolong,” kata Ardi.

Selepas itu, nelayan yang menolong ini, membawa keduanya darat. Tepatnya di Desa Bakau, Kecamatan Jawai. Sesampainya di darat, naas menimpa keduanya. Ternyata ketiga awak kapal yang memukul dan mengambil kapal, juga berada di sana. Tak hanya bertiga, mereka bersama puluhan warga desa.

Belum sempat Ardi dan Endo menarik napas lega, karena kelelahan di laut, puluhan warga di desa tersebut, menggiring keduanya ke kantor Balai Desa Bakau. Di sana, warga desa mendesak keduanya menyerahkan uang tebusan sebesar Rp 6 juta. Alasannya, kapal motor mereka melewati batas teritorial jalur mengambil ikan, yang semestinya bagi nelayan tradisional.

Warga juga mengancam, jika uang tebusan tidak dibayar, keduanya tidak diperkenankan pulang. Perundingan berlangsung alot. Kepala desa dan kepolisian menyaksikan dan menengahi pertemuan. Merasa tidak ada uang sebanyak itu, Ardi minta kelonggaran waktu hingga besok hari. Tak terasa, waktu sudah beranjak petang atau pukul 17.00 Wib. Keduanya diperkenankan pulang.

Senin (11/8), Ardi mendatangi balai Desa Bakau. Puluhan warga sudah menunggu kehadirannya. Merasa tidak aman, ia minta pertemuan tidak berlangsung di balai desa, melainkan di Polsek Jawai. Sesampainya di sana, puluhan warga juga mengikuti.

“Lagi-lagi, saya mendapat desakan,” kata Ardi.

Ardi mengatakan pada warga, ia belum sanggup memberikan uang tersebut. Jumlah Rp 6 juta, terlalu besar. Apalagi bagi dirinya yang hanya nelayan. Suasana makin panas. Warga terus mendesak dan mulai berteriak-teriak. Kemudian, salah seorang polisi tiba-tiba ikut memutuskan denda, yakni sebesar Rp 4,5 juta. Merasa terus didesak, Ardi menandatangani perjanjian itu. Kepala desa dan polisi sebagai saksi.

Apa boleh buat. Ardi pun tanda tangan. Apalagi kapal motor miliknya masih disandera. “Tapi, itu hanya sebatas tanda tangan saja, mengingat pada waktu itu, saya tidak membawa uang,” kata Ardi.

Kasat Reskrim Polres Sambas, AKP Puji Prayitno dalam suatu kesempatan menanggapi permasalahan tersebut. “Kasus penangkapan kapal Ardi oleh Dollah, bisa diselesaikan dengan hukum kelautan,” kata Puji. Yakni, Undang-Undang Kelautan Nomor 31 Tahun 2004, tentang Penggunaan Alat Tangkap. Namun, UU belum diterapkan secara maksimal.

Baginya, perjanjian antara nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001, tidak berlaku karena isi dari UU Kelautan sudah jelas bagi pengaturan pengembangan kelautan. Termasuk larangan menggunakan alat tangkap pukat trawl.

Kedua belah pihak melapor ke polisi. Ardi dan Endi melaporkan bahwa, ketika melaut, tiba-tiba kapal mereka didatangi Dollah beserta temannya, dan dilakukan penyanderaan. Dollah juga membuat laporan yang sama pada Polsek Jawai. Dollah merasa dianiaya oleh Ardi dan Endo.

Polisi melakukan penyidikan dari dua laporan tersebut. Hasilnya, polisi menemukan barang bukti berupa sebuah kapal dan alat tangkap trawl mini milik Ardi. Alat ini dianggap telah melanggar UU Kelautan No 31 Tahun 2004.

Polisi juga melakukan penyidikan terhadap Dollah. Hasilnya, Dollah terbukti melakukan penyanderaan kapal, dengan niat memiliki kapal tersebut.

“Keduanya bisa dikenakan sanksi, yakni Pasal 351 KUHP, Ayat (1) dan (4),“ kata Puji, “dalam hal ini, polisi bertugas sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Upaya hukum adalah jalan terakhir,” kata Puji.

Kejadian itu berbuntut panjang. Sekumpulan nelayan yang mengatasnamakan nelayan lamparan dasar (Lamdas), Kecamatan Pemangkat, mendatangi gedung DPRD Kabupaten Sambas. Ketua DPRD Kabupaten Sambas, Uray Barudin Idris, langsung menyambut rombongan ini. Selain itu, ada Ferry Solihin Imran, Ketua Komisi A, membidangi Hukum dan Pemerintahan. Rusli M. Yusuf, Ketua Komisi D, membidangi Kesejahteraan Rakyat, dan anggota Komisi Pembangunan, Suparto. Sementara perwakilan nelayan Lamdas, Heri dan Junjung, termasuk korban penyanderaan, Ardi dan Endo.

Nelayan ingin ada jalan keluar, berkaitan dengan kapal motor milik Ardi. Mereka juga minta, pelaku penyanderaan diusut tuntas.

Ketua Komisi D, DPRD Kabupaten Sambas, Rusli M Yusuf berkata, kasus nelayan Lamdas ini ibarat mendirikan pabrik rokok. “Disatu sisi merusak kesehatan, disisi lain banyak menyedot tenaga kerja,” kata Rusli.

Begitu juga dengan nelayan Lamdas. Menangkap ikan dengan trawl dapat merusak ekosistem laut di sekitarnya. Sementara disisi lain, mereka juga butuh makan bagi anak dan keluarga, kata Rusli.

Untuk itu, perlu suatu kebijakan ulang yang mengatur bagi kepentingan nelayan tradisional maupun Lamdas. Agar, keduanya sama-sama bisa mencari ikan dengan tenang, kata Rusli.

Pemkab Sambas juga mesti melakukan pembinaan terhadap nelayan. Misalnya, menyediakan alat tangkap baru yang tidak merusak ekosistem laut. Juga memberikan pinjaman kredit bagi nelayan tradisional, dalam mengembangkan usaha tangkapannya.

Junjung, Ketua Perwakilan Lamdas menyatakan, kejadian penyanderaan kapal motor Lamdas di Jawai, sudah terjadi tiga kali. Pelakunya orang yang sama. Namun, sampai hari ini, tidak diusut tuntas pihak kepolisian. “Jika ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan, kasus serupa kembali terjadi,” kata Junjung.

Ia menyesalkan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DPK) Kabupaten Sambas, tidak memberi tanggapan terhadap kejadian yang sudah berlangsung lama ini. Junjung menganggap, DKP sampai saat ini, lebih pengacu pada perjanjian nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001.

Dalam salah satu pasal dan isi perjanjian, membagi daerah penangkapan ikan yang dilakukan nelayan menggunakan trawl atau dikenal pukat harimau, dengan nelayan kecil yang beroperasi di laut Kabupaten Sambas sebelah utara. Atau, dengan Pulau Pontianak, Kecamatan Jawai, dengan garis vertikal ke arah laut lepas. Dan, sebelah selatan dengan batas wilayah Kabupaten Sambas dengan Kabupaten Bengkayang dan Singkawang Kota, dengan arah vertikal laut lepas.

Menurutnya, jika mengacu pada perjanjian ini, tentu akan mengekang keberadaan nelayan mencari ikan. Artinya, ada pengkaplingan daerah di laut. Hal itu, tentu saja bertolakbelakang dengan Undang-Undang, bahwa laut milik masyarakat. Siapapun boleh mengangkap ikan di laut.

Kepala Bidang Perlindungan dan Pengawasan, Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Sambas, Slamet Raharjo menanggapi hal itu. Kesepakatan antara nelayan Lamdas dan tradisional pada 2001, sebenarnya kesepakatan antara kedua belah pihak, untuk membagi perairan dan penangkapan ikan.

Nelayan Lamdas mengambil ikan dengan menggunakan trawl di perairan nelayan tradisional. Nah, disisi lain, nelayan tradisional menjaga ekosistem laut di teritorial tempat mereka menangkap ikan.

Pada waktu itu, DKP memfasilitasi pertemuan. Sehingga terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Tujuannya, membagi daerah teritorial penangkapan. Agar, keberadaan nelayan tradisional, tidak terisolir dengan nelayan besar. Apalagi nelayan tradisional hanya bisa mencari ikan dengan jarak satu mil dari garis pantai. Lewat dari itu, sudah bagian dari nelayan Lamdas.

“Kejadian itu sudah cukup lama, dan sudah kita anggap selesai. Namun, siapa sangka peristiwa itu akhirnya terjadi lagi,” kata Slamet.

Agar kasus tidak terulang, nelayan Lamdas maupun tradisional harus memiliki tenggang rasa, sesuai dengan isi kesepakatan yang ada. Apalagi, jalur tangkap nelayan tersebut, sudah diatur sesuai dengan Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, tentang Penggunaan Alat Tangkap. Ia yakin, jika peraturan tersebut disepakati dan dijalankan, kasus serupa tidak akan terulang.

DKP tidak menutup mata bahwa, masih banyak nelayan Lamdas menggunakan alat tangkap yang dilarang. Yaitu, menggunakan trawl atau pukat harimau. DKP sering menemukan pemakaian alat tersebut, saat melakukan patroli di laut. Juga, seringkali nelayan Lamdas masuk wilayah Jawai. Apalagi perairan tersebut banyak terdapat ikan dan udang, karena adanya hutan bakau dan terumbu karang yang masih terjaga. Ini berbeda dengan perairan Pemangkat, ekosistem perairan sudah rusak, akibat pengambilan ikan menggunakan pukat harimau.

Namun, patroli masih minim dilakukan, karena dana sangat minim. Hanya Rp 75 juta setahun. Karenanya, melakukan patroli bisa dilakukan sebanyak delapan kali saja. Berbeda dengan tahun sebelumnya, bisa melakukan patroli sebanyak 50 kali. Saat itu, anggaran sebesar Rp 250 juta.

Kepala Camat Jawai, Suardi membantah bahwa warga Jawai melakukan tekanan pada Ardi. Baginya, kasus penyanderaan sudah dianggap selesai. Masyarakat Jawai dan Ardi sudah membuat surat pernyataan di hadapan kepolisian dan kepala desa. Isinya, menyetujui denda sebesar Rp 4,5 juta pada Ardi, karena dianggap telah mengambil ikan menggunakan alat tangkap trawl.

Lalu, bagaimana dengan para penyandera yang selalu melakukan aksinya?
Ia beranggapan, Dollah, salah satu penyandera, yang berani menahan kapal nelayan Lamdas, jika ditemukan menangkap ikan di perairan Jawai. Tujuannya, ingin melindungi laut mereka dari kerusakan. Nelayan Lamdas menangkap ikan menggunakan trawl atau pukat harimau.

“Jika dibiarkan, ekosistem di laut Jawai akan punah. Sekali lagi, Dollah hanya menahan, tidak melakukan kekerasan,” kata Suardi.

Wah, bagaimana kalau Ardi dan Endo tidak ditolong perahu nelayan? Tentu bakal tenggelam di laut. Toh, kekuatan orang berenang di laut, ada batasnya.

Suardi berkata, jika kejadian itu dibiarkan, nelayan Jawai yang umumnya nelayan tradisional, akan mengalami kekurangan hasil tangkapan.

Sebenarnya, nelayan Jawai bukannya tidak mampu membeli kapal besar, seperti milik nelayan Lamdas. Hanya saja, nelayan Jawai sudah sadar, betapa pentingnya menjaga kelestarian laut untuk anak cucu kedepannya. Laut Jawai masih kaya terumbu karang dan hutan manggrove, yang merupakan tempat berkumpulnya udang dan ikan. Jika itu sudah rusak, mata pencaharian nelayan Jawai akan hilang.

Hal itu sangat kontras dengan laut di Pemangkat. Ekosistemnya sudah rusak, karena terkikis trawl. Karenanya, banyak nelayan Lamdas mencoba cari ikan di laut Jawai.

Ia berharap, DKP Kabupaten Sambas, cepat dan tanggap dalam menyelesaikan permasalahan itu. Sehingga tidak terulang kembali. Misalnya, mengaktifkan patroli di laut. Patroli tidak mesti tiap hari. Hanya pada waktu musim tangkap ikan saja, misalnya musim laut tenang. Dengan demikian, tentu nelayan Lamdas akan menangkap ikan di luar laut Jawai.

Konflik antarnelayan memang sudah berlangsung lama, sejak 2001. Dari data kepolisian tercatat, lama kelamaan konflik berkepanjangan ini, terus merambah hingga di kecamatan lain. Salah satunya Kecamatan Paloh. Yang perairannya berbatasan langsung dengan Kecamatan Jawai.

Ketua Kelompok Nelayan, Desa Liku, Kecamatan Paloh, Ismail Ikram (51) bercerita, di perairan Paloh, tercatat sudah dua kapal nelayan Lamdas yang ditangkap nelayan Paloh. Kedua kapal tadi, ditangkap di lokasi perairan sama. Yakni, Laut Selimpai. Kejadian berlangsung pada 1994 dan 2003.

Kedua kapal tersebut ditangkap, karena aktivitasnya menangkap ikan, menggunakan trawl atau pukat harimau. Demi menjaga ekosistem laut tempat nelayan setempat mencari ikan tetap terjaga, nelayan setempat terpaksa membakar kapal tadi. Sebelumnya, awak kapal dibebaskan. Ini terjadi pada 1994.

Selang beberapa tahun, kejadian serupa kembali terulang. Yakni, pada 2003. Nelayan Paloh yang mengetahui ada nelayan Lamdas masuk perairannya, langsung mendatangi kapal tadi. Kemudian memaksa kapal masuk ke Pelabuhan Rakyat, Paloh. Kapal tidak lagi dibakar, tetapi pemilik kapal dipaksa ganti rugi, atas kerusakan laut yang diakibatkan penggunaan alat tangkap trawl. Pemilik kapal menyanggupi ganti rugi sebesar Rp 15 juta, untuk dibagikan pada nelayan.

Uang sebesar itu, tentu tak cukup dibagikan pada nelayan setempat yang jumlahnya ratusan. Akhirnya, disaksikan Muspika setempat, warga menyepakati bahwa uang tersebut, bakal digunakan, untuk mendatangkan group band lokal, demi menghibur warga desa. Sebagian lagi, dibelikan pukat bawal dan udang, untuk kebutuhan nelayan yang membutuhkan.

Untuk membedakan antara nelayan Lamdas, yang menggunakan trawl, tidak terlalu sulit. Ibaratnya, sepeda motor bermesin 4 tak. Pada saat dijalankan, knalpot mengeluarkan asap. Begitu juga dengan kapal motor. Saat dijalankan, ada asap tebal keluar dari cerobong asap kapal tebal. Tanda lainnya, kapal tersebut berjalan lambat. Di badan kapal juga terbentang dua sayap dari tiang penyangga, untuk menarik pukat.

“Nah, dari tanda tadi, sudah bisa ketahuan, kapal tadi menggunakan pukat trawl,” kata Ismail.

Sekretaris Camat Tangaran, Sunardi menanggapi hal sama. Banyak nelayan tradisional, Desa Arung Parak, Kecamatan Tangaran, mengeluhkan keberadaan nelayan yang menggunakan kapal besar dan beroperasi di perairan Kecamatan Tangaran. Pasalnya, kapal–kapal besar tadi, dalam penangkapan ikan, menggunakan pukat harimau. Ini, tentu saja berdampak pada hasil tangkapan nelayan tradisional.

Kapal-kapal besar yang beroperasi di wilayahnya, sudah berlangsung lama. Namun, sampai saat ini, belum ada tindakan dari Pemkab, melalui Dinas Perikanan. “Apalagi dengan adanya kenaikan harga BBM, dan berkurangnya hasil tangkapan yang mencapai 60 persen, banyak nelayan memutuskan untuk tidak melaut,” kata Sunardi.

Ia berkata, batas daerah teritorial nelayan kapal besar, biasanya 6 mil dari garis pantai. Tapi, kenyataannya kapal-kapal tadi beroperasi 2 mil dari garis pantai. Sehingga jika dibiarkan terus, kelangsungan hidup nelayan tradisional akan terancam.

Kepala Resort atau Tenpat Pelelangan Ikan (TPI) Kecamatan Paloh dan Tangaran, Kamal, membenarkan adanya penangkapan kapal nelayan Lamdas yang menggunakan pukat trawl. “Di sini, nelayan sangat menjaga sekali ekosistem laut,” katanya. Tujuannya, agar keberlangsungan penangkapan ikan kedepan.

Untuk patroli di laut, memang jarang dilakukan DKP. Nelayan yang melakukan patroli dan tergabung dalam Sistem Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Berbasis Masyarakat (Siswasmas).

Kelompok ini dibentuk dari proyek DKP. Modelnya, merupakan sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat, dalam mengawasi dan mengendalikan pengolahan dan pemanfaatan sumber kelautan dan perikanan secara bertanggungjawab.

Dalam kelompok ini, ada berbagai peralatan penunjuk arah atau Global Positioning System (GPS), dan radio komunikasi. Sehingga nelayan bisa selalu berkomunikasi dengan nelayan lainnya.

Pengamat Hukum Universitas Tanjungura, Rousdy Said mengatakan, kasus nelayan Lamdas dan tradisional yang terjadi di Kabupaten Sambas, sebenarnya tidak perlu terjadi, jika aparat penegak hukum tegas dan menindak penyimpangan yang dilakukan nelayan.

“Salah satunya menggunakan pukat trawl, karena sudah diatur dalam Undang-Undang Kelautan,” kata Rousdy.

Ia mengatakan, masalah penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut, diperlukan perhatian yang besar dan serius. Sebab, peningkatan kemampuan penegakan hukum dan pengamanan, harus mencakup suatu kerjasama antara kegiatan di darat, laut dan udara.

Disamping itu, harus ada berbagai usaha meningkatkan pengawasan, kontrol, penjagaan, serta kegiatan penyelidikan, penyidikan dan proses pengadilan yang ditata dengan baik.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah, setelah putusan pengadilan diberikan, ada kemampuan menampung para terhukum di penjara. Sehingga si terhukum tidak mudah menghindari hukuman. Karenanya, effektivitas dan kepastian hukum, harus dijadikan prioritas bagi penegakan dan pengamanan laut Indonesia.

Peranan pemerintah daerah dalam pengelolaan dan pengamanan wilayah pesisir dan laut, memerlukan sinkronisasi aplikasi teknis bagi institusi penegak hukum dalam prosesnya, terhadap tindak pelanggaran yang berlaku secara internasional di sektor kelautan.

Dalam hubungan kewenangan dan kewajiban yang mengikat pemerintah provinsi, kabupaten/kota, dan penataan wilayah perbatasan darat dan laut, perlu pemasangan simbol negara, pemanfaatan administrasi kependudukan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terutama pemahaman geopolitik pemerintah daerah, harus berkaitan dengan kualitas pemahaman tentang masing-masing titik kordinat patok tapal batas darat dan laut. Baik antarprovinsi, kabupaten/kota, maupun antarnegara.

”Harus dimaksimalkan, demi integritas dan keutuhan bangsa,” kata Rousdy.

Sementara itu, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, Hasjim Djalal, dalam suatu acara seminar kelautan di Pontianak, menyatakan, sosialisasi konsekuensi geopolotik Indonesia sebagai negara kepulauan.

Saat berbagai negara di dunia berpikir dan bertindak untuk memperbesar persatuannya, seperti menyatunya Eropa menjadi satu kesatuan, Indonesia justru semakin menyempit. Ini akibat munculnya pemahaman semangat kedaerahan, kesukuan, keagamaan, kepartaian dan golongan.

”Kondisi itu muncul, akibat bangsa Indonesia tidak lagi memperhatikan tiga tiang utama republik Indonesia,” kata Hasjim.

Menurutnya, tiga tiang utama yang tidak diperhatikan bangsa Indonesia yaitu, kesatuan kejiwaan sebagai bangsa Indonesia. Kesatuan kenegaraan Indonesia. Dan, kesatuan kewilayahan. Ketiga tiang utama ini, selalu mendapat cobaan dan tantangan, dari dunia luar maupun dari bangsa Indonesia sendiri.

Tiang kesatuan kebangsaan mulai ditantang semangat kedaerahan dan kesukuan yang timbul. Tiang kesatuan kenegaraan juga ditantang unsur separatisme di beberapa daerah. Begitu juga kesatuan ke wilayahan, juga ditantang semangat otonomi daerah, yang semakin hari semakin ingin lebih memanfaatkan laut Indonesia, secara sendiri-sendiri.

“Pemanfaatan laut secara sendiri-sendiri setiap daerah, semakin berpotensi membagi-bagi wilayah laut Indonesia. Yang seharus menjadi milik bangsa dan dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia, secara keseluruhan,” kata Hasjim.

Padahal, bangsa Indonesia harus berpikiran maju ke depan. Yaitu, menambah hak-hak berdaulat dan kewenangan-kewenangan tertentu di luar laut wilayah Indonesia yang ada sekarang. Jika pada konvensi Jenewa 1958, yang dianggap sebagai landasan kontinen hanyalah daerah dasar laut sampai kedalaman air 200 meter, maka dalam Konvensi Hukum Laut 1982, hak-hak berdaulat Indonesia telah diakui sampai ke seluruh daerah dasar laut.

Konvensi HUKLA 1982, memungkinkan Indonesia mengklaim landasan kontinen di luar batas 200 mil, melalui berbagai kriteria yaitu 60 mil dari kaki kontinen atau 100 mil dari kedalaman air 2500 m. Atau, juga sampai sedimen yang tebalnya 1 persen dari jarak ke foot of the slope dan minimal sampai batas 200 mil dari garis-garis pangkal.

“Tapi kenapa Indonesia tidak melakukan hal ini. Justru Indonesia membagi pengelolaan lautnya ke daerah-daerah, sehingga sering terjadi perselisihan antar nelayan daerah,” katanya.

Ia berharap, mulai sekarang seluruh bangsa Indonesia, harus berpikir luas ke depan terhadap wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara mencakup laut, darat dan udara.

Dalam mengelola kekayaan laut Indonesia, Hasjim menegaskan pengelolaan laut harus memperhatikan pelestarian lingkungan laut. Selain itu, pengelolaan kekayaan laut harus juga diiringi oleh penegakan hukum dan peningkatan keamanan di laut.

Tapi, sayangnya, untuk mengamankan laut Indonesia yang luasnya 6 juta kilometer persegi, pemerintah hanya menganggarkan Rp35 triliun untuk anggaran pertahanan. Dan, Rp3,4 triliun untuk anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan.

Akibatnya, laut Indonesia yang mestinya dijaga minimal oleh 400 kapal perang TNI AL, sekarang hanya dijaga 120 kapal perang. ”Dampaknya, laut Indonesia sangat terbuka untuk dimasuki kapal-kapal asing yang mencuri ikan di laut kita,” katanya.

Ia menyayangkan anggaran untuk TNI dan DKP yang jika ditotal hanya Rp38,4 triliun, sangat jauh dibandingkan dengan anggaran untuk Pemilu yang mencapai Rp76 triliun.


Nelayan, Potret Masyarakat Terpinggirkan

Jumaini merupakan potret nelayan kebanyakan. Ia berasal dari Desa Jeruju, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas. Ia sudah menjalani profesi sebagai nelayan, puluhan tahun lamanya. Sejak masih bujang hingga punya dua anak yang masih kecil. Jumaini merupakan nelayan pesisir pantai. Alasannya? Karena dia hanya beroperasi mencari ikan sekitar 3-4 mil dari garis pantai.

Ia menggunakan perahu motor. Perahu itu memiliki panjang tujuh meter dan lebar 1,5 meter. Perahu motor dibeli dengan modal sendiri. Harganya sekitar Rp 7 juta.

Setiap hari, ia melaut di sepanjang garis pantai. Sedari pukul 02.00 Wib, dini hari, ia harus meninggalkan rumah dan berangkat melaut. Meski angin pantai dan dingin udara serasa menusuk tulang, ia mesti meneguhkan diri dan berangkar melaut. Bila tidak, dapur dan pendaringan keluarga tidak bakal mengepul.

Bermodal perahu motor dan pukat, ia mengitari laut sepanjang 3-4 mil dari garis pantai. Ia menggunakan pukat udang dan bawal. Sekitar pukul 14.00 Wib, ia pulang ke rumah. Meski sudah seharian mengitari laut, namun rezeki yang dibayangkan, tak seluas laut yang luas membentang.

Hasil tangkapan berfariasi. Tidak tetap. Ada ikan bawal dan udang. Pada hari bagus, ia bisa mendapatkan uang sekitar Rp 300-500 ribu. Itu masih pendapatan kotor, belum dipotong ongkos bahan bakar dan es balok, untuk penyimpanan ikan.

Biasanya, ikan dijual pada agen. Ikan bawal dijual pada agen Rp 10 ribu per kilo. Udang wangka Rp 50.000 per kilo. Udang sayur Rp 15.00 per kilo.

Ada lima agen di Desa Jeruju. Sebelum dijual, hasil 30 persen hasil tangkapan, dibagi pada agen. Alasannya, pukat yang digunakan untuk menangkap ikan, berasal dari agen. Sebagian besar nelayan menggunakan pukat dari agen ikan. Sebab, harga pukat cukup mahal bagi nelayan.

Misalnya saja harga pukat jenis bawal yang berkisar Rp 95 ribu, untuk panjang tiga meter. Masyarakat biasa menyebutnya per pis. Panjang pukat yang digunakan untuk melaut berkisar 100-300 meter. Kalikan saja, berapa yang harus dimiliki nelayan, untuk beli pukat tersebut. Katakanlah, nelayan butuh pukat sepanjang 300 meter. Berarti, dia harus ada uang sebesar Rp 28 juta. Uang sebesar itu, tentu sulit diusahakan para nelayan.

Begitu juga harga pukat udang Rp 145.000 per tiga meter. Uang yang harus dikeluarkan untuk membeli, kalikan saja sendiri.

Masyarakat menggunakan ukuran depa, untuk menandai sebuah ukuran. Ukuran itu diambil dari panjang dua tangan orang dewasa yang direntangkan. Satu depa sekitar 150-170 cm.

Efektifitas bekerja nelayan dalam setahun, hanya enam bulan. Sisanya, tergantung cuaca. Biasanya pada Pebruari-Juli, merupakan cuaca bagus untuk melaut. Sisanya cuaca buruk dan musim ombak besar. Pada musim ini, dalam seminggu paling bisa melaut 2-3 hari saja. Meskipun cuaca tak bagus, nelayan tetap memberanikan diri ke laut.

Sulitnya mendapatkan dana awal bagi membeli pukat, BBM atau peralatan melaut lainnya, membuat nelayan selalu tergantung pada agen atau tengkulak. Hasil yang mereka peroleh, harus dipotong buat agen, atau harus dijual pada tengkulak sang pemberi modal. Akhirnya, kehidupan nelayan hanya berputar dan tergantung pada para pemilik modal ini.

Peran pemerintah dalam mengatasi hal ini? Tak ada. Sejak belasan tahun menjadi nelayan, pemerintah tak pernah berikan bantuan pada nelayan, seperti dirinya.

Hal yang sama dirasakan Suhermi, nelayan pesisisr di Desa Sibubus, Paloh. Ia juga belum merasakan bantuan dari pemerintah. “Jangankan perahu motor, untuk pukat saja, belum sama sekali mencicipinya,” katanya.

Ia mendengar pembicaraan teman sesama nelayan, sebenarnya bantuan ada. Tapi, ia belum tahu kebenarannya.

Pimpinan Resort, Kamal, berkata, bantuan untuk nelayan tiap tahunnya ada. Yakni berupa fiber, tempat penyimpanan ikan, dan jaring pukat. Hanya saja jumlahnya tidak besar. Bantuan langsung diserahkan melalui kelompok nelayan. Kemudian, kelompok nelayan tersebut yang menentukan, nelayan mana yang berhak mendapatkannya.

Data yang diperoleh dari TPI Tangaran di Kecamatan Paloh terdapat sekitar 195 nelayan tradisional. Jumlah itu tersebar di tiga desa. Yakni, Desa Sebubus dengan jumlah 55 nelayan. Desa Jeruju, berjumlah 65 nelayan. Desa Liku, berjumlah 75 nelayan.

“Itu jumah nelayan yang terdata. Sementara yang belum, diperkirakan kurang lebih sama,” kata Kamal.

Berdasarkan data dari tempat yang sama, hasil tangkapan nelayan pada tahun 2008, juga bisa dilihat. Dari TPI Desa Liku, jumlah tangkapan mencapai 20.764 kilogram. TPI Desa Tanah Hitam, 17.808 kilogram. TPI Temajok, 15.405 kilogram. Dan, TPI Arung Parak, 13.320 kilogram.

Dari data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sambas pada 2008, jumlah dan nilai produksi penangkapan ikan perairan laut se-Kabupaten Sambas, sebesar 20.986,5 ton. Bila dirupiahkan sekitar Rp 125.049.295. Jumlah itu terbagi di lima kecamatan. Diantaranya, Kecamatan Selakau, 4.735,3 ton atau sekitar Rp 12.453.133. Pemangkat, 7.206.7 ton, seharga Rp 38.904.931. Jawai sebanyak 2.109,9 ton atau Rp 22.051.882. Jawai Selatan, 904,2 ton atau Rp 9.450.807. Tangaran, 2.199,7 ton atau Rp 18.127.305. Paloh, 3.812,7 atau Rp 24.061.237.

Berdasarkan data yang sama, jumlah kapal motor penangkapan ikan perairan laut, menurut jenis ukuran berjumlah 2.219 buah. Terbagi dalam beberapa ukuran. Yakni, perahu tanpa motor berjumlah 679 buah. Motor tempel 308 buah. Kapal motor GT berjumlah 1.232 buah, meliputi lima kecamatan. Yakni, Jawai, Jawai Selatan, Selakau, Paloh, Tangaran dan Pemangkat.

Berdasarkan jenis alat tangkap, berjumlah 2741. Meliputi pukat udang, 420 unit. Pukat pantai, 141 unit. Pukat cicin, 53 unit. Jaring isang hanyut, 539 unit. Jaring insang tetap, 351 unit. Trammel net, 361 unit. Rawai tetap, 232 unit. Bagan tancap atau togok, 166 unit. Serok dan songko, 52 unit. Bubu, 242 unit. Alat penangkap kepiting, 29 unit. Jala tebar, 59 unit.

Dari reportase dan penelusuran yang dilakukan, mayoritas kawasan desa pesisir di wilayah perbatasan antarnegara di Indonesia dan Malaysia, masih merupakan kawasan tertinggal. Kondisi tersebut tercermin dari sarana dan prasarana fisik, sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas.

Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri tahun 2007, lebih memberikan gambaran bahwa, sebagian besar kawasan perbatasan antarnegara belum tersentuh oleh proses dan hasil pembangunan.

Ketidakterjangkauan pada sarana prasarana ekonomi dan sosial, mengkondisikan mayoritas masyarakat pesisir di wilayah perbatasan antarnegara, dalam kondisi kemiskinan. Padahal, masyarakat pesisir di perbatasan Sambas, memiliki nilai strategis.

Wilayah ini, secara geografis terletak di perbatasan antara Indonesia-Malaysia. Masyarakat pesisir di wilayah perbatasan antarnegara, secara umum dicirikan dengan kompleksitas masalah yang dihadapi. Hal tersebut menyangkut, tidak saja adanya karakteristik yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, melainkan jenjang masalahnya pun berbeda-beda.

Masalah tersebut dapat muncul dalam tingkatan individual, keluarga, komunitas, tingkat kabupaten, provinsi hingga nasional. Masalah dapat juga dilihat dan dikategorikan dari sudut kondisi geografis, ekonomi, politik, budaya, dan hubungan bilateral dengan negara tetangga maupun masalah yang terjadi di negera itu. Yang secara signifikan mempengaruhi dinamika pembangunan masyarakat pesisir di wilayah perbatasan.

Faktanya, masyarakat pesisir di wilayah ini, hidup dalam kesenjangan ekonomi yang sangat tajam dengan Malaysia. Ironisnya, kondisi kesenjangan ekonomi masyarakat di wilayah pesisir di Kabupaten Sambas, ada dalam wilayah dengan basis sumberdaya alam, berupa potensi perikanan dan kelautan cukup melimpah.

Wujud kesenjangan ekonomi dari masyarakat pesisir ini, terlihat dari tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat pada 2007-2008, memperlihatkan bahwa, jumlah penduduk miskin provinsi Kalbar, tertinggi dibandingkan provinsi di Kalimantan lainnya.

Berdasarkan data tersebut, angka kemiskinan di Kalimantan, berturut-turut sebagai berikut: Kalbar dengan 584.300 penduduk miskin atau 12,91 persen. Kaltim dengan 324.800 jiwa atau 11,04 persen. Kalteng dengan 210.300 atau 9,38 persen. Kalsel dengan 233.500 jiwa atau 7,01 persen.

Meskipun data statistik pada 2007-2008, menunjukkan terjadinya pengurangan pada angka kemiskinan di Kalbar, namun Kalbar masih tetap menjadi provinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak di Kalimantan. Jika ditempatkan dalam konteks nasional, tingkat kemiskinan di Kalbar, menduduki peringkat ke 14 dari seluruh provinsi di Indonesia.

Data dari peneliti dosen UI, bekerjasama dengan mitra lokal, temanya Meneliti Masyarakat Nelayan Pesisir Perbatasan, awal Desember 2008. Kondisi kemiskinan masyarakat pesisir di wilayah perbatasan, bertambah parah dengan penerapan beberapa kebijakan ekonomi di tingkat nasional. Misalnya, kebijakan kenaikan harga bahan bakar. Meskipun, pada perkembangannya, BBM diturunkan lagi.

Dampak nyata dari kenaikan harga bahan bakar, mengakibatkan besaran pendapatan mereka menurun tajam. Sehingga nelayan harus mengurangi intensitas melautnya. Kemiskinan masyarakat pesisir semakin parah juga harus menanggung kenaikan harga kebutuhan barang-barang pokok.

Secara politik, masyarakat di wilayah perbatasan, juga ditandai dengan potensi terjadinya kekerasan komunal. Yaitu, kekerasan sosial yang terjadi antara dua kelompok masyarakat atau komunal. Kekerasan itu bisa berupa penyerangan yang dilakukan satu kelompok, terhadap kelompok yang lain.

Beberapa faktor yang diindentifikasi memicu kekerasan komunal, diantaranya karena faktor etnis, agama, kesenjangan sosial, dan afiliasi politik. Hal inilah yang ditengarai terjadi di wilayah Sambas. Dan, secara budaya, masyarakat pesisir pada umumnya, termasuk di wilayah perbatasan, dicirikan dengan persoalan dan rintangan budaya. Ciri itu berupa, sikap tradisional, pasrah pada nasib, dan ketergantungan secara individual maupun kolektif.

Melihat permasalahan tersebut, Pemkab Sambas memberikan alternatif dan penyelesaian, untuk menyejahterakan masyarakat pesisir. Salah satunya, dengan mengembangkan Minapolitan Jawai Selatan.

Pemkab Sambas menjadikan Jawai Selatan sebagai contoh proyek Minapolitan. Pemkab menyediakan luas lahan sekitar 448,3 hektar. Terdiri dari Desa Jawai Laut seluas 248,3 hektar, dan Desa Jelu Air seluas 200 hektar.

Pemkab juga membuat kawasan Hinterland Minapolitan Jawai Selatan yang meliputi, kawasan tambak Sebangkau seluas 1.219 hektar di Kecamatan Pemangkat, dan kawasan tambak Sarang Burung Danau, seluas 1.300 hektar di Kecamatan Jawai.

Bupati Kabupaten Samabas, Burhanuddin A Rasyid mengatakan, Kabupaten Sambas merupakan salah satu daerah pertanian Kalbar. Sambas memiliki potensi budidaya udang atau bandeng dalam tambak. Di Selakau, luas dan potensinya mencapai 352,8 hektar, dengan estimasi produksi 105,84 ton per tahunnya. Pemangkat sekitar 1.219,0 hektar, dan estimasinya mencapai 365,70 ton per tahun. Jawai, luas potensi sektar 1.300,3 hektar, dengan estimasi produksi mencapai 524,49 ton per tahun. Teluk Keramat luas 500,0 hektar, dengan estimasi produksi 150,00 ton per tahun. Paloh luas potensi mencapai 2.637,5 dengan esetimasi produksi tiap tahunnya mencapai 791,25 ton.

Kawasan Minapolitan Desa Jawai Laut, awalnya merupakan kawasan TIR-Trans Jawai. Dari 310 petak tambak yang ada, sebanyak 58 petak masih beroperasi dengan kondisi sarana dan prasarana seadanya.

Burhanuddin menjelaskan, sekarang ini, pengelolaan tambak terbatas pada pola tradisional, karena terajdi pendangkalan di saluran air dan petak tambak. Dari segi keterampilan, pengelolaan secara intensif petani tambak, sudah cukup berpengalaman. Pada awal operasi tambak TIR-Trans, pola budidaya yang diterapkan adalah pola intensif, sesuai dengan konstruksi petakan dengan luas 0,5 hektar per petaknya.

Burhanuddin tidak menampik, kondisi infrastruktur kawasan Minapolitan di kawasan tambak sangat terbatas. Misalnya, mayoritas jalan masih berupa tanah. Sarana air bersih belum ada. Sebagian besar saluran tambak sudah dangkal. Sehingga pemasukan air hanya bisa dilakukan, pada saat pasang tinggi.

Namun, pemerintah daerah juga sudah berupa melakukan perbaikan pada pembangunan sektor ini. Diantaranya, pada 2006, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Sambas, membangun Balai Benih Udang (BBU) di Desa Jawai Laut, Kecamatan Jawai Selatan. BBU ini sudah mulai produksi benur windu pada 2007. Pemkab juga membangun fasilitas pembenihan ikan bandeng di lokasi BBU tersebut, pada 2007. Untuk menangani pendangkalan tambak, Pemkab bekerjasama dengan bidang Cipta Karya.

Keberadaan tambak merupakan potensi besar, guna memajukan Minapolitan Kabupaten Sambas. “Hanya saja, masih diperlukan optimalisasi kawasan Minapolitan yang ada,” kata Burhanuddin. Seperti, Jawai selatan dengan daerah Hinterland-nya, Kecamatan Pemangkat dan Jawai, sangat potensial dikembangkan.

Optimalisasi bisa dilakukan dengan normalisasi saluran dan penyediaan fasilitas lainnya, guna mendukung kegiatan tambak dan budidaya perikanan. Salah satunya dengan menindaklanjuti dan membentuk tim seleksi ini, melalui Surat Keputusan (SK) Bupati, untuk pendangkalan sungai dapat bekerjasama dengan bidang pengairan atau Cipta Karya.

Dalam menangani masalah konflik batas laut, pemerintah daerah memang sudah berusaha membuat terobosan dengan pengembangan perikanan darat. Namun, apakah “cara penyelesaian” itu, sudah menjadi substansi dari kasus-kasus yang sudah pernah terjadi, dan mencegah peristiwa yang sama kedepannya? Mengingat, wilayah Sambas merupakan “zona panas” yang pernah menjadi medan tempur, dan menimbulkan peristiwa kemanusiaan dan konflik sosial yang luar biasa besar.
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

1 komentar: on "Sengketa Batas Berujung Konflik"

taddywaber mengatakan...

Casino Bonus Codes & Review - JTM Hub
Get the 영천 출장샵 latest Casino Bonus 보령 출장안마 Codes & Online Sweepstakes Casino Bonus Deals to keep 동두천 출장샵 your 포항 출장안마 casino games fresh again. Use our 영주 출장마사지 coupon code or get our verified

Posting Komentar